bagaimana jadinya kalau anak bungsu disisihkan demi anak angkat..itulah yang di alami Miranda..ketiga kaka kandungnya membencinya
ayahnya acuh pada dirinya
ibu tirinya selalu baik hanya di depan orang banyak
semua kasih sayang tumpah pada Lena seorang anak angkat yang diadopsi karena ayah Miranda menabrak dirinya.
bagaimana Miranda menjalani hidupnya?
simak aja guys
karya ke empat saya..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bertemu ibu kirana
Setelah selesai bersiap, Miranda berjalan berdampingan dengan Rian Baskara. Mereka benar-benar tampak seperti pasangan sempurna, satu tampan dan satu cantik. Setelah semalaman belajar berjalan dengan high heels, akhirnya Miranda bisa melangkah dengan elegan. Guru etiket takjub dengan kecepatan Miranda dalam belajar dan merasa heran karena tidak sesuai dengan informasi yang dia dapatkan sebelumnya bahwa Miranda itu bodoh karena nilai ijazahnya rendah.
Reza duduk di kursi pengemudi. Miranda dan Rian duduk di tengah. Reza memang asisten serba bisa, dia sudah mengasuh Rian sejak kecil. Dia bisa berperan menjadi apa pun sesuai kondisi yang dibutuhkan.
Tangan Miranda terasa dingin. Jujur saja, dia merasa gugup. Rian saja sudah begitu menyeramkan, bagaimana dengan ibunya. Bayangan dirinya akan dimaki-maki bahkan mengalami KDRT sudah dia buat sendiri di dalam benaknya. Rian tampak tenang, tidak menunjukkan perubahan suasana hati.
“Hanya wanita polos. Pasti bisa aku kendalikan,” pikir Rian dalam hati.
Butuh waktu tiga puluh menit hingga mereka memasuki kawasan elit. Sebuah mansion mewah berdiri megah di tengah area luas itu. Ada lima bangunan utama. Bangunan paling besar adalah kediaman keluarga Baskara, sedangkan empat bangunan lainnya merupakan tempat tinggal para pegawai Nyonyá Kirana.
Kediaman Baskara tampak megah sejak gerbang besinya terbuka perlahan. Jalan setapak berbatu abu-abu membelah taman luas yang dipenuhi pohon peneduh dan tanaman hias yang tertata rapi. Dinding luar rumah dilapisi batu alam berwarna gelap, memberi kesan kokoh dan elegan. Lampu-lampu taman menyala redup saat senja, menonjolkan siluet bangunan yang anggun namun tegas. Dari luar saja, rumah itu memancarkan wibawa pemiliknya, seolah menyimpan banyak cerita tak terucap.
Mobil Rian yang diikuti mobil para pengawal di belakang berhenti di depan rumah utama keluarga Baskara. Seorang pria paruh baya berbusana tuksedo segera melangkah mendekat dan membuka pintu mobil. Rian turun dengan gerakan elegan, lalu Miranda menyusul di belakangnya.
Miranda berakting dengan sangat baik. Ia menampilkan senyum anggun khas perempuan berkelas, membuat siapa pun percaya bahwa ia terbiasa hidup di lingkungan elit. Ia menoleh pada pria paruh baya itu dan tersenyum ramah.
“Selamat datang di kediaman keluarga Baskara,” ucap pria tersebut dengan sopan.
Rian memuji cara bersikap Miranda, tetapi tentu saja hanya dalam hati. Gengsinya terlalu tinggi untuk mengucapkan pujian secara langsung.
Miranda dan Rian melangkah dengan elegan memasuki rumah besar itu. Semua ART menunduk hormat saat keduanya melewati mereka.
Miranda sebenarnya takjub melihat interior rumah yang megah, tetapi ia berusaha bersikap biasa saja. Dalam hati ia bergumam, “Syukurlah aku sering menonton drama Korea. Aku tidak boleh terlihat kampungan. Walau sebenarnya aku ingin sekali berfoto dengan lukisan Johann Wolfgang von Goethe itu.”
Rian dan Miranda duduk di ruang utama yang luas dan mewah. Langit-langit tinggi dengan lampu kristal besar memantulkan cahaya lembut. Lantai marmer berkilau, sementara dinding dipenuhi lukisan klasik. Sofa kulit krem tersusun rapi, memberi kesan elegan dan mahal. Ruangan itu terasa sunyi dan berwibawa.
Perasaan Miranda campur aduk, tetapi ia terus mengingat pesan Rian untuk menjaga sopan santun. Walaupun gugup, ia berusaha mempertahankan sikap tenang. Wangi parfum mahal tercium lembut, membuat Miranda menoleh sekilas pada sosok yang melangkah masuk dengan elegan. Seorang wanita cantik berusia sekitar lima puluh tahun tampil menawan, gaunnya tampak sederhana tetapi jelas sangat mahal.
