Liora, 17 tahun, lulusan SD dengan spesialisasi tidur siang dan mengeluh panjang, menjalani hidup sederhana sebagai petani miskin yang bahkan cangkulnya tampak lebih bersemangat darinya. Suatu pagi penuh kebodohan, ia menginjak kulit pisang bekas sarapan monyet di kebunnya. Tubuhnya melayang ke belakang dengan gaya acrobat amatir, lalu—krak!—kepalanya mendarat di ujung batang pohon rebah. Seketika dunia menjadi gelap, dan Liora resmi pensiun dari kemiskinan lewat jalur cepat.
Sayangnya, alam semesta tidak tahu arti belas kasihan. Ia malah terbangun di tubuh seorang perempuan 21 tahun, janda tanpa riwayat pernikahan, lengkap dengan balita kurus yang bicara seperti kaset kusut. Lebih parah lagi, si ibu ini… juga petani. Liora menatap langit yang sudah tau milik siapa dan mendesah panjang. “Ya Tuhan, jadi petani rupanya jalan ninjaku.”
Anak kecil itu menunjuk wajahnya, bergumam pelan, “Wa... wa...”
Liora melotot. “Hebat. Aku mati dua kali, tapi tetap dapat kerja tanpa gaji.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Smi 2008, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Global Developmental Delay
Pintu bertuliskan “Toilet Wanita” masih tertutup rapat.
Liora yang sejak tadi berdiri menunggu, kedua pahanya sudah saling menempel, menahan sesuatu.
Perut bagian bawahnya mulai protes, seolah ada seekor ikan lele gelisah mencari jalan keluar. Keringat kecil muncul di pelipisnya, tepat saat pintu di depannya terbuka. Dua gadis keluar bersamaan, sambil sedikit menurunkan rok ketat mereka.
Liora membelalak dalam hati:
Dua orang? Sekaligus? Mereka ngapain?
Ia buru-buru menunduk, pura-pura tidak melihat apa pun, lalu masuk.
Di dalam, seperti kebiasaannya, ia melepas sandal.
Lalu ia mengangkat kepala.
Dan menyesal.
Karena ternyata ruangan yang ia tunggu tadi itu bukan satu WC tunggal.
Masih ada lima bilik berjajar. Beberapa pintu tertutup, beberapa terbuka.
“…Sial,” gumamnya lirih.
Jadi… yang ia tunggu tadi bukan toilet penuh.
Liora ingin membenturkan kepalanya ke dinding.
Tidak keras. Sedikit saja. Biar dunia tahu dirinya lelah menjadi dirinya.
“Oke, tarik napas. Aku harus belajar hidup di kota ini,” gumamnya pelan, seperti sedang berjanji pada tembok.
“Bismillah, semoga tidak ada lagi bilik di dalamnya.”
Ia pun melangkah masuk.
Bersamaan itu, bilik sebelah terbuka. Seorang wanita keluar. Berpenampilan modis, rambut tergerai rapi, wajahnya cantik matang, kira-kira usia empat puluh lima. Wanita itu berdiri di depan cermin, merapikan riasannya.
Drrrt—ponselnya berdering. Ia mengangkat.
“Halo? Papa, kau sudah sampai?”
“Aku di rumah sakit. Pilek dan demam.”
“Aku segera pulang, secepatnya. Iya… sudah.”
Telepon ditutup.
Wanita itu kembali merapikan rambut dan kerah bajunya. Ujung matanya melirik sepasang sandal sederhana yang disimpan rapi di dekat dinding.
Liara merasa seperti déjà vu.
Ia ingat dirinya dulu, pertama kali datang ke kota ini.
Ia juga melakukan hal yang sama.
Ia menatap deretan bilik. Satu pintu masih tertutup.
Ada seseorang di dalamnya.
Pemilik sandal itu.
Liara tersenyum kecil. “Jadi bukan cuma aku yang pernah melakukan perbuatan konyol ini,” pikirnya.
Lalu ia melangkah keluar.
Liara menarik napas pendek, lalu berjalan pelan menuju deretan kursi depan loket pendaftaran.
Ruangan itu ramai. Suara nomor antrean berkali-kali terdengar dari pengeras suara, bercampur dengan tangis bayi dan batuk orang dewasa. Liora memijit pelan pelipisnya. Ia hanya ingin duduk sebentar sebelum dokter datang.
Namun langkahnya terhenti.
“Akmal?”
Liara melihat Suma berdiri di depan loket bersama Akmal yang menggendong seorang anak kecil. Liara maju dengan senyum di wajahnya.
“Pulang pesta bukannya ke rumah dulu? Malah keluyuran lagi,” ucap Liara, membuat ketiganya menoleh.
