Dara, seorang detektif yang menangani kasus pembunuhan berantai harus menelan kenyataan pahit. Pasalnya semua bukti dan saksi mengarah padanya. Padahal Dara tidak kenal sama sekali dengan korban maupun pelaku, begitu juga dengan anggota keluarga dan saksi-saksi yang lain.
Dalam keadaan yang terpojok dan tanpa bantuan dari siapapun, Dara harus berusaha membuktikan bahwa dirinya tidak terlibat dalam aksi pembunuhan keji tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pertiwi1208, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Malam hari.
"Aku sudah menemukan informasi tentang sekolah asrama dan juga ada beberapa fotonya," ucap Arum.
Saat ini semua orang sedang berkumpul di ruang tamu, termasuk juga Febri. Karena dia adalah salah satu orang yang pernah tinggal di sekolah asrama tersebut, maka sekarang dia juga selalu dilibatkan saat berunding. Mereka semua segera mendekat ke arah Arum yang sudah duduk di sofa dan membuka laptop, Arum menunjukkan beberapa foto yang dia dapatkan.
Febri pun juga ikut melihat, dia sempat menyunggingkan sudut bibirnya ke atas tatkala melihat foto sekolah tersebut. "Benar, itu adalah tempatnya," ucap Febri yang saat ini berdiri di belakang sofa yang diduduki oleh Arum.
Setelah melihat foto sekolah asrama tersebut dari depan, Febri tiba-tiba teringat saat pertama kali dia dan teman-temannya dibawa kesana. Memang sedikit aneh saat Febri melangkah masuk di halaman kastil itu, tapi saat ada tulisan bahwa itu benar-benar sekolah, maka dia pun berusaha untuk menepis praduganya dan terus masuk mengikuti langkah Clara ke dalam kastil bersama teman-temannya. Terlebih saat mereka baru tiba di aula, mereka juga disambut beberapa orang yang nampak memang seperti seorang Master.
Febri menarik nafas dalam, dia merasa dadanya sedikit sesak saat ini. Buru-buru febri segera menyadarkan dirinya, agar dia tidak terlalu terlarut dalam pikiran masa lalunya. Sementara yang lain tetap melihat foto demi foto yang didapatkan oleh Arum dengan seksama, tanpa menyadari perubahan sikap yang dialami Febri.
Ardi meraih minuman kaleng yang ada di meja dan segera memberikannya pada Febri, tanpa menoleh ke arahnya dan pandangannya tetap ke arah laptop. Memang Ardi terlihat sangat cuek dan acuh, tapi sebenarnya dia sangat perhatian sekali dengan orang yang ada di sekitar. Fabri pun segera menerima minuman tersebut dan meminumnya hingga tandas, lalu mengatur nafas. Febri berjalan memutar, serta duduk di sofa yang ada di hadapan mereka.
Setelah mengkonfirmasi bahwa tempat itu benar adalah kastil, Febri pun tidak ingin lagi melihat foto-foto yang lain.
"Tapi sepertinya ada yang aneh," ucap Arum.
"Apa?" tanya beberapa orang secara bersamaan.
"Tidak ada dokumen lain yang tersisa, entah itu nomor telepon pengurus, ataupun data-data siswa yang ada di sana. Aku dan temanku sudah berusaha mencari, tetapi tetap tidak menemukan apapun," jelas Arum.
"Temanmu yang mana?" tanya Ardi.
"Yang tempo hari membantuku untuk mencari Dara," jawab Arum, Dara pun segera menoleh ke arah Arum dan menatapnya dengan terkejut.
"Apa ada orang lain yang tahu jika aku selamat dan berada di sini?" tanya Dara sedikit tegang.
"Iya, saat itu aku meminta bantuan pada Putri untuk melacak keberadaanmu dan akhirnya kami bisa menemukanmu," jawab Arum.
"Putri siapa?" tanya Dara dengan tidak sabar.
"Dia adalah salah satu juri di perusahaan kakakmu," jawab Arum.
"Apa dia bisa dipercaya?" tanya Dara.