Wanita itu duduk dengan anggun, sementara dua asistennya berdiri di belakangnya, siap menerima perintah kapan saja.
“Selamat datang di kediaman Baskara,” ucap Kirana dengan menggunakan bahasa Jerman.
Rian terkejut. Ia sama sekali tidak menyangka ibunya akan langsung berbicara dengan bahasa Jerman. Hal itu tak pernah terpikir olehnya; ia hanya berfokus pada penampilan dan sikap Miranda, bukan kemampuan bahasanya.
Miranda hanya diam, mengikuti instruksi Rian untuk tetap sopan dan tidak berbicara.
“Mungkin Miranda tidak mengerti bahasa Mama,” ucap Rian hati-hati.
“Diam,” tegas Kirana. Suaranya keras dan membuat Miranda tersentak. Rian pun langsung terdiam.
“Kamu tidak boleh bicara sebelum aku izinkan,” lanjut Kirana. Nada otoritasnya memenuhi ruangan.
Rian menahan napas. “Wah ini benar-benar di luar prediksi. Aku belum membriefing Miranda untuk menjawab pertanyaan apa pun,” pikirnya frustasi. Reza yang berdiri di belakang juga terlihat panik. Dalam rencana awal, Miranda hanya perlu duduk diam saja.
“Hei kamu selamat datang,” ucap Kirana kembali, kali ini tetap menggunakan bahasa Jerman.
Miranda menunduk hormat lalu menjawab dengan tenang.
“Vielen Dank für Ihre herzliche Begrüßung, Frau Kirana.
Es ist eine große Ehre, heute hier zu sein.”
Yang artinya “Terima kasih atas sambutan hangat Anda, Ibu Kirana. Merupakan kehormatan besar bagi saya bisa berada di sini hari ini”
Ucapannya fasih, pelafalannya rapi, membuat para asisten Kirana langsung saling pandang.
Rian mengangkat alis, terkejut dan tanpa bisa menutupi rasa kagum yang muncul begitu saja. Ia tidak pernah membayangkan Miranda mampu berbicara bahasa asing sefasih itu. Kirana justru tampak semakin tertarik.
“Siapa nama kamu?” tanya Kirana lagi dalam bahasa Jerman.
“Miranda, Nyonya,” jawab Miranda sopan, tetap menggunakan bahasa Jerman.
Kirana memperhatikannya lebih lama sebelum bertanya, “Kenapa tadi kamu terus melihat lukisan Johann Wolfgang von Goethe?”
Miranda terdiam sejenak, mencari jawaban yang sopan,
Miranda menarik napas pelan lalu menjawab dengan sopan dalam bahasa Jerman, fasih dan terukur.
“Johann Wolfgang von Goethe adalah salah satu sastrawan terbesar Jerman, Nyonya. Saya mengagumi pemikirannya tentang manusia dan kehidupan. Beliau menulis Faust, Die Leiden des jungen Werthers, dan banyak puisi klasik lainnya. Saya sangat menyukai kutipannya, salah satunya tentang keberanian: ‘Mut wächst mit dem Herzen, und das Herz wächst mit der Aufgabe.’ Dan satu lagi yang sering menguatkan saya: ‘Was immer du tun kannst oder träumst, beginne es.’ Karena itu saya melihat lukisannya cukup lama. Beliau memberi saya banyak inspirasi.”
Rian dan reza menarik nafas lega awalnya mengira kalau Miranda hanya kebetulan saja bisa beberapa kosa kata jerman tapi dari interkasi dengan Ibu kirana menunjukan kalau Miranda memang fasih dan mempunyai beberapa pengetahuan tentang jerman
“Ok cukup, kamu lumayan pintar,” ucap Kirana puas. Kali ini dia menggunakan bahasa Indonesia.
“Terima kasih banyak, Nyonya,” jawab Miranda sopan.
“Sekarang berapa usia kamu?” tanya Kirana.
“Dua belas hari lagi dari sekarang usia saya delapan belas tahun,” jawab Miranda.
Kirana tampak terdiam lalu dengan elegan mengambil gelas berisi teh dan meminumnya perlahan.
“Kenapa kamu mau menikah dengan anakku. Bukankah usia kamu masih sangat belia untuk menikah.”
Miranda menoleh sekilas ke arah Rian dan Reza.
“Jangan melihat mereka. Jawab saja. Aku tidak suka kebohongan,” ucap Kirana tegas.
“Saya menikah dengan Tuan Rian untuk membayar hutang ayah saya sebanyak delapan belas miliar.”
“Ah sialan kenapa dia menjawab jujur,” ucap Rian dalam hati.
Suasana mendadak mencekam.
Kakak ga punya akhlak
mma Karin be smart dong selangkah di depan dari anak CEO 1/2ons yg masih cinta masalalu nya