Semua ini tentang Lucyana Putri Chandra yang pernah disakiti, dihancurkan, dan ditinggalkan.
Tapi muncul seseorang dengan segala spontanitas dan ketulusannya.
Apakah Lucyana berani jatuh cinta lagi?
Kali ini pada seorang Sadewa Nugraha Abimanyu yang jauh lebih muda darinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jemiiima__, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masa Lalu Sadewa 2
Masih Flashback 2023
Dewa menatap bayangan dirinya di kaca spion, pantulan samar wajah lelah dan mata sembab terpampang jelas. Udara malam menyusup lewat celah jendela mobil, dingin tapi tidak cukup untuk menenangkan pikirannya. Tanpa arah pasti, ia terus menyetir. Lampu kota berganti menjadi gelapnya jalan antar daerah.
Ponselnya bergetar di dashboard. Nama Pak Dayat muncul di layar. Dewa sempat ragu menjawab, tapi akhirnya menekan tombol hijau. Suara serak khas orang tua terdengar dari seberang, penuh nada khawatir.
“Den Dewa, yakin mau pergi dari rumah? Apa gak difikir ulang dulu, Nak?”
Dewa menghela napas panjang, bahunya turun perlahan. Ia berusaha terdengar tegar, meski suaranya berat dan bergetar.
“Enggak, Pak. Saya udah yakin. Kehadiran saya cuma aib buat mereka.”
Hening sejenak di antara keduanya. Hanya suara mesin mobil dan suara angin malam yang terdengar. Pak Dayat menimpali pelan, dengan nada lembut tapi menekan di hati,
“Jangan bicara seperti itu, Den. Bapak yakin mereka gak bermaksud begitu. Sekarang Den Dewa mau ke mana?”
Dewa menatap jalanan kosong di depan, lampu sorot mobil menembus kabut tipis.
“Entahlah, Pak. Saya mau cari hotel dulu buat istirahat. Masalah besok, biarlah besok aja.”
Di seberang, terdengar helaan napas berat dari Pak Dayat.
“Kalau Den berkenan, pergilah ke Bandung. Temui keluarga Bapak di sana. Setidaknya, kamu gak sendiri, Nak.”
Dewa terdiam. Matanya menerawang, seperti sedang menimbang-nimbang.
Akhirnya, ia mengangguk pelan meski tahu Pak Dayat tak bisa melihat.
“Kirim alamatnya, Pak. Besok saya ke sana. Makasih… udah peduli sama saya.”
Suara Pak Dayat terdengar lembut, nyaris seperti seorang ayah.
“Hati-hati di jalan, Den. Kabari Bapak kalau ada apa-apa."
Pak Dayat merupakan asisten sepuh keluarga Dewa, bisa dibilang dari kecil Dewa justru tumbuh ditemani Pak Dayat.
Panggilan berakhir.
Dewa menatap ponselnya lama, lalu meletakkannya di kursi penumpang.
Tangannya menggenggam kemudi lebih erat, bibirnya bergetar menahan rasa sesak yang naik di dada.
Malam itu, ia memutuskan berhenti di sebuah hotel kecil di pinggir jalan.
Sebelum tidur, ia menatap langit-langit kamar yang dingin dan asing, membisikkan lirih.
Mungkin besok, gue harus memulai semuanya dari nol. Okay, Sadewa lo pasti bisa!
...****************...
Keesokan paginya.
Langit Bandung masih diselimuti kabut tipis saat Dewa tiba di alamat yang dikirim Pak Dayat— Jalan Cisaranten Kulon No. 27, Bandung Timur.
Rumah sederhana bercat putih itu tampak hangat, jauh dari kemewahan tak seperti rumah keluarga yang dulu ia tinggali. Tapi justru kehangatan itu yang membuat langkahnya sedikit tenang.
Pagar rumah terbuka pelan, memperlihatkan seorang pemuda yang sedang menyapu halaman. Pemuda itu menatap Dewa sekilas, sedikit ragu sebelum akhirnya tersenyum canggung.
“Eh… Den Dewa, ya? Saya Asep, anaknya Pak Dayat.”
Dewa mengangguk pelan.“Iya, Asep. Maaf ngerepotin, ya. Panggil gue dewa aja."
Asep hanya menggeleng cepat. “Ah, enggak, Den. Eh, Dewa maksudnya. Anggap aja rumah sendiri.”
Awalnya suasana di antara mereka terasa kikuk. Dewa lebih banyak diam, hanya menjawab seperlunya. Tapi hari demi hari, kehangatan keluarga sederhana itu mulai melumerkan jarak di antara mereka.
Sebulan berlalu.
Malam itu, Dewa duduk di kamar kecilnya sambil menatap langit-langit. Lampu meja redup, udara malam lembap. Ada rasa tak enak di dadanya. Ia tahu, gak mungkin selamanya numpang di rumah orang.
“Gue harus ngelakuin sesuatu…” gumamnya lirih.
Pandangan Dewa berpindah ke luar jendela, ke arah mobil Porsche Taycan miliknya yang terparkir di depan rumah. Mobil itu masih tampak berkilau meski berdebu, satu-satunya sisa dari kehidupannya yang dulu. Ia menatap lama, menimbang dengan berat.
Tangan Dewa akhirnya meraih ponsel.
Dengan napas yang dalam dan jemari sedikit gemetar, ia mulai memotret mobil itu dari beberapa sudut—bagian kap, interior, velg, hingga emblem Porsche di kemudi.
Tatapannya kosong, namun matanya basah.
Begitu selesai, ia membuka aplikasi dan masuk ke grup jual beli supercar yang dulu sering ia pakai. Dengan berat hati, ia mengetik caption singkat.