"Sepertinya bisa, dia tidak pernah membicarakan apapun, kecuali aku bertanya. Saat aku minta tolong, dia segera mengerjakannya dan cuek-cuek saja. Sepertinya dia tipe orang yang tidak mengurusi urusan orang lain," jelas Arum.
"Okelah kalau begitu, lebih baik jangan ada lagi orang yang tahu tentang keberadaanku disini," ucap Dara.
"Iya, baiklah," jawab Arum.
"Apa tidak ada informasi lagi?" tanya Ardi.
"Tidak ada, hanya itu yang aku dapatkan hari ini," jawab Arum.
"Baiklah," ucap Ardi.
"Kamu mau istirahat atau pergi ke kediaman Pak Tama?" tanya Ardi pada Dara.
Dara diam, sejak pulang dari rumah sakit hingga malam itu, Dara hanya menghabiskan waktu untuk melamun saja dan bergelut dengan pikirannya sendiri, sehingga membuat beberapa orang juga merasa iba padanya.
"Are you ok?" tanya Natasha dengan suara lembut.
"Apa kamu sedang tidak enak badan?" tanya Maria pada Dara.
Mereka berdua mengerti benar apa yang dialami Dara saat ini pasti benar-benar diluar kendali, sehingga mereka pun memberikan perhatian lebih pada Dara. Terlebih dia juga masih muda dan banyak juga hal yang belum diketahui dari kasus yang ditanganinya ini. Termasuk juga tentang dirinya sendiri dengan orang tuanya, dia anak adopsi ataukah bukan. Mereka semua juga tahu bahwa pikiran Dara pasti sedang berkecamuk.
"Kita ke rumah Pak Tama saja, tapi tunggu hingga sedikit malam lagi," ucap Dara beberapa saat kemudian.
"Oke, kalau begitu kamu istirahat dulu, nanti tengah malam kita akan pergi," ucap Ardi.
"Aku akan ikut dengan kalian," ucap Devan.
"Oke," jawab Ardi singkat.
***
Tepat tengah malam, mereka bertiga pun pergi ke kediaman Pak Tama yang sudah Dara ketahui alamatnya. Kali ini mereka tidak mengajak Firman, karena Firman tidak tinggal bersama mereka, dia memilih untuk tinggal terpisah, yaitu di apartemennya. Terlebih juga tidak ada hal penting yang harus Firman kerjakan malam itu, di rumah Pak Tama pasti tidak akan ada begitu ada banyak CCTV, mungkin hanya CCTV jalan saja yang harus mereka taklukan.
Mereka bertiga pergi dengan mengenakan baju serba hitam, topi hitam, dan juga masker hitam seperti biasanya. Sesampainya di rumah Pak Tama, mereka bertiga berjalan mengendap dan hati-hati. Pintu rumah Pak Tama tetap tidak terkunci seperti terakhir kali Dara berkunjung ke situ, sehingga mereka pun bisa masuk dengan leluasa, hanya saja bedanya, saat ini rumah Pak Tama terlihat debunya semakin menebal dari pada terakhir kali Dara kesana dengan Dani, saat melakukan penyelidikan.
Tidak perlu membuang waktu, Dara pun segera pergi ke arah dapur dan melihat ke arah jendela kaca, sesuai dengan instruksi dari Pak Tama. Benar saja seperti ucapan Pak Tama, bahwa di situ ada sebuah pot bunga, tapi pot tersebut sudah berantakan, tanah yang ada di dalamnya sudah berceceran dimana-mana. Dengan segera Dara menyalakan senter dan merogoh pot tersebut serta mengeluarkan semua tanah yang masih tersisa. "Sial!" umpat Dara. Ardi dan Devan pun segera melihat ke arah Dara.
"Kita sudah keduluan orang lain," ucap Dara memberi penjelasan.
"Bagaimana bisa?" tanya Devan yang segera menghampiri Dara.
"Entahlah," ucap Dara dengan putus asa.