“Halo, sayang. Anak siapa?” Liara menyapa Salwa sambil bertanya pada Akmal. Matanya masih tertuju pada batita yang menurutnya sangat manis. Gadis kecil itu badannya kurus, tapi pesonanya tak kalah dibanding balita lain yang pernah dilihat Liara. Salwa, yang merasa disapa, langsung membalas dengan cekikikan. “Ne… ne…” Ia senang banyak yang memperhatikannya, dan mereka semua tersenyum.
“Cucuku,” balas Akmal menyeringai, menatap kakak perempuannya.
“Lah, paman belum menikah, sudah punya cucu?” Suma nyeletuk, tidak tahu tempat.
Liara menatap tajam anak laki-lakinya itu, lalu kembali melihat Salwa. Ia ingin sekali memegang tangan mungilnya, tapi sayangnya Liara sedang flu, takut menulari anak yang—katanya—cucu adik angkatnya itu.
“Salim sudah pulang. Kau ke rumah dulu? Dia membeli beberapa oleh-oleh. Dia juga membelikan untukmu. Oh, apa ini anak kakakmu?” tanya Liara penasaran. Ia belum pernah bertemu keluarga asli Akmal setelah dua tahun lalu, ketika Akmal menemukan keluarganya. Lebih tepatnya, keluarganya yang menemukan Akmal. Akmal hanya bilang pada Salim dan Liora bahwa kedua orang tuanya masih hidup dan punya anak laki-laki juga, enam tahun lebih tua dari Akmal. Namun sampai sekarang, Akmal tak ingin menceritakan lebih jauh tentang mereka, dan tidak pernah mempertemukan Liora dengan keluarga kandungnya, mungkin karena masih kecewa setelah merasa ditelantarkan.
“Iya, anak kakakku,” jawab Akmal asal, lalu segera menyelesaikan urusannya.
“Kak, aku duluan dulu. Segera sembuh, sebelum kakak iparku oleng,” ucap Akmal menggoda Liara. Lalu matanya menajam saat menatap keponakannya, “Kau belajar yang benar.”
“Ya… ya…” balas Suma sambil menyengir.
“Ibunya mana?” tanya Liara, kepalanya menoleh ke sana-sini, merasa aneh karena Akmal datang hanya berdua.
“Oh, di toilet,” jawab Akmal santai, lalu berjalan meninggalkan Suma dan Liara, menuju tempat duduk khusus antrian pasien anak-anak.
Setelah beberapa meter berjalan, akhirnya Akmal sampai di deretan kursi plastik berwarna biru muda. Beberapa mainan plastik tertata rapi di rak rendah di sudut ruangan, sementara poster warna-warni tentang kesehatan anak menempel di dinding, cukup menarik perhatian Salwa. Ia menurunkan anak Liora itu perlahan ke pangkuannya.
“Semoga ibumu tidak tersesat,” ucapnya pada Salwa, yang sama sekali tidak memperhatikan. Matanya tertuju pada dinding yang bergambar lucu.
Liora baru muncul dari kamar mandi, wajahnya segar dan bersih. “Dokternya sudah datang?” tanyanya sambil menatap sekeliling.
“Belum. Kenapa kau lama sekali?” tanya Akmal, sedikit curiga.
“Aku sekalian mandi, mumpung sabunnya tersedia di sana,” jawab Liora santai, sambil menyesuaikan duduk dan mengamati sekeliling. Ruangan cukup ramai, kebanyakan ibu dan bayi; jika ada laki-laki dewasa, biasanya ayah anaknya. Matanya kembali menelusuri wajah Akmal, membayangkan, jika Akmal seorang perempuan, apakah wajahnya akan mirip Salwa?
Liora lalu mendekati wajah Akmal dengan santai dan bertanya, “Apa paman sudah punya pacar?”
Hening.
Tubuh Akmal kaku. Telinganya memerah. Salwa juga mendongak, menatap wajah pamannya.
Akmal menghela napas, lalu menjawab jujur. “Belum. Dulu ada wanita bebal dan bodoh yang aku sukai, sayangnya dia menolakku,” katanya, menatap Liora serius.
“He… kasihan Paman, padahal Paman tampan dan kaya. Astaga, dunia modern ini masih ada wanita yang bodohnya kelewatan,” sahut Liora, mencoba menyelamatkan situasi dengan candaan, tapi ada sedikit rasa puas tersembunyi di balik kata-katanya.
Akmal tersenyum dan menepuk kepala Liora. “Ya, dia memang bodoh. Tapi Paman sampai sekarang masih mencintainya.”
“Inta…” sahut Salwa, seolah menegaskan.
