Winter Alzona, CEO termuda dan tercantik Asia Tenggara, berdiri di puncak kejayaannya.
Namun di balik glamor itu, dia menyimpan satu tujuan: menghancurkan pria yang dulu membuatnya hampir kehilangan segalanya—Darren Reigar, pengusaha muda ambisius yang dulu menginjak harga dirinya.
Saat perusahaan Darren terancam bangkrut akibat skandal internal, Winter menawarkan “bantuan”…
Dengan satu syarat: Darren harus menikah dengannya.
Pernikahan dingin itu seharusnya hanya alat balas dendam Winter. Dia ingin menunjukkan bahwa dialah yang sekarang memegang kuasa—bahwa Darren pernah meremehkan orang yang salah.
Tapi ada satu hal yang tidak dia prediksi:
Darren tidak lagi sama.
Pria itu misterius, lebih gelap, lebih menggoda… dan tampak menyimpan rahasia yang membuat Winter justru terjebak dalam permainan berbeda—permainan ketertarikan, obsesi, dan keintiman yang makin hari makin membakar batas mereka.
Apakah ini perang balas dendam…
Atau cinta yang dipaksakan takdir?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27 — “Sentuhan yang Terlalu Lama”
Malam semakin larut di Tokyo, namun lampu-lampu di distrik Minato masih berpijar seperti hamparan berlian yang tak berujung. Setelah makan malam bisnis yang melelahkan dan percakapan berat di Omotesando, Winter dan Darren kembali ke hotel. Keheningan di antara mereka kini terasa berbeda—tidak lagi tajam dan berduri, melainkan tebal dengan sesuatu yang sulit dijabarkan: perpaduan antara penyesalan, keraguan, dan gairah yang mulai menyala kembali.
Mereka melangkah masuk ke dalam lift emas yang akan membawa mereka kembali ke lantai 45. Lift itu kosong, hanya ada mereka berdua. Winter berdiri di sudut, menatap pantulan dirinya di dinding cermin lift yang dipoles sempurna. Ia terlihat lelah, namun matanya memancarkan kebingungan yang nyata. Darren berdiri di sampingnya, tangan kanannya berada di saku celana, sementara tangan kirinya memegang tas kerja.
Baru saja lift melewati lantai 20, tiba-tiba terjadi guncangan hebat. Suara logam yang bergesekan terdengar memekik telinga, diikuti dengan sentakan yang membuat Winter kehilangan keseimbangan.
Lampu lift berkedip dua kali, lalu padam sepenuhnya.
"Darren!" pekik Winter refleks.
Dalam kegelapan total yang menyergap, Winter merasakan sebuah tangan yang kuat menyambar pinggangnya, menariknya dengan protektif. Darren bereaksi dengan kecepatan yang luar biasa. Ia memutar tubuh Winter, menyandarkan punggung wanita itu ke dinding lift sementara tubuhnya sendiri menjadi tameng di depan Winter.
"Tenang, Winter. Aku di sini," bisik Darren tepat di depan wajahnya.
Jantung Winter berdegup kencang, bukan hanya karena ketakutan akan lift yang berhenti mendadak, tetapi karena kedekatan fisik yang sangat intim ini. Ia bisa merasakan dada Darren yang bidang menekan lembut dadanya sendiri. Aroma tubuh Darren yang hangat menyelimutinya, menjadi satu-satunya titik tumpu di tengah kegelapan.
Winter secara refleks menggenggam lengan Darren, jari-jarinya mencengkeram kain jas mahal pria itu. "Apa yang terjadi? Kenapa liftnya tidak bergerak?"
"Mungkin gangguan daya sesaat. Sistem cadangan akan segera menyala," suara Darren terdengar sangat tenang, meskipun Winter bisa merasakan detak jantung Darren yang juga cepat di bawah telapak tangannya.
Dalam kegelapan itu, indra penciuman dan peraba Winter menjadi sepuluh kali lebih tajam. Ia bisa merasakan embusan napas Darren di keningnya. Tangan Darren yang melingkar di pinggangnya perlahan bergerak naik, mengusap punggung Winter dengan gerakan yang menenangkan—atau mungkin menggoda, Winter tidak lagi bisa membedakannya.
Tiba-tiba, lampu darurat berwarna merah redup menyala. Cahaya itu sangat minim, namun cukup untuk memperlihatkan wajah mereka yang hanya berjarak beberapa inci.
Mata mereka bertemu. Dalam keremangan merah itu, semua topeng korporat dan dendam sembilan tahun seolah menguap. Yang tersisa hanyalah dua orang yang pernah saling mencintai hingga hancur, terperangkap dalam ruang sempit di kota yang pernah memisahkan mereka.
