NovelToon NovelToon
THE SECRETARY SCANDAL

THE SECRETARY SCANDAL

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Playboy / Obsesi / Kehidupan di Kantor / Romansa / Fantasi Wanita
Popularitas:5.7k
Nilai: 5
Nama Author: NonaLebah

Dia mendengar kalimat yang menghancurkan hatinya dari balik pintu:
"Dia cuma teman tidur, jangan dibawa serius."

Selama tiga tahun, Karmel Agata percaya cintanya pada Renzi Jayawardhana – bosnya yang jenius dan playboy – adalah kisah nyata. Sampai suatu hari, kebenaran pahit terungkap. Bukan sekadar dikhianati, dia ternyata hanya salah satu dari koleksi wanita Renzi.

Dengan kecerdasan dan dendam membara, Karmel merancang kepergian sempurna.

Tapi Renzi bukan pria yang rela kehilangan.
Ketika Karmel kembali sebagai wanita karir sukses di perusahaan rival, Renzi bersumpah merebutnya kembali. Dengan uang, kekuasaan, dan rahasia-rahasia kelam yang ia simpan, Renzi siap menghancurkan semua yang Karmel bangun.

Sebuah pertarungan mematikan dimulai.
Di papan catur bisnis dan hati, siapa yang akan menang? Mantan sekretaris yang cerdas dan penuh dendam, atau bos jenius yang tak kenal kata "tidak"?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NonaLebah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 25

Matahari siang menyelinap melalui dinding kaca panoramik di lantai 50 Gedung JMG, menerangi ruangan kerja Hartono Jayawardhana dengan cahaya keemasan. Ruangan seluas 100 meter persegi itu dipenuhi dengan sentuhan klasik—kayu mahoni tua berusia puluhan tahun, rak buku dari lantai hingga langit-langit berisi koleksi literatur bisnis dan filsafat, serta beberapa lukisan maestro Indonesia yang harganya setara dengan mobil mewah.

Hartono, pria 65 tahun dengan postur tegap meski usia sudah mulai berbicara, duduk di balik meja kerjanya yang terbuat dari kayu sonokeling utuh. Tangannya yang berurat memegang sebatang rokok Cuba yang sudah separuh habis, asapnya menari-nari sebelum akhirnya larut dalam filtrasi udara canggih yang tersembunyi di plafon. Matanya yang tajam menatap jam dinding antik di dinding—jarum jam menunjukkan pukul 11.16.

Renzi bilang akan datang siang ini, pikir Hartono sambil mengetuk-ngetuk abu rokok ke asbak kristal. Pasti ada masalah lagi.

Pengalaman selama 40 tahun membesarkan JMG dan 32 tahun membesarkan Renzi mengajarkannya satu hal: putra sulungnya itu hanya datang ke ruangannya tanpa janji sebelumnya ketika ada masalah besar yang tidak bisa diselesaikan sendiri—atau ketika sudah membuat masalah baru yang butuh intervensi darinya.

Tepat ketika jarum jam bergerak sedikit lagi, ketukan pelan terdengar di pintu kayu mahoni setinggi tiga meter.

"Masuk," sahut Hartono, suaranya berat penuh wibawa.

Pintu terbuka perlahan. Renzi muncul di baliknya, mengenakan setelan jas Hugo Boss warna anthracite gray yang duduk sempurna di tubuh atletisnya. Kemeja putih dengan lipatan tajam, dasi hitam polos, sepatu Oxford kulit Italia yang mengilap—setiap detail terlihat sempurna seperti biasa. Tapi Hartono, dengan mata seorang ayah dan bos yang berpengalaman, bisa melihat sesuatu yang berbeda di balik kesempurnaan itu. Ada kilatan di mata Renzi yang biasanya hanya muncul ketika dia telah merancang sesuatu dan yakin akan berhasil.

"Pah..." sapa Renzi sambil masuk ke dalam, suaranya rendah namun penuh keyakinan. Langkahnya mantap, tidak terburu-buru, seolah sedang menguasai panggung.

Hartono tidak langsung menyuruhnya duduk. Dia memandangi putranya dari seberang meja, matanya menyipit meneliti. "Jadi kamu bikin masalah apa kali ini," sindirnya, suaranya datar namun penuh muatan. Jari telunjuknya menunjuk ke arah kursi kulit di seberang meja, isyarat bagi Renzi untuk duduk.

Renzi tersenyum tipis, senyum yang tidak sampai ke mata. Dia duduk dengan anggun, menyilangkan kaki, sikap tubuhnya rileks namun tetap elegan. "Aku bawa hadiah buat papa," ujarnya, suaranya percaya diri.

