"Apa gunanya uang 100 Miliar jika tidak bisa membeli kebahagiaan? Oh, tunggu... ternyata bisa."
Rian hanyalah pemuda yatim piatu yang kenyang makan nasi garam kehidupan. Dihina, dipecat, dan ditipu sudah jadi makanan sehari-hari. Hingga suatu malam, sebuah suara asing muncul di kepalanya.
[Sistem Kapitalis Bahagia Diaktifkan]
[Saldo Awal: Rp 100.000.000.000]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sukma Firmansyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 27: Jebakan Putih dan Sulap Sang Dewa
(POV Bramantyo)
Ruang Pribadi Bramantyo, Menteng.
Pukul 13.00 WIB.
Bramantyo menatap layar TV yang menampilkan grafik saham RASA yang masih tiarap di zona merah (ARB). Rugi 25% kemarin, dan hari ini pasar masih panik.
Di depannya, duduk seorang pria berseragam polisi dengan pangkat melati dua (AKBP). Namanya Bambang, Kepala Satuan Reserse Narkoba yang sudah lama "dipelihara" oleh Bramantyo.
"Bambang," suara Bramantyo parau. "Saya sudah tidak butuh basa-basi. Saya mau anak itu lenyap hari ini."
"Siap, Tuan," jawab Bambang sambil menghisap rokoknya. "Tim saya sudah bergerak. Skenarionya klasik tapi mematikan: Pengecekan rutin di jalan tol, lalu anggota saya 'menemukan' 1 kilogram sabu kualitas tinggi di bawah jok mobilnya."
Bramantyo menyeringai. "Satu kilo? Itu hukuman mati."
"Minimal seumur hidup, Tuan. Dan media sudah saya atur untuk standby di lokasi penangkapan. Begitu dia diborgol, wajahnya akan ada di seluruh berita nasional sebagai 'Bandar Narkoba Berkedok Pengusaha Warung'."
"Bagus," Bramantyo menuangkan wiski ke gelasnya. "Habisi karakternya. Hancurkan nama baiknya. Biar rakyat yang kemarin memuja dia, berbalik meludahinya."
(POV Rian)
Tol Dalam Kota (Arah Semanggi).
Pukul 14.30 WIB.
Mobil Alphard Rian melaju tenang di jalur tengah. Di dalamnya hening. Kenzo sedang tidur dengan mulut terbuka di kursi belakang (efek begadang nge-hack). Maya sedang merapikan jadwal Rian. Pak Teguh menyetir dengan waspada.
"Bos," suara Pak Teguh tiba-tiba menegang. "Lihat spion."
Rian menoleh ke belakang. Dua mobil SUV hitam tanpa plat nomor dinas, tapi menyalakan sirine strobo biru, mendekat dengan agresif. Di depan, satu mobil patroli memotong jalur Rian, memaksa Alphard itu minggir ke bahu jalan.
"Polisi?" tanya Maya cemas.
"Bukan polisi lalu lintas biasa," Pak Teguh menganalisis cepat. "Itu Reserse. Mereka nggak pake seragam dinas, tapi pake rompi taktis dan senjata laras panjang."
Rian menghela napas. Sudah kuduga.
Bramantyo memang tidak kreatif. Kalau gagal bakar pabrik, pasti main hukum. Dan kalau gagal main hukum administrasi, pasti main pidana.
"Tetap tenang. Jangan melawan. Biarkan mereka main drama," perintah Rian.
Mobil berhenti.
Pintu Alphard digedor kasar.
"KELUAR! KELUAR SEMUA! POLISI!"
Pak Teguh membuka kunci pintu.
Empat petugas berbadan tegap dengan rompi bertuliskan SAT NARKOBA langsung menarik Pak Teguh keluar dan memaksanya tiarap di aspal.
"Jangan kasar! Saya kooperatif!" bentak Pak Teguh, tapi laras senapan M4 sudah menempel di kepalanya.
Rian keluar dengan tangan diangkat, diikuti Maya yang gemetar dan Kenzo yang masih nyawa-nyawa ikan (baru bangun).