"Bukankah tidak ada yang mendengar percakapan kalian tadi saat di rumah sakit?" tanya Devan.
"Seharusnya tidak ada," sahut Ardi.
"Apa mungkin Pak Tama sedang mengkhianatimu? Atau... " Devan menghentikan ucapannya sejenak.
"Apa Pak Tama sedang menjebakmu?" Pertanyaan Devan seketika membuat Ardi dan Dara mematung sejenak.
Namun, sedetik kemudian mereka segera bergerak. Dara membuang pot bunga yang masih dipegangnya ke segala arah. Mereka bertiga pun berlari keluar dengan cepat.
DOR.
Tepat saat Dara sudah masuk ke mobil, ada suara tembakan.
"CEPAT!" ucap Devan pada Ardi. Mereka berdua sudah ada di dalam mobil terlebih dahulu. Ardi segera menyalakan mesin mobil dan pergi dari rumah Pak Tama.
DOR.
DOR.
DOR.
Beberapa kali tembakan mengarah ke mobil mereka, tapi mereka bertiga tidak membalasnya. Devan sibuk memasukkan amunisi pada tiga pistol yang baru saja diambilnya dari dashboard, sementara Ardi tetap fokus pada kemudinya dan berusaha secepat mungkin, untuk bisa pergi dari area pemukiman rumah Pak Tama, yang berada di gang lumayan sempit, sehingga membutuhkan konsentrasi yang lebih tinggi untuk mengendarai mobil dengan cepat, terlebih malam itu juga diiringi suara tembakan yang bertubi. Sementara Dara menoleh ke belakang dan memperhatikan dengan seksama, siapa gerangan orang yang telah menyerangnya.
Selesai mengisi amunisi, Devan segera melemparkan pistol pada Ardi dan Dara, serta satu lagi untuk dirinya sendiri. Hal itu Devan lakukan bukan untuk menyerang, melainkan semata-mata hanya untuk melindungi diri.
***
BRAAAK!!!
Sesampainya di rumah, Ardi menggebrak pintu dengan keras dan mengumpat, sehingga membuat Natasha dan Maria yang masih menunggu di ruang tamu terkejut. Arum yang sedang ada di ruang kerja Natasha pun juga segera turun. Begitu juga dengan Febri yang ada di kamar tamu, dia segera keluar tatkala mendengar suara yang sangat keras.
Grep.
"Apa yang sebenarnya sedang terjadi?" tanya Ardi pada Dara seraya dia mencengkram kerah bajunya.
"Sebenarnya siapa Pak Tama itu?" tanya Ardi dengan kesal sembari menatap tajam ke arah Dara.
"Ardi!" Maria pun segera berteriak, begitu juga dengan Devan yang segera berusaha melepaskan cengkraman tangan Ardi, pada kerah baju Dara tanpa bersuara.
Setelah tangan Ardi berhasil dilepaskan, Dara menarik nafas panjang dan segera berjalan ke arah sofa. "Yang menyerang kita tadi itu adalah temanku," ucap Dara dengan tatapan kosong.
"Apa?" tanya Ardi dan Devan dengan terkejut.
"Kenapa mereka menyerangmu?" tanya Devan.
"Mereka memang teman-temanku, tapi kalian juga jangan lupa dengan profesi mereka," ucap Dara.
"Mereka harus patuh pada perintah, mungkin mereka saat ini juga sedang diperintahkan untuk mencariku," imbuh Dara.
"Apa kalian terluka?" tanya Natasha sembari berjalan ke arah Devan dan segera memeluknya.
"Tidak ada yang terluka," jawab Devan seraya mengecup lembut kening Natasha dan menyambut pelukan hangat tersebut.
Ardi benar-benar frustasi saat ini, dia bahkan memijat pelipisnya yang mulai terasa pusing. "Bagaimana bisa temannya sendiri melakukan penyerangan?" gumam Ardi yang suaranya masih bisa didengar oleh semua orang.
Tidak ada suara lagi setelah itu, mereka semua hanya diam dan hanyut dalam pikiran mereka masing-masing.