Hartono mengangkat alisnya yang sudah beruban. Hadiah dari Renzi? Ini baru. Biasanya yang datang adalah permintaan maaf, penjelasan, atau permintaan persetujuan untuk langkah bisnis yang berisiko tinggi.

"Papa sudah punya semuanya," jawab Hartono sambil menekan rokoknya di asbak sampai padam. "Jadi pastiin hadiah kamu itu berkesan."

"Pasti," ujar Renzi yakin. Matanya berbinar dengan kepastian yang membuat Hartono semakin penasaran. "Wait a minute."

Renzi berdiri, merapikan lipatan jasnya dengan gerakan halus. Dia berjalan menuju pintu dengan langkah tenang, membukanya, dan keluar tanpa menutupnya sepenuhnya. Hartono bisa mendengar suara bisikan samar dari luar, tapi tidak bisa menangkap kata-katanya.

Beberapa detik berlalu. Hartono menghela napas, meraih gelas berisi air mineral di mejanya. Sebelum sempat meneguk, Renzi sudah kembali.

Dia berdiri di ambang pintu, tangan kanannya memegang gagang pintu. Senyum di bibirnya kini lebih lebar, lebih nyata. Ada ekspresi kemenangan di wajahnya—ekspresi seorang pemburu yang baru saja mendapatkan buruan langka.

"Papa siap?" tanya Renzi, suaranya hampir berbisik.

Sebelum Hartono sempat menjawab, Renzi membukakan pintu lebar-lebar, mundur selangkah untuk memberi ruang. Dari balik pintu, muncul sosok yang membuat Hartono tersentak.

Karmel Agata berjalan pelan masuk ke dalam ruangan. Dia mengenakan blazer putih tailored dengan potongan sempurna yang menegaskan lekuk bahu dan pinggangnya, dipadukan dengan celana hitam high-waisted yang memperpanjang siluet kakinya. Rambutnya yang hitam berkilau disanggul rendah rapi, memperlihatkan leher jenjang dan anting mutiara kecil di telinganya. Wajahnya—dengan tulang pipi tinggi, alis terpencil rapi, dan mata coklat madu yang tajam—awalnya menunduk, tapi kemudian dia mengangkat kepalanya perlahan, menatap langsung ke arah Hartono.

Ruangan itu seolah berhenti bernapas selama beberapa detik.

Hartono Jayawardhana, pria yang biasa tenang menghadapi gejolak pasar saham dan krisis bisnis, kini terlihat seperti terkena sengatan listrik. Tubuhnya yang tegap perlahan bangkit dari kursi, kedua tangannya menempel di permukaan meja kayu untuk menahan keseimbangan. Matanya yang tajam membelalak, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

"Karmel," ucapnya, suaranya terdengar serak, penuh dengan kejutan yang tulus.

"Pak Hartono," sapa Karmel, suaranya jernih meski ada sedikit getaran di ujungnya. Dia melangkah lebih dalam, berhenti sekitar tiga meter dari meja Hartono. "Apa kabar?"

Hartono tidak langsung menjawab. Dia memandangi Karmel dari ujung kepala sampai kaki, seolah memastikan ini bukan ilusi. Enam bulan lalu, wanita ini meninggalkan JMG dengan cara yang dramatis, meninggalkan kekosongan yang bahkan tidak bisa diisi oleh tiga sekretaris pengganti sekaligus. Dan sekarang, dia berdiri di sini, di ruangannya, dengan aura yang lebih matang, lebih berwibawa, tapi tetap dengan kecerdasan yang memancar dari setiap pori-porinya.

"Are you back?" tanya Hartono akhirnya, suaranya penuh harap yang jarang ia tunjukkan.

Karmel menarik napas dalam. Di sudut matanya, Renzi berdiri dengan sikap santai, menikmati setiap detil reaksi ayahnya. Dia tahu, ini adalah panggung yang disutradarai Renzi, dan dia hanya pemain yang terpaksa naik panggung. Tapi di hadapan Hartono, pria yang selalu memperlakukannya dengan hormat dan kasih sayang layaknya anak sendiri, Karmel tidak bisa bersikap dingin.

Dia mengangguk perlahan, pastikan gerakannya tegas dan jelas. "Iya, Pak."

"Awesome!" seru Hartono, suaranya tiba-tiba menggelegar penuh energi. Tangannya yang besar menepuk meja sekali dengan keras, membuat gelas air bergetar. Wajahnya yang biasanya serius kini bersinar dengan kegembiraan yang murni, keriput di sudut matanya melengkung membentuk senyuman lebar yang jarang terlihat.