"Ada apa ini, Pak?" tanya Rian tenang.
Seorang perwira polisi (anak buah AKBP Bambang) maju. Namanya Kompol Dedi. Wajahnya songong.
"Diam kamu! Kami dapat laporan ada transaksi narkoba menggunakan mobil ini!" bentak Dedi. "Geledah mobilnya!"
Dua anak buah Dedi masuk ke dalam Alphard. Mereka pura-pura mengacak-acak dashboard, lalu salah satu dari mereka—dengan gerakan tangan yang sangat terlihat canggung bagi mata Rian—menyelipkan bungkusan plastik di bawah jok penumpang depan.
"KOMANDAN! DAPAT!" teriak anak buah itu sedetik kemudian.
Ia keluar membawa bungkusan plastik bening berisi serbuk putih kristal seberat 1 kilogram.
Wartawan (yang entah muncul dari mana) langsung menyerbu, kamera mereka menyala, lampu blitz berkedip buta.
"Wah! Sabu satu kilo!"
"Rian Warung Bahagia bandar narkoba?!"
Kompol Dedi tersenyum puas. Ia berjalan mendekati Rian sambil membawa bungkusan itu.
"Nah, Rian. Apa ini? Gula halus? Atau micin buat bumbu kamu?" ejek Dedi. "Ini sabu kualitas satu. Kamu tamat. Seumur hidup di Nusakambangan."
Maya menangis. "Itu bohong! Itu jebakan! Kami nggak pernah bawa gituan!"
"Diam! Borgol mereka semua!" perintah Dedi.
Seorang petugas menarik tangan Rian kasar, hendak memasangkan borgol besi.
Rian menatap Dedi.
"Pak, Bapak yakin itu punya saya?"
"Yakin lah! Ditemukan di mobil kamu!"
"Boleh saya lihat barangnya sebentar? Saya mau pastikan itu bukan tepung terigu," kata Rian santai.
Dedi tertawa. "Boleh. Pegang aja. Biar sidik jari kamu nempel, jadi bukti makin kuat."
Dedi menyodorkan bungkusan itu ke tangan Rian yang belum di borgol.
Rian memegang bungkusan "sabu" itu.
Di kepalanya, ia berteriak pada Sistem.
"SISTEM! AKTIFKAN KARTU KEBAL HUKUM SEKARANG!"
[KONFIRMASI DITERIMA.]
[Item: Kartu Kebal Hukum (Sekali Pakai) digunakan.]
[Efek: Reality Distortion (Manipulasi Realita).]
[Target Objek: Bungkusan Sabu 1 Kg.]
[Mengubah struktur molekul objek menjadi bahan legal yang tidak berbahaya.]
ZING!
Sebuah gelombang energi tak kasat mata menyelimuti tangan Rian. Tidak ada yang melihatnya, tapi Rian merasakannya. Bungkusan di tangannya terasa sedikit... hangat.
Rian tersenyum.
"Pak Polisi," kata Rian lantang, menghadap ke kamera wartawan. "Bapak nuduh saya bandar narkoba ya? Bapak yakin ini sabu?"
"Sudah pasti! Jangan banyak omong!" bentak Dedi.
Rian dengan cepat merobek bungkusan plastik itu.
"HEH! JANGAN MERUSAK BARANG BUKTI!" Dedi panik, hendak merebutnya.
Tapi terlambat.
Rian menuangkan serbuk putih itu ke telapak tangannya, lalu... langsung memasukkannya ke mulut.
"BOS!" Pak Teguh teriak kaget.
"RIAN!" Maya menjerit.
Semua orang melongo. Rian baru saja memakan "sabu" satu genggam penuh. Kalau itu narkoba asli, Rian akan overdosis dan mati dalam hitungan detik.
Rian mengunyah serbuk itu.
Wajahnya tampak berpikir.
Lalu dia menelan.
"Hmm," gumam Rian. "Manis."
Rian menjilat sisa serbuk di jarinya.
"Pak, ini Gula Halus buat donat. Bapak mau coba?" Rian menyodorkan bungkusan yang sobek itu ke wajah Dedi.
