Reina masuk kedalam tubuh sang tokoh antagonis yang merupakan tunangan dari tokoh utama pria yang sangat obsess pada sang tokoh wanita. Takdir dari buku yang dibacanya harus mati dengan keadaan menyedihkan. Tapi Reina tidak ingin takdir buruk itu terjadi. Salah satunya dengan merubah takdirnya dengan memutuskan pertunangannya dengan Nico sang tokoh utama. Sayangnya perubahannya membuat pria gila berbarik tertarik padannya dan berjanji tidak akan melepaskan. Rencana hidup tenangnya harus hancur dengan pria gila yang malah obsesi padanya bukan pada kekasih kakaknya. Tidak sampai disitu saja masalah dalam hidupnya silih berganti. Berbagai karakter muncul yang tak seharusnya ada di cerita.
"Mari kita batalkan pertunangan ini."
"Tidak akan pernah, kamu sudah masuk ke dalam duniaku dan cara untuk keluar hanya dengan kematian. Sayangnya aku tidak akan membiarkan kematian merenggut kelinci kesayangan itu."
"Kenapa alurnya jadi berubah."
"Semua usahaku sudah selesai , mari kita putus."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dewisl85, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 19
Shaka terkejut dengan fakta yang dipaparkan sahabatnya. Selama ini ia hanya tahu adiknya hilang ingatan. Apa maksudnya dengan fakta adiknya mencob melukai dirinya. Tidak sampai disitu saja, adiknya mengindap bipolar.
"Sekarang kamu paham Shaka, kenapa aku mencoba menghindari wanitaku? aku tidak ingin dia melukai dirinya. Karena satu tahun sejak kejadian itu, ingatannya telah kembali. Tapi dia terus menerus menyalahkan kematian adikku. " Jelas Nico sebelum meninggalkan ruangan itu. Pria itu berjalan dengan cepat menuju mobilnya. Ia harus segera sampai tempat itu. Sebelum kejadian buruk itu kembali terjadi.
"Paul, kenapa kamu menyembunyikan semua ini?" tanya Shaka yang tidak terima dengan fakta semua itu. Kenapa hanya dia yang tidak tahu mengenai keadaan adiknnya. Padahal dia adalah kakak kandung dari Reina.
"Permintaan Reina." jelas Paul dengan singkat, Ia membantu sahabatnya berdiri dan membawanya ke dalam ruangan tempat lain di markas ini. Yuda mengikuti sahabatnya dengan kebingungan yang mengisi di pikirannya.
"Yuda kamu harus menyusul Nico jangan lupa kabari Vino juga." ucap Paul yang langsung dilaksanakan sahabatnya tanpa ada bantahan. Ia tahu kondisi seperti ini dia cuman bisa mengikuti permintaan sahabatnya.
"Kamu harus jelaskan Paul mengenai kondisi adikku."
"Shaka, kejadian itu membuatmu koma selama dua tahun, saat itu keadaan Reina tidak bisa dikatakan baik-baik saja. Ia tidak mengalami amnesia tapi aku membuatnya lupa mengenai kejadian itu. Semua itu atas permintaan Nico. Dia tidak ingin melihat Reina yang selalu ingin bunuh diri. " jelas Paul sambil mengingat kejadian beberapa tahun lalu.
Kejadian itu terus mengulang di setiap mimpinya. Ia marah pada dirinya sendiri karena tidak bisa menyelamatkan sahabatnya sendiri. Bahkan Nina memilih menyelamatkannya hari itu. Rasa marah yang tidak bisa dia luapkan pada apapun selain dirinya. Setiap hari rasa bersalah semakin menumpuk dihatinya. Ia marah dengan takdirnya yang malah mengambil sahabatnya sekaligus kekasih kakaknya. Bahkan kejadian itu membuat kakaknya koma selama satu tahun ini.
"Nina, kenapa kamu malah pergi? harusnya hari itu kamu tidak menyelamatkanku. Aku yang harusnya mati hari itu. Karena keberadaanmu lebih berarti untuk kita." ucap Reina sambil menggores pisau di lengan kirinya. Tidak ada ringisan yang keluar dari bibirnya. Ia tidak merasa sakit dari luka di lengannya. Ia marah karena kematian tidak memanggilnya.
Bersamaan itu pintu kamarnya dibuka, kakak sahabatnya berdiri dihadapannya. Dia menatap tajam pada wanita yang sedang menatap sendu padannya.
"Maaf Kak Nico."
"Reina kamu gila." ucap pria itu yang langsung merebut pisau itu. Ia lempat ke sembarang tempat. Ia mencoba menutup luka tangan itu dengan sapu tangannya.
"Kak, maaf karena aku Nina mati. Seharusnya aku yang pergi saat itu."
"Berhenti Reina, kamu juga berarti untuk kita."
"Tapi aku yang penyebab kematian Nina. Kalau saja malam itu aku mengikuti permintaanya pasti kejadian itu tidak akan terjadi. Aku salah Kak Nico."