Dia berjalan keliling meja dengan langkah cepat—untuk usianya—dan mendekati Karmel. Tanpa ragu, kedua tangannya yang besar meraih bahu Karmel, memandanginya dengan tatapan penuh kebanggaan dan kehangatan.

"Kamu nggal tahu betapa senangnya saya lihat kamu kembali," ucap Hartono, suaranya lebih lembut sekarang. "Kantor ini terasa berbeda tanpa kamu. Bahkan kopi di pantry rasanya nggak seenak dulu."

Karmel tersenyum kecil, senyum yang sedikit kaku tapi tulus. "Terima kasih, Pak Hartono. Senang bisa kembali."

Di belakang mereka, Renzi menyeringai puas. Tangannya masuk ke saku celana, bersandar di pintu dengan sikap santai. Adegan ini berjalan persis seperti yang dia rencanakan. Dia tahu Hartono sangat menyukai Karmel—tidak hanya sebagai sekretaris kompeten, tapi juga seperti anak perempuan yang tidak pernah dimilikinya. Kembalinya Karmel adalah hadiah sempurna untuk membungkus semua masalah yang mungkin timbul dari cara dia "mendapatkan" kembali Karmel.

Hartono melepaskan pegangan di bahu Karmel, tetapi matanya masih tak lepas darinya. "Kamu pasti sudah berkembang pesat. Saya dengar kamu jadi Manager di Bumi Atmaja. Hebat."

"Terima kasih, Pak," jawab Karmel, menunduk sedikit. Di dalam hatinya, rasa bersalah menggerogoti. Hartono tidak tahu bahwa kembalinya dia ke sini adalah hasil pemerasan dan manipulasi anaknya sendiri.

"Kita mesti rayain ini!" seru Hartono tiba-tiba, berbalik ke arah Renzi. "Renzi, pesan meja di Les Amis. Atau tunggu—" dia berpikir sebentar, "lebih baik di ruang VIP Le Quartier. Itu lebih privat."

Renzi mengangguk, mengeluarkan ponselnya dari saku dalam jas. "Sudah Renzi atur, Pah. Jam satu siang, meja untuk tiga orang." Jarinya dengan cepat mengetik pesan konfirmasi.

Hartono memandangi Renzi, lalu kembali ke Karmel. Di matanya yang tajam, ada kilatan pertanyaan—tentang bagaimana Renzi bisa membujuk Karmel kembali, tentang apa yang terjadi di balik layar. Tapi untuk saat ini, kegembiraan atas kembalinya aset terbaik JMG itu menutupi kecurigaannya.

***

Ruang VIP restoran Le Quartier adalah sebuah ruangan terpisah dengan tiga dinding kaca panoramik yang menghadap langsung ke Taman Menteng. Interiornya didominasi kayu walnut gelap, kursi beludru burgundi, dan penerangan lampu tembaga yang menciptakan suasana intim namun mewah. Di tengah ruangan, sebuah meja bundar besar dengan taplak linen putih bersih sudah disiapkan untuk tiga orang—Hartono di posisi utama menghadap taman, Renzi di sebelah kanannya, dan Karmel di sebelah kirinya.

Makan siang sudah berlangsung selama dua puluh menit. Hidangan pembuka—foie gras dengan apel karamel dan brioche panggang—sudah disantap. Pelayan dengan seragam impeccable baru saja mengangkat piring-piring kosong dan menggantinya dengan hidangan utama: black cod miso untuk Hartono, wagyu tenderloin untuk Renzi, dan lobster thermidor untuk Karmel.

Hartono memotong ikan di piringnya dengan gerakan hati-hati, lalu mencelupkannya ke dalam saus miso yang berkilau. Matanya yang tajam berpindah antara Renzi dan Karmel. Ada sesuatu yang tidak sepenuhnya dia pahami dari dinamika di antara mereka—cara Karmel yang agak kaku, cara Renzi yang terlalu menguasai percakapan.

Setelah menelan suapan pertama, Hartono meletakkan pisau dan garpunya. "Jadi apa posisi yang Renzi kasih sampai kamu mau balik lagi Mel?" tanyanya langsung ke inti, sambil menyeka mulutnya dengan serbet linen.

Karmel membeku sesaat, sendok di tangannya berhenti di tengah jalan menuju mulut. Matanya melirik ke arah Renzi—sebuah pandangan singkat yang penuh dengan sesuatu yang tidak bisa Hartono baca sepenuhnya.

"Senior Manager – Strategic Growth & Corporate Planning," Renzi yang menjawab, suaranya datar namun penuh otoritas. Dia memotong daging wagyu-nya dengan presisi, tidak melihat ayahnya, seolah sedang membicarakan cuaca.

