Beni Candra Winata terpaksa menikah dengan seorang gadis, bernama Viola Karin. Mereka dijodohkan sejak lama, padahal keduanya saling bermusuhan sejak SMP.
Bagaimana kisah mereka?
Mari kita simak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sandiwara
Ketika Beni pulang kerja, Viola mengucapkan terima kasih karena sudah membelikan gaun untuknya. Ia merasa sangat bahagia, mempunyai suami yang diam-diam memberikan perhatian.
"Ben, makasih gaunnya. Lo tadi ngikutin gue ya," ucap Viola, sambil tersenyum bahagia.
Beni mengerutkan dahinya, ia bingung dengan ucapan Viola. Setelah Viola keluar dari perusahaannya, ia segera pergi ke cafe menemui rekan kerjanya yang bernama Bu Lusiana. Beni kemudian kembali ke kantor, ia sama sekali tidak pergi ke butik membelikan gaun.
"Gue gak beliin lo gaun," kata Beni.
"Udah ngaku aja lo! Gak usah malu-malu, gue tahu sebenarnya lo perhatian sama gue. Padahal lo bisa berikan ke gue sendiri, pakai nyuruh anak kecil," ujar Viola, tidak percaya ucapan suaminya. Ia tetap berpikir kalau Beni yang sudah membelikan gaun.
"Norak lo!" ketus Beni. Ia juga bertanya-tanya dalam hati, sebenarnya siapa yang sudah membelikan gaun untuk istrinya.
Diam-diam Beni mengirimkan pesan ke Dika, agar menyelidiki CCTV di kantor. Ia penasaran istrinya pergi ke mana saja, setelah keluar dari kantornya.
Lima menit kemudian, Beni sudah mendapatkan informasi tentang perginya Viola kemana saja. Ternyata benar, dugaannya ada orang lain yang membelikan gaun secara diam-diam. Orang itu adalah Indra, sehingga membuatnya semakin kesal.
Ketika melihat Viola berdandan cantik, menggunakan gaun itu. Beni merasa tidak terima, istrinya memakai gaun pemberian orang lain. Tanpa berpikir panjang, Beni langsung menarik kasar gaun Viola, hingga robek.
"Lo apa-apaan sih!" seru Viola, menutup bagian dadanya dengan kedua tangannya.
"Mending lo telanjang, daripada pakai gaun pemberian orang lain. Kenapa lo gak bilang kalau mau beli gaun?" Beni menatap tajam Viola.
Viola heran dengan sikap Beni, tiba-tiba marah tidak jelas. Padahal hanya masalah gaun, seharusnya bisa dibicarakan baik-baik tanpa ada pertengkaran.
Malam ini Beni membatalkan pergi ke rumah orang tuanya, ia masih marah. Bahkan sampai menyuruh Dika untuk mencari keberadaan Indra, ia ingin membuat perhitungan.
"Ben, lo mau ke mana?" tanya Viola, sambil memegang tangan Beni.
"Bukan urusan lo!" ketus Beni.
"Tapi kita harus ke rumah ...
Viola terkejut, sehingga langsung terdiam seketika. Beni menghempaskan kasar tangannya, lalu pergi keluar dari rumah. Ia langsung membuang gaun yang sudah robek ke tempat sampah, apalagi tahu bukan Beni yang membelikan untuknya.
Ponsel Viola berdering, ada sebuah pesan masuk dari orang tua Beni. Beliau menyuruhnya untuk segera datang, karena Papa Winata sudah menunggu. Walaupun tanpa Beni, Viola mengusahakan pergi ke rumah mertuanya. Ia tidak ingin membuat kecewa orang tua suaminya.
Di rumah keluarga Winata, ternyata sudah tersusun rapi, berbagai menu makanan. Meja yang panjang hampir tiga meter, penuh dengan hidangan makanan.
"Sayang, kamu sudah datang. Sini duduk dulu," sambut Mama Sintia dengan ramah.
"Iya, Tante. Terima kasih," ucap Viola, lalu mendudukkan diri di kursi yang sudah disiapkan.
"Panggil Mama, dong. Jangan Tante," kata Mama Sintia.
Viola menganggukkan kepala, ia merasa senang bisa diterima dan disambut dengan baik oleh keluarga Beni. Ia tidak menyangka kedua mertuanya mempunyai sikap yang ramah, berbeda dengan Beni yang kasar.