“For sale — Porsche Taycan Turbo. Kondisi mulus. Jarang dipakai.”
Tangannya gemetar pelan, jempolnya masih menggantung di atas layar ponsel seolah berharap pesan itu bisa ditarik kembali.
Ia menarik napas panjang, lalu menatap ke luar jendela—ke arah Porsche Taycannya.
Matanya berembun. Ia menelan ludah, mencoba menahan rasa yang menyesak di dada. Langkahnya pelan mendekati jendela, satu tangannya menempel di kaca seolah ingin menyentuh mobil itu untuk terakhir kali.
“Mungkin ini cara terbaik buat mulai dari nol…”
“Sumuyu...” ia menyebut nama sayangnya untuk mobil itu, suaranya bergetar, “…maafin gue ya. Kali ini gue harus korbanin lo.”
Suara napasnya berat, matanya tak lepas dari bayangan mobil di luar sana.
“Gue janji… begitu keuangan gue membaik, gue pasti beli lo lagi.”
...****************...
Beberapa minggu setelah menjual mobil kesayangannya, Dewa mulai menyusun ulang arah hidupnya. Ia tahu tak bisa terus bergantung pada Keluarga Pak Dayat dan tabungannya yang kian menipis. Ia harus mempunyai langkah nyata untuk bangkit.
Hari itu, ia datang bersama Asep ke Franchise Fair Bandung, sebuah pameran besar yang digelar di salah satu convention hall kota Bandung. Deretan booth warna-warni memenuhi ruangan luas itu, masing-masing menampilkan peluang bisnis: dari kopi kekinian, laundry express, sampai makanan cepat saji. Suara pengunjung bercampur dengan musik promosi, aroma makanan menguar di udara.
Dewa berjalan perlahan, tangannya di saku, matanya menelusuri satu per satu papan promosi. Di wajahnya ada sorot ragu sekaligus ingin tahu. Ia belum tahu pasti mau memulai dari mana, tapi ada tekad di langkahnya. Asep, yang sedari tadi memperhatikan, menepuk bahu Dewa ringan.
“Bang, coba deh lihat booth yang itu,” katanya sambil menunjuk ke arah kanan.
Dewa mengikuti arah jarinya — di sana, sebuah booth merah dengan tulisan besar REDDOG K-Food tampak cukup ramai. Poster-poster menampilkan menu menggoda, sementara di meja depan, seorang sales muda sedang menjelaskan sesuatu dengan antusias pada calon investor lain.
Dewa menatap sejenak, lalu mengangguk kecil.
“Hmm… boleh deh. Ayo coba kita lihat!”
Mereka pun mendekat. Seorang sales menyambut ramah, menjelaskan tentang konsep brand, potensi pasar, hingga keuntungan bagi mitra.
“Untuk investasi awal, sudah termasuk peralatan dapur lengkap, training karyawan, dan dukungan promosi digital dari pusat,” jelasnya sambil menunjukkan brosur berwarna merah terang.
Dewa menatap lembaran itu serius. Sesekali ia mengangguk, keningnya sedikit berkerut — bukan karena ragu, tapi sedang menimbang matang. Asep diam di sampingnya, memperhatikan dengan senyum kecil.
“Kayanya ini cocok bang, soalnya sekarang hal-hal yang berbau Koreaan pasti rame.” celetuknya pelan.
Dewa menoleh sekilas, lalu tersenyum tipis.
“Iya juga Sep… mungkin ini yang gue cari.."
Bersama Asep, Dewa mulai merintis semuanya dari nol. Tak ada dukungan keluarga, tak ada kemewahan seperti dulu — hanya tekad dan sedikit tabungan hasil penjualan mobil kesayangannya.
Uang itu ia gunakan dengan hati-hati. Sebagian besar dialokasikan untuk membeli sebuah ruko kecil di kawasan Pasteur, bangunan dua lantai dengan dinding cat putih yang mulai pudar, tapi posisinya cukup strategis di pinggir jalan. Sisanya ia pakai untuk membeli rumah sederhana tak jauh dari sana — tempat berteduh yang mungkin tak semewah kediaman lamanya di Jakarta, tapi cukup untuk memulai hidup baru.
Hari-harinya diisi dengan kerja keras. Dari menata interior ruko, mengurus izin usaha, sampai membantu Asep di dapur sebelum karyawan tetap direkrut. Setiap malam, ia memeriksa stok bahan, menghitung hasil penjualan, dan menulis catatan kecil tentang strategi promosi.
Pelan tapi pasti, jerih payah itu membuahkan hasil. Outlet Reddog milik Dewa mulai dikenal banyak orang. Dewa berdiri di dekat meja kasir, memandangi antrean panjang yang bahkan sampai ke luar pintu. Tangannya otomatis melipat di depan dada.
Ia menatap sekeliling—melihat Asep yang sibuk di dapur, dua karyawan baru yang cekatan, dan wajah-wajah pelanggan yang puas.
Sesaat, dunia seperti melambat.
“Akhirnya…” bisiknya nyaris tanpa suara.
“Semua ini gak sia-sia. Ternyata gue bisa berdiri sendiri, tanpa mereka.”
Bagi Dewa, keberhasilannya itu jauh lebih berarti daripada warisan apa pun.
Flashback Selesai
...----------------...
Seperti kata pepatah, kerja keras tak akan mengkhianati hasil. Begitu pula dengan Dewa, salut gak sih sama usaha Dewa untuk berhasil?
Ini kalau orang tuanya tau, apa mereka akan bangga atau malah sebaliknya?
Ikuti terus kelanjutan kisahnya yaaa 🥰
Jangan lupa tinggalkan jejak 👣👣 berupa vote, like dan komentar 😍
Terimakasih! 💕