Hartono mengerutkan kening. "Kamu suruh dia jadi manager? Nggak ada jabatan lain?" keluhnya, suaranya menunjukkan kekecewaan yang jelas. Bagi Hartono, yang telah melihat potensi luar biasa Karmel, jabatan manager—meski dengan embel-embel "senior"—terasa seperti underplacement.

Di balik ekspresi dinginnya, Renzi sebenarnya telah mempertimbangkan segala sesuatunya dengan cermat. Memberi Karmel jabatan sebagai Senior Manager – Strategic Growth & Corporate Planning adalah keputusan strategis yang dihitung dengan presisi milimeter:

Pertama, jabatan ini cukup tinggi untuk membuat Karmel merasa dihargai dan mencegahnya memberontak terlalu dini, tapi tidak cukup tinggi untuk memberinya kendali penuh atau akses tak terbatas ke informasi sensitif perusahaan.

Kedua, posisi di bidang strategic growth berarti Karmel akan fokus pada rencana jangka panjang dan proyek-proyek baru—bukan operasional harian yang menjadi inti kekuasaan Renzi. Dia bisa "mengawasi" Karmel dengan alasan monitoring perkembangan strategis.

Ketiga, sebagai senior manager, Karmel akan tetap berada di bawah Renzi dalam struktur organisasi. Setiap proposal, setiap keputusan, setiap langkah harus melalui persetujuannya. Ini adalah cara untuk menjaga kendali sambil memberi ilusi kebebasan.

Keempat, Renzi tahu Karmel cerdas dan ambisius. Memberinya tantangan intelektual akan membuatnya tetap terikat—seperti memberikan puzzle yang rumit kepada seorang genius. Dia akan sibuk memecahkan masalah bisnis daripada merencanakan pelarian.

Kelima, dan ini yang paling licik: jika Karmel berhasil dalam posisi ini, keuntungannya akan mengalir ke JMG (dan secara tidak langsung ke Renzi). Jika gagal, Renzi bisa menggunakan kegagalan itu untuk melemahkan posisinya dan menguatkan kendalinya atasnya.

Tapi alasan terdalam yang tidak akan pernah Renzi akui—bahkan pada dirinya sendiri—adalah bahwa dia takut memberi Karmel terlalu banyak kekuasaan. Hati dan pikiran Karmel sekarang jelas berseberangan dengannya. Memberinya jabatan direktur atau vice president yang setara akan seperti memberikan senjata kepada musuh yang paling memahami kelemahannya.

"Oke..." Hartono mencoba memahami, meski raut wajahnya masih menunjukkan keraguan. Dia mengambil seteguk wine merah di gelas kristalnya.

"Tapi tenang aja, Pah," Renzi melanjutkan, kini menatap ayahnya dengan senyum tipis yang penuh keyakinan. "Fee Karmel jelas diatas jabatannya sekarang."

Hartono mengangguk pelan, lalu memandang Karmel. "Kalau kamu keberatan dengan jabatanmu sekarang. Kamu bilang aja, Mel. Nanti saya sendiri yang akan menaikan jabatanmu." Tawarnya tulus, penuh dengan keinginan untuk memastikan Karmel mendapat perlakuan yang pantas.

Karmel tersenyum kecil—senyum yang indah namun terasa seperti topeng. "Sudah lebih dari cukup, Pak," jawabnya sopan dan lembut, suaranya terjaga sempurna. Di balik kata-kata itu, ada penerimaan pahit bahwa ini adalah bagian dari perjanjiannya dengan Renzi.

Tapi di bawah meja, di balik taplak linen putih yang menjuntai hingga hampir menyentuh lantai marmer, sebuah drama lain sedang berlangsung.

1
Forta Wahyuni
jd males bacanya, pemeran wanitanya walau cerdas tpi tetap harga dirinya bisa diinjak2 oleh lelaki jenius tapi murahan.
muna aprilia
lanjut 👍
Forta Wahyuni
hebat Renzi bilang karmel murahan n dia tak tau diri krn tunjuk satu lg menunjuk tepat ke mukanya bahwa dia juga sampah. lelaki jenius tapi burungnya murahan n bkn lelaki yg berkelas n cuma apa yg dipki branded tapi yg didalam murahan. 🤣🤣🤣🤣
Forta Wahyuni
knapa critanya terlalu merendahkan wanita, harga diri diinjak2 n lelakinya boleh masuk tong sampah sembarangan. wanitanya harus tetap nerima, sep gk punya harga diri n lelaki nya jenius tapi burungnya murahan. 🤣🤣🤣
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!