"Beni mana, Vio?" tanya Papa Winata menatap penuh tanya.
"Sibuk, Pa. Ada urusan di kantornya," jawab Viola. Padahal ia tidak tahu suaminya pergi ke mana.
"Kebiasaan itu anak!" geram Papa Winata.
"Sudahlah, Pa. Kita masih bisa makan dengan menantu kita," ujar Mama Sintia, tidak mempermasalahkan kedatangan anaknya.
Mama Sintia dan Papa Winata juga memberikan hadiah untuk Viola, mereka sudah menyiapkan sejak lama. Hadiah itu berupa perhiasan berlian, harganya cukup mahal.
Awalnya Viola menolak, merasa tidak pantas menerima hadiah mahal. Ia menyadari pernikahannya dengan Beni hanya sesuai surat perjanjian, malu rasanya menerima.
"Sayang, tolong terima," pinta Mama Sintia.
"Maaf, Ma. Lebih baik disimpan saja," tolak Viola dengan lembut.
"Viola, kamu menantu pertama di keluarga besar Winata. Kita tidak terima penolakan," kata Papa Winata.
Viola akhirnya mau menerima hadiah itu, ia hanya sekedar tidak ingin membuat mertuanya kecewa. Sampai di rumah nanti, ia akan memberikan ke Beni. Ketika berpisah, Viola takut menjadi beban keluarga Beni.
Menikmati hidangan makan malam dengan tenang, tanpa ada suara selain garpu dan sendok yang saling beradu. Biasanya Viola makan bersama Beni, dengan suasana penuh keributan.
Selesai makan malam Viola hendak membantu asisten rumah tangga Mama Sintia, tetapi dilarang karena sudah menjadi tugas asisten itu. Tidak seperti di rumah Beni, apa-apa dilakukan sendiri tanpa bantuan siapapun.
"Ma, Viola sudah terbiasa melakukan semua," kata Viola, sambil membereskan piring.
"Kamu melakukan sendiri? Asisten rumah tangga Beni ngapain aja?" tanya Mama Sintia, mengerutkan dahinya.
"Kita ingin hidup mandiri, Ma. Belajar berumah tangga," jawab Viola, berusaha menutupi masalah keluarganya.
Mama Sintia pasti akan marah besar, jika mengetahui kalau Beni sengaja memberhentikan asisten rumah tangganya dengan alasan agar lebih bebas. Dulu yang mencari asisten rumah tangga untuk Beni, adalah Mama Sintia. Beliau tahu putranya sibuk bekerja, harus ada yang menyiapkan makanan.
Beni kalau sudah bekerja pasti lupa waktu, sebagai orang tua harus bisa membuat putranya tetap terjaga kesehatannya. Mama Sintia selalu mengkhawatirkan Beni yang tinggal sendiri, makanya sering meminta untuk pulang walaupun hanya sebentar.
"Ma, Pa, Viola pulang dulu ya? Sudah malam, takutnya Beni nungguin," pamit Viola, merasa canggung bersama mertuanya.
"Iya, Sayang. Tapi, lebih baik menginap di rumah ini. Biar nanti Mama yang telepon suamimu," kata Mama Sintia, tidak tega melihat menantunya pulang malam-malam.
Kebetulan sopir di rumah keluarga Beni sedang mengantar saudaranya ke rumah, jadi Mama Sintia dan Papa Winata tidak mengizinkan Viola pulang naik taksi online. Mereka juga mengatakan Beni tidak mempunyai rasa tanggung jawab, membiarkan istrinya pergi sendiri.
Mama Sintia mengantarkan Viola menuju ke kamar Beni, beliau juga sudah menyiapkan pakaian untuk menantunya. Beliau sudah menyiapkan sejak beberapa hari yang lalu, sebelum meminta Beni dan Viola pulang ke rumahnya.
"Sayang, kamu istirahat saja. Mama juga udah ngantuk," kata Mama Sintia.
"Iya, Ma," ujar Viola.