“Paman tak usah khawatir soal cinta. Paman jomblo saja sampai mati. Aku dan Salwa yang akan mengurusmu sampai tua… bahkan nanti kalau sudah ajal tiba, kami yang mengurus pemakamanmu,” kata Liora, serius tapi sedikit nakal. “Yang penting, Paman bekerja dan cari banyak uang, biar kita bertiga makan enak.”
“Ya… ya…” sahut Salwa, tak paham betul apa yang baru saja terjadi, tapi setuju saja.
“Tentu saja, siapa lagi yang akan mengurusku kelak kalau bukan kalian?” ucap Akmal senang, masih menatap Liora.
Empat jam berlalu. Nama Salwa akhirnya dipanggil. Akmal dan Liora segera memasuki ruang pemeriksaan. Ruangan itu hangat, dengan aroma antiseptik yang tipis. Dinding dihiasi poster edukatif berwarna cerah, rak-rak rendah tertata rapi dengan mainan anak-anak, dan meja pemeriksaan terletak di tengah ruangan, lengkap dengan alat medis standar untuk anak.
“Anak Salwa?” tanya dokter saat melihat mereka masuk.
“Saya sudah membaca laporannya: lambat bicara, lambat makan, lambat menangkap, dan berat badan sangat kurang,” kata dokter Kartini tegas, nada suaranya sedikit jengkel. Tatapan dokter seolah menuding Akmal, yang berdiri sehat dan tegap, sementara Liora dan Salwa terlihat sangat kurus. Bahkan baju Salwa masih kedodoran untuk ukuran anak dua tahun. Akmal merasa bersalah, salah tingkah, dan tak lepas dari tatapan dokter. Sementara Liora, bibirnya kering karena terus menahan senyum, mencoba tetap tenang.
“Oh, silakan duduk dulu,” kata dokter Tini sambil menunjuk kursi di dekat meja. Ia tersenyum lembut, lalu memegang tangan kanan Salwa.
“Hai, sayang, namanya siapa?” tanyanya dengan suara lembut, jauh berbeda dari nada tegas sebelumnya.
“Wa… wa…?” jawab Salwa polos.
“Uh, nama Salwa cantik ya, seperti ibunya,” kata dokter, membuat Liora langsung meleleh. Akmal mengangguk, setuju dengan perkataan dokter.
“Ini tangan Salwa?” tanya dokter, masih memegang tangan mungil batita itu.
Salwa diam. Liora diam. Akmal juga diam. Ketiganya tegang.
“Ini tangan Salwa juga cantik,” lanjut dokter, berusaha menenangkan mereka bertiga.
“Antik…” jawab Salwa singkat, dengan nada polos.
“Bagus… cantik!” dokter tersenyum, matanya menatap hangat ke arah batita itu.
Dokter Tini menatap Salwa dengan seksama, matanya mengikuti setiap gerakan mungil batita itu. Ia mulai pemeriksaan: pendengaran, penglihatan, motorik halus dan kasar, serta refleks otot. Salwa menanggapi dengan polos, sementara Liora dan Akmal menahan napas, tegang menunggu setiap gerakan dan komentar dokter.
Setelah semua pemeriksaan selesai, dokter menarik napas panjang, duduk kembali di kursinya, lalu menatap Liora dengan serius.
“Ibu Liora tinggal di Jakarta?”
Liora menggeleng, kemudian cepat mengangguk. “Ya… di Jakarta, tapi di bagian kecamatan… Kota Koya,” jawabnya singkat, suaranya sedikit bergetar.
“Oh… Koya,” ujar dokter sambil tersenyum tipis, seolah mengingat sesuatu. “Di sana memang indah. Pelabuhannya terkenal, ikan melimpah, segar, dan murah meriah. Tapi karena jaraknya jauh dari Jakarta Pusat, kita mungkin bisa atur jadwal terapi Salwa dua kali seminggu.”
Liora menelan ludah. “Memangnya… anakku kenapa, Bu Dokter? Apa ada masalah?” tanyanya, tangan menggenggam erat telapak tangan Akmal, mencoba menenangkan diri. Akmal sendiri menatap dokter, bibirnya menegang, seolah ingin menyiapkan diri untuk berita buruk.
Dokter Kartini menatap keduanya dengan tegas, suaranya tenang namun tak bisa disangkal membawa beratnya berita:
“Bapak Akmal dan Ibu Liora, dengan berat hati kami sampaikan bahwa kemungkinan anak Anda mengalami Global Developmental Delay disertai Failure to Thrive.”
kamu bikin karakter ibu kok gini amat Thor......
penyakit apa itu.....
ketahuan boroknya ....
nek jelasin kemana uang yg dikirimkan untuk Liora....
mumpung yg ngirim juga ada di situ.....
nyampeknya cuma lima ratus ribu......
duh ini mah bukan korupsi lagi tapi perampokan....