NovelToon NovelToon
Buddha Asura: Sang Pelindung Dharma

Buddha Asura: Sang Pelindung Dharma

Status: sedang berlangsung
Genre:Mengubah Takdir / Epik Petualangan / Fantasi Timur / Balas Dendam
Popularitas:11.7k
Nilai: 5
Nama Author: Kokop Gann

Di puncak Gunung Awan Putih, Liang Wu hanya mengenal dua hal: suara lonceng pagi dan senyum gurunya. Ia percaya bahwa setiap nyawa berharga, bahkan iblis sekalipun pantas diberi kesempatan kedua.

Namun, kenaifan itu dibayar mahal. Ketika gurunya memberikan tempat berlindung kepada seorang pembunuh demi 'welas asih', neraka datang mengetuk pintu. Dalam satu malam, Liang Wu kehilangan segalanya: saudara seperguruan dan gurunya yang dipenggal oleh mereka yang menyebut diri 'Aliansi Ortodoks'.

Terkubur hidup-hidup di bawah reruntuhan kuil yang terbakar, Liang Wu menyadari satu kebenaran pahit: Doa tidak menghentikan pedang, dan welas asih tanpa kekuatan adalah bunuh diri.

Ia bangkit dari abu, bukan sebagai iblis, melainkan sebagai mimpi buruk yang jauh lebih mengerikan. Ia tidak membunuh karena benci. Ia membunuh untuk 'menyelamatkan'.

"Amitabha. Biarkan aku mengantar kalian ke neraka, agar dunia ini menjadi sedikit lebih bersih."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kokop Gann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Di Bawah Senyum Maitreya

Kegelapan tidak memiliki warna, tetapi memiliki rasa.

Bagi Liang Wu, kegelapan rasanya seperti abu bercampur darah kering.

Tiga hari. Atau mungkin empat? Sulit membedakan waktu ketika matahari terkubur di balik ribuan ton kayu hangus dan batu. Yang dia tahu hanyalah siklus rasa sakit di separuh wajah kirinya: berdenyut, terbakar, lalu mati rasa, kemudian berdenyut lagi.

Liang Wu membuka matanya. Tidak ada perbedaan antara mata terbuka dan tertutup. Hitam pekat.

Dia mencoba bergerak, tetapi dada patung Maitreya perunggu yang menindih parit itu hanya menyisakan ruang gerak seukuran peti mati kecil. Kakinya tertekuk di dada, tangannya terjepit di sisi tubuh.

"Air..."

Suaranya bukan suara manusia. Itu suara gesekan dua kertas amplas. Tenggorokannya begitu kering hingga menelan ludah pun rasanya seperti menelan pecahan kaca.

Tess.

Suara itu. Suara kehidupan.

Di suatu tempat di atas kepalanya, air hujan sisa badai merembes melalui celah reruntuhan, menetes lambat.

Liang Wu menjulurkan lidahnya keluar, menempelkannya ke batu dingin di samping pipinya. Dia menunggu. Satu menit. Dua menit.

Tess.

Satu tetes air jatuh ke ujung lidahnya. Rasanya kotor, bercampur debu arang dan tanah, tapi bagi Liang Wu, itu adalah nektar surgawi. Dia menjilat batu itu dengan rakus, seperti anjing liar yang menjilati lantai pasar.

Setelah dahaganya sedikit reda, rasa sakit itu datang kembali menuntut perhatian.

Pipi kirinya.

Damar panas yang menetes saat kebakaran itu kini telah mengeras, menyatu dengan kulit dan dagingnya yang melepuh. Rasanya seperti ada topeng besi panas yang dipaku ke wajahnya. Setiap kali dia menggerakkan rahang, kulit itu tertarik, merobek luka yang baru akan kering.

Liang Wu mengangkat tangan kanannya yang gemetar—jari-jarinya bengkak dan ungu bekas diinjak—dan meraba wajah kirinya.

Kasar. Bergelombang. Hancur.

Dia tidak berani mengelupasnya. Jika dia menarik damar itu sekarang, dia akan menarik separuh wajahnya bersamanya.

"Cantik sekali, bukan, Guru?" bisik Liang Wu ke dalam kegelapan di sampingnya.

Tangan kirinya masih memeluk benda bulat itu. Kepala Guru Besar Xuan.

Sudah mulai berbau. Bau manis yang memuakkan dari pembusukan mulai menguar di ruang sempit itu, bersaing dengan bau asap. Tapi Liang Wu tidak melepaskannya. Dia mendekapnya lebih erat, seolah aroma kematian itu adalah satu-satunya hal yang nyata.

"Guru selalu bilang rupa adalah ilusi," racau Liang Wu pelan, tertawa kecil yang berakhir dengan batuk. "Sekarang aku tidak punya rupa lagi. Apakah aku sudah mencapai pencerahan?"