Setelah Mama Sintia pergi, Viola menutup pintu kamarnya. Ia membuka lemari pakaian, untuk berganti baju. Ternyata Mama Sintia menyiapkan pakaian kurang bahan semua, membuat Viola ragu. Namun, tidur dengan gaun rasanya sangat tidak nyaman. Terpaksa Viola memilih pakaian yang sedikit tertutup, dan tidak terlalu seksi ketika digunakan.
Viola berdiri di depan kaca, menatap dirinya yang menggunakan gaun malam. Sebenarnya merasa tidak percaya diri, tetapi tidak ada pilihan lain. Ia cepat-cepat membungkus tubuhnya dalam selimut, agar Beni tidak melihatnya ketika nanti datang.
Tepat pukul dua belas malam, Beni baru pulang dari club malam. Di sana tadi, ia menemui Indra dan membuat perhitungan agar tidak mengganggu istrinya lagi. Beni merasa kesal dan marah, ketika barang miliknya disentuh orang lain.
Indra sering berada di club malam, karena memiliki usaha yang berhubungan dengan dunia hiburan malam. Viola dan teman-temannya tidak ada yang mengetahui, mereka semua berpikir Indra sukses melalui perusahaan di bidang properti.
"Dari mana saja kamu?" tanya Papa Winata, ketika mendapati putranya pulang tengah malam.
"Ada urusan, Pa," jawab Beni singkat, lalu meninggalkan papanya.
"Dasar tidak punya tanggung jawab!" gerutu Papa Winata.
Beni mengabaikan ucapan papanya, baginya sudah hal biasa ketika mendapatkan ucapan yang menusuk telinganya. Ia langsung menuju ke dalam kamarnya, untuk beristirahat. Badannya terasa sangat lelah, apalagi selesai mengurus orang yang membuatnya kesal.
Melihat sang istri terlelap tidur, Beni tersenyum tipis. Ia merasa sedikit lega, Viola ternyata bisa menghargai undangan orang tuanya dan tidak membuat kecewa. Bisa diandalkan dan pintar bersandiwara, ia merasa mempunyai istri yang tepat.
Beni langsung merebahkan tubuhnya di atas ranjang, ia menghadap ke arah Viola. Tangannya meraba pelan wajah cantik istrinya, agar tidak terbangun.
Pagi harinya, Viola bangun lebih awal. Ia merasa sedikit tenang, melihat Beni tertidur pulas di atas sofa. Viola segera beranjak dari ranjang, lalu membangunkan Beni agar berpindah ke tempat tidur. Kalau sampai mertuanya melihat mereka tidur terpisah, pasti akan banyak dipertanyakan.
"Ben, pindah sana!" seru Viola, sambil mengoyak kencang tubuh suaminya.
"Ganggu orang tidur aja lo!" ketus Beni. Sebenarnya ia hanya berpura-pura tidur di sofa, karena semalam Beni tidur di sebelah Viola sambil memeluknya.
"Semalam lo ke mana aja? Gue kaya orang hilang di sini sendiri," kata Viola, sambil menyisir rambutnya yang panjang.
"Bukan urusan lo!" jawab Beni. Nada bicaranya begitu ketus, membuat Viola langsung terdiam.
Bagi Viola tidak ada gunanya berbicara dengan orang yang ketus, hanya membuatnya sakit hati. Viola memilih mengambil handuk, lalu masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri.
Terdengar dari dalam kamar mandi, Beni saat ini sedang berbicara dengan Mama Sintia. Beliau bertanya tentang hubungan Beni dengan Viola, untuk memastikan keluarga mereka dalam keadaan baik.
"Mama khawatir kamu meninggalkan Viola di rumah sendiri terus, Ben. Apa tidak sebaiknya kalian tinggal di sini saja," ujar Mama Sintia.
"Tidak bisa, Ma. Jarak ke kantor jauh," kata Beni beralasan.
"Sayang, cepat mandinya! Ditungguin Mama nih!" teriak Beni, agar tidak dipaksa tinggal bersama oleh Mama Sintia. Ia berusaha menunjukkan kalau rumah tangganya sangat harmonis.
Di dalam kamar mandi, Viola terkejut mendengar Beni memanggil dengan sebutan sayang. Bukannya senang, ia justru semakin kesal.
"Dasar laki-laki pintar bersandiwara," gumam Viola dalam hati.
musuh jadi cinta😍😍😍🥳🥳🥳🥳