"Reina kamu juga korban, lihatlah dirimu sekarang. Kemana perginya Reinaku yang ceria? Kita butuh Reina yang dulu." ucap Nico dengan air mata yang mulai jatuh dari matanya. Ia merasa sakit dengan keadaan wanitannya. Sesungguhnya ia juga tidak akan sanggup harus kehilangan wanita di depannya bila itu terjadi. Kehilangan adiknya sudah cukupnnya membuatnya merasa gagal menjaga adiknya. Tapi dia tidak bisa harus kehilangan wanita dihadapannya.
"Tidak kakak, aku seharusnya tidak datang malam itu. Seharusnya aku tidak pernah menerima cintamu. Pasti tidak akan ada yang terluka karena keegoisanku." ucap Reina yang mencoba melepaskan pegangan pria itu. Tapi kekuatannya tidak sebesar itu.
"Aku tidak akan pernah menyesal menembakmu Reina." ucap Nico yang membuat wanita itu menatap pria dihadapannya. Air matannya bergetar melihat pria didepannya.
"Kakak harusnya tidak mencintaiku. Seharusnya kakak membenciku karena sudah membunuh adikmu. Aku seorang pembunuh." ucap Reina yang mencoba melepaskan tangannya dari Nico. Hal itu membuat luka ditangannya semakin terbuka.
"Reina diam."
"Tidak."
"Nico."
"Paul, obat biusnya." ucap Nico pada sahabatnya yang baru saja datangan dengan jas dokternya. Pria itu segera mengeluarkan suntikannya dan saa itu pula kesadaran Reina perlahan menghilang.
"Nico, keadaan Reina semakin parah. Kita harus memberikannya tindakan."
"Dia tidak gila."
"Dia harus diterapi."
"Paul, aku tahu satu cara untuk membuatnya tidak melakukan ini lagi."
"Berhenti melakukan hal gila Nico."
"Aku tahu kamu carannya."
"Tapi hal itu berbahaya jika ingatannya kembali. Semua itu hanya seperti menanam bom dalam tubuh kekasihmu."
"Tapi itu lebih baik dari pada melihatnya terus melukai dirinya sendiri. Nina akan sedih bila melihat sahabatnya seperti ini. Dia akan marah padaku karena tidak bisa menjaga Reina dengan baik."
"Kamu yakin dengan hal itu, bahkan kamu akan dilupakan Nico."
"Biarkan aku merasakan sakit itu, aku tidak ingin melihatnya tidak memiliki semangat hidup. Shaka akan bersedih melihat kedua wanita yang disayangnya tersakiti. Sudah cukup dengan kepergian adikku. Aku tidak yakin dia siap melihat keadaan adiknya."Jelas pria itu yang membawa tubuh wanitanya ke atas tempat tidur. Ia menarik selimut untuk menutupi tubuhnya.
"Paul, aku ingin semua ini hanya rahasia kita berdua saja dan kedua orang tua ku dan Reina saja." ucap Nico dengan wajah sendunya.
"Ya sudah kalau kamu sudah bulat. aku akan mempersiapkannya." jelas pria itu yang meninggalkan sahabatnya dan Reina. Pria itu membaringkan tubuhnya disamping wanitannya. Tangannya mengelus pipi tirus wanitannya. Entah pergi kemana pipi tembam wanitannya. Reina sangat sulit untuk makan. Karena itu ia selalu diinpus untuk menambah cairan tubuhnya agar tidak terhidrasi. Tapi hal itu tidak cukup kebutuhan nutrisinya.
"Semoga pilihanku tidak salah, biarlah aku menjadi jahat dimatamu agar kamu kembali semangat. Aku sangat mencintaimu jangan pernah meninggalkanku lagi. Aku tidak bisa hidup tanpamu Reina. Kamu adalah separuh hidupku. Kucing manis yang selalu memberikan warna dihidupku. Kembalilah dirimu seperti dulu." ucap pria itu diakhir sebuah kecupan pada dahi wanitannya. Perlahan dia kesadarannya mulai terkikis. Keduannya saling berpelukan dan menjadi hari terakhir Nico bisa berdekatan seperti ini dengan wanitannya.
Flashback End
Shaka terkejut dengan penjelasan sahabatnya, ternyata kedua orangtuannya mengetahui hal ini. Apakah karena itu mereka tidak pernah mempermasalahkan perubahan adiknya selama ini. Ternyata hanya dia tidak tahu mengenai keadaan adiknya.
"Shaka, pilihanmu membawa bahaya bagi adikmu. Bila ingatannya kembali aku tidak yakin dia bisa baik-baik saja." jelas Paul yang membuat sahabatnya itu terdiam. Ia benar-benar kakak yang sangat buruk. Tidak pernah tahu mengenai keadaan adiknya.
Sedangkan Reina baru saja membuka pintu ruangan yang dilarang kakaknya. Kedua matanya melebar melihat setiap potret yang dipajang dikamar itu. Seorang wanita yang pernah ada pada mimpinya dan perlahan sengatan pada kepalannya muncul. Rasa sakit yang tidak bisa dia tahan kembali. Rasanya sangat sakit seakan memaksan untuk keluar.