Dedi pucat. "N-nggak mungkin! Itu sabu! Lo gila ya makan sabu segitu banyak?!"
"Kalau ini sabu, saya udah kejang-kejang dan mati sekarang, Pak," kata Rian sambil tertawa. "Liat? Saya sehat wal afiat. Jantung normal. Mata normal."
Rian menoleh ke wartawan.
"Mas Wartawan, cobain deh. Enak lho."
Seorang wartawan yang penasaran memberanikan diri mencolek serbuk yang tumpah di kap mobil. Dia menjilatnya.
"Lho... iya Pak. Ini gula halus. Manis banget. Kayak gula donat JCO."
Suasana mendadak awkward.
Para polisi saling pandang. Kompol Dedi keringat dingin.
"Nggak mungkin... tadi saya ambil dari gudang barang buk—eh maksud saya..." Dedi keceplosan.
Mata Rian berkilat tajam. "Barang bukti? Maksud Bapak, Bapak ngambil ini dari gudang buat ditaruh di mobil saya?"
Kenzo yang sudah sadar sepenuhnya langsung berteriak, "WAH! POLISI JEBAK WARGA SIPIL! REKAM GAES! REKAM!"
Wartawan yang tadinya pro-polisi langsung berbalik arah. Naluri jurnalis mereka mencium berita yang lebih sensasional: "Polisi Salah Tangkap & Fitnah Pengusaha Viral dengan Gula Donat".
Kompol Dedi mundur teratur. Wajahnya merah padam karena malu dan takut. Skenarionya berantakan total.
"I-ini... pasti ada kesalahan intelijen! Tarik pasukan! Kita balik!" perintah Dedi panik.
"Eits, tunggu dulu," Rian menahan pintu mobil polisi.
"Bapak udah borgol karyawan saya. Bapak udah todong senjata ke kepala kami. Bapak udah bikin macet jalan tol. Terus mau pergi gitu aja?"
Rian mendekatkan wajahnya ke telinga Kompol Dedi.
"Bilang sama Bambang dan Bramantyo. Gula ini manis. Tapi pembalasan saya nanti bakal pahit banget."
Rian melepaskan pintu mobil.
"Pergi. Sebelum saya laporin Bapak ke Propam atas tuduhan perampokan bersenjata."
Kompol Dedi dan pasukannya lari terbirit-birit masuk mobil dan tancap gas, diiringi sorakan cemooh dari pengguna jalan tol lain yang menonton.
Rian menghela napas panjang, lalu menyandarkan tubuhnya ke mobil Alphard. Kakinya sedikit lemas. Efek manipulasi realita tadi menguras energinya.
"Bos..." Maya mendekat, masih syok. "Itu... itu beneran gula?"
Rian nyengir, giginya masih ada sisa serbuk putih.
"Iya. Kalo nggak percaya, cobain aja."
Pak Teguh geleng-geleng kepala sambil membersihkan debu di celananya.
"Bos Rian ini... dukun ya? Saya liat jelas tadi plastiknya beda. Kok bisa berubah jadi gula?"
Rian tidak menjawab. Ia menatap langit.
[Misi Rahasia Selesai: The Ultimate Escape]
[Target: Lolos dari Jebakan Mematikan tanpa bantuan hukum konvensional.]
[Status: MIRACLE (Keajaiban)]
[REWARD DITERIMA:]
Poin Dominasi: +10.000 (Polisi & Musuh Ketakutan Setengah Mati)
Akses Penuh: FITUR AKUISISI (Hostile Takeover).
Rian mengepalkan tangannya.
Bramantyo sudah kehabisan kartu.
Sekarang giliran Rian yang menyerang.
"Maya, Kenzo."
"Ya, Bos?"
"Siapkan dana kita. Hubungi Pak Hartono. Hubungi semua pemegang saham minoritas Rasa Nusantara."
"Kita akan lakukan RUPS Luar Biasa."
"Kita ambil alih perusahaan Naga Tua itu. Sekarang."