Winter menyadari bahwa tangannya kini tidak lagi mencengkeram jas Darren, melainkan sudah berpindah, saling menggenggam dengan jemari Darren. Genggaman itu erat, seolah-olah jika salah satu melepaskan, mereka akan jatuh ke dalam jurang yang tak berdasar.
"Darren..." bisik Winter. Suaranya serak, penuh dengan ketidakpastian.
"Jangan katakan apa-apa, Winter," potong Darren pelan. Ia mencondongkan kepalanya, hidung mereka hampir bersentuhan. "Hanya untuk saat ini... lupakan kontrak itu. Lupakan Alzona. Lupakan pengkhianatan ayahmu. Lihat aku."
Winter merasa dunianya seolah berhenti berputar. Sentuhan tangan Darren di jemarinya terasa sangat panas, mengirimkan gelombang getaran ke seluruh tubuhnya. Ia tahu ia harus menarik diri. Ia tahu ia harus menegaskan kembali batas-batas yang ia buat. Namun, saat Darren perlahan mengusap ibu jarinya di atas punggung tangan Winter, semua pertahanan itu runtuh.
Sentuhan itu berlangsung terlalu lama. Terlalu intim untuk dua orang yang sedang berperang. Terlalu nyata untuk disebut sebagai bagian dari kontrak.
Winter bisa merasakan gairah yang sudah lama terkubur kini merayap naik, menuntut untuk diakui. Ia mendapati dirinya tidak ingin lift ini segera bergerak. Ia ingin tetap di sini, dalam keremangan merah ini, di mana ia tidak harus menjadi CEO yang dingin, dan Darren tidak harus menjadi suami yang ia benci.
Tiba-tiba, lift tersentak lagi. Lampu utama yang terang benderang kembali menyala, menyilaukan mata. Lift mulai bergerak naik kembali dengan halus.
Mereka berdua terdiam, namun tidak ada yang langsung melepaskan genggaman tangan. Napas mereka masih belum stabil, saling memburu di udara yang mendadak terasa sangat tipis.
Winter adalah yang pertama menarik diri saat angka di atas pintu menunjukkan lantai 40. Ia melepaskan tangan Darren dengan gerakan yang sedikit canggung, merapikan rambutnya yang sebenarnya tidak berantakan.
"Lampu... sudah menyala," ujar Winter datar, mencoba mendapatkan kembali kendali atas suaranya.
Darren berdiri tegak, merapikan jasnya. Ekspresinya kembali menjadi tenang, namun matanya masih mengunci Winter. "Ya. Lampu sudah menyala. Tapi kau tahu, Winter, kegelapan terkadang menunjukkan hal-hal yang tidak bisa kita lihat dalam terang."
Pintu lift terbuka di lantai 45. Winter melangkah keluar lebih dulu, langkahnya cepat, hampir seperti sedang melarikan diri. Ia tidak berani menoleh ke belakang, takut jika ia melihat mata Darren, ia akan kembali menyerah pada tarikan magnetis pria itu.
Sesampainya di dalam Imperial Suite, Winter langsung menuju ke jendela besar, memunggungi Darren. Ia memegang dadanya yang masih berdebar kencang. Sentuhan di lift tadi bukan sekadar refleks perlindungan; itu adalah proklamasi perasaan yang belum selesai.
"Aku akan mandi lebih dulu," ujar Winter tanpa berbalik.
"Winter," panggil Darren.
Winter berhenti, namun tetap tidak menoleh.
"Kau bisa lari sejauh apa pun di kamar ini, atau bahkan kembali ke Jakarta besok pagi," suara Darren terdengar sangat dekat di belakangnya. "Tapi sentuhan tadi... kau tahu itu nyata. Dan kau tahu bahwa kontrak enam bulan itu hanyalah cara untuk menunda apa yang tak terelakkan di antara kita."
Winter tidak menjawab. Ia segera masuk ke kamar mandi dan menutup pintu, menyandarkan tubuhnya di sana. Ia menatap tangannya yang tadi digenggam Darren. Masih ada rasa hangat yang tertinggal di sana, sebuah memori fisik yang menolak untuk pergi.
Winter Alzona menyadari dengan ngeri bahwa di bawah kilau lampu Tokyo dan intrik korporat yang rumit, ia sedang kehilangan posisi unggulnya. Dan yang lebih menakutkan, ia mulai tidak peduli apakah ia menang atau kalah, asalkan ia tidak harus kehilangan rasa hangat yang baru saja ia rasakan kembali setelah sembilan tahun yang dingin.