Guru Xuan tidak menjawab. Tentu saja.

Krucuk.

Perutnya melilit. Rasa lapar di hari keempat mulai menggerogoti dinding lambungnya. Rasa lapar ini lebih tajam daripada rasa sakit di wajahnya. Tubuh kultivator Ranah Pengumpulan Qi belum bisa hidup tanpa makanan. Dia butuh energi untuk menyembuhkan luka.

Srek. Srek.

Suara kecil terdengar di dekat kakinya. Sesuatu yang berbulu dan cepat.

Tikus.

Tikus-tikus selokan yang selamat dari kebakaran, kini datang mencari sisa-sisa makanan di reruntuhan. Dan di mata mereka, Liang Wu hanyalah sepotong daging besar yang belum mati sepenuhnya.

Seekor tikus besar merayap naik ke betis Liang Wu. Cakar-cakar kecilnya yang tajam menusuk kulit celananya yang robek.

Liang Wu diam mematung. Dia menahan napas.

Di masa lalu, dia akan memindahkan semut agar tidak terinjak. Dia akan memberikan rotinya pada kucing liar.

Tapi hari ini...

Saat tikus itu merayap naik ke perutnya, mendekat ke arah bau darah di wajahnya, tangan kanan Liang Wu bergerak secepat kilat.

Hap!

Dia mencengkeram tubuh gemuk hewan pengerat itu. Tikus itu mencicit panik, menggeliat, dan menggigit ibu jari Liang Wu hingga berdarah.

Liang Wu tidak peduli. Dia merasakan detak jantung tikus itu di telapak tangannya. Cepat. Takut. Hidup.

"Amitabha," bisik Liang Wu.

Tapi dia tidak melepaskannya.

Krak.

Dia meremas tangannya. Tulang tikus itu remuk. Cicitannya berhenti seketika.

Liang Wu mengangkat bangkai hangat itu ke mulutnya. Dia tidak punya api untuk memasak. Dia tidak punya pisau untuk menguliti.

Dia menggigit.

Rasa darah mentah yang amis dan bulu yang kasar memenuhi mulutnya. Dia mengunyah, menelan daging yang alot dan tulang-tulang kecil itu dengan paksaan. Perutnya bergejolak ingin memuntahkannya, tapi dia menelannya kembali.

Makan, suara insting purbanya berteriak. Makan atau kau akan mati di sini dan menjadi makanan mereka.

Dia menghabiskan tikus itu sampai ke ekornya.

Setelah selesai, Liang Wu bersandar kembali ke dinding batu. Darah tikus menodai bibir dan dagunya, bercampur dengan nanah dari luka bakarnya.

Dia merasa... kuat.

Sedikit Qi mulai mengalir dari perutnya, hasil dari mencerna daging itu. Qi yang kotor, liar, dan penuh ketakutan si tikus, tapi itu tetap energi.

Liang Wu menutup matanya. Dia mulai memutar teknik pernapasan dasar Kuil Teratai Emas. Namun, alih-alih membayangkan bunga teratai yang mekar di kolam suci, dia membayangkan bunga teratai merah yang tumbuh dari tumpukan bangkai tikus.

"Satu tikus tidak cukup, Guru," bisiknya pada kepala di pelukannya. "Aku butuh lebih banyak."

Dia mulai meraba-raba dinding parit dengan jarinya yang patah, mencari batu tajam. Bukan untuk membunuh tikus lagi.

Tapi untuk mulai menggali jalan keluar.

1
azizan zizan
jadi kuat kalau boleh kekuatan yang ia perolehi biar sampai tahap yang melampaui batas dunia yang ia berada baru keluar untuk balas semuanya ..
azizan zizan
murid yang naif apa gurunya yang naif Nih... kok kayak tolol gitu si gurunya... harap2 si murid bakal keluar dari tempat bodoh itu,, baik yaa itu bagus tapi jika tolol apa gunanya... keluar dari tempat itu...
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Yeaaah 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Waooow 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Misi dimulai 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Cerita bagus...
Alurnya stabil...
Variatif
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Sukses 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Sapu bersih 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Hancurken 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Yup yup yup 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Jlebz 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Rencana brilian 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Dicor langsung 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Bertambah kuat🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Semangat 🦀🍄
Wiji Lestari
busyet🤭
pembaca budiman
saking welas asihnya ampe bodoh wkwkwm ciri kas aliran putih di novel yuik liang ambil alih kuil jadiin aliran abu² di dunia🤭
syarif ibrahim
sudah mengenal jam kah, kenapa nggak pake... 🤔😁
Wiji Lestari
mhantap
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Keadilan yg tidak adil🦀🍄
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!