Sekar tak pernah menyangka, pertengkaran di hutan demi meneliti tanaman langka berakhir petaka. Ia terpeleset dan kepala belakangnya terbentur batu, tubuhnya terperosok jatuh ke dalam sumur tua yang gelap dan berlumut. Saat membuka mata, ia bukan lagi berada di zamannya—melainkan di tengah era kolonial Belanda. Namun, nasibnya jauh dari kata baik. Sekar justru terbangun sebagai Nyai—gundik seorang petinggi Belanda kejam—yang memiliki nama sama persis dengan dirinya di dunia nyata. Dalam novel yang pernah ia baca, tokoh ini hanya punya satu takdir: disiksa, dipermalukan, dan akhirnya dibunuh oleh istri sah. Panik dan ketakutan mencekik pikirannya. Setiap detik terasa seperti hitungan mundur menuju kematian. Bagaimana caranya Sekar mengubah alur cerita? Apakah ia akan selamat dari kematian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhanvi Hrieya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21. TERJEBAK DI ANTARA DUA SISI
"Nyai! Nyai!"
Sentuhan dari tangan Ratna membuat Sekar yang termenung tersentak dari lamunannya, ia menoleh ke arah Ratna yang tampak menatapnya dengan tatapan aneh. Sekar mendesah berat, ia berdiri menatap ke halaman. Sekar benar-benar tak ingin terlibat dengan Johan—jendral berdarah dingin itu, tidur seranjang dengan Johan saja sudah membuat Sekar selalu waspada. Apalagi harus melayaninya serta hamil anak keturunan Johan, Sekar tak mampu.
Namun, apa yang bisa Sekar perbuat menolak pun ia rasa tak akan mampu, mengingat kekuasaan tertinggi di pegang oleh Johan. Melarikan diri dari tempat ini tidaklah mudah, Sekar merasa terjebak masuk ke dalam labirin luas. Sekuat apapun ia berjalan untuk mencari pintu keluar, ia tak mampu menemukannya.
"Apakah Lasmi sudah tidur?" tanya Sekar pelan, ia enggan membicarakan masalahnya pada Ratna.
Kepala Ratna mengangguk, "Iya, Lasmi sudah tidur. Keadaannya semakin hari semakin membaik Nyai, Nyai tidak perlu mengkhawatirkan Lasmi. Dan..., ada sesuatu yang belum aku sampaikan pada Nyai."
Sekar membalikkan tubuhnya menghadap ke arah Ratna, gadis itu melongok ke belakang memperhatikan orang-orang di rumah. Beralih ke depan lagi, ia mengeliminasi jarak di antara ia dan sang majikan. Menempelkan telapak tangannya pada daun telinga Sekar berbisik pelan, ekspresi wajah Sekar terlihat berubah. Kedua matanya terbelalak, Ratna menarik kembali tangannya.
"Kamu yakin kalau itu yang terjadi? Dari mana kamu mendengarnya?" Sekar mengerutkan dahinya.
"Ini sungguh tidak sengaja aku dengar Nyai, karena itu. Nyai tidak perlu lagi mengkhawatirkan keadaan Lasmi," jawab Ratna terlihat hati-hati saat berbicara.
Sekar terdiam untuk beberapa saat, dahinya masih berkerut. Ternyata apa yang dikatakan oleh Johan tadi padanya memiliki maksud tersembunyi yang awalnya tidak Sekar mengerti, sekarang ia mulia paham apa yang dilakukan oleh Johan.
'Dia bisa melakukan apapun yang dia inginkan, kalau pun aku kabur. Apakah ada jaminan kalau dia tak akan menemukanku, aku bisa saja mati saat aku kembali ditemukan. Apa yang harus aku lakukan?' Sekar mendesah kasar, terlihat semakin gusar saja.
...***...
Aroma harum dari biji kopi yang diseduh dicampur dengan susu mengudara, Johan baru saja kembali dari latihan pagi. Tubuh bagian atasnya terlihat polos tanpa sehelai benang memperlihatkan kulit putih dengan bercak-bercak merah dipermukaan kulit, dengan celana panjang training membungkus kedua kaki panjangnya. Otot-otot lengannya tampak begitu kuat, serta pahatan otot perut yang sempurna. Johan berjalan santai menuju teras belakang, Sekar—gundiknya suka sekali menikmati pagi hari dengan duduk di teras belakang.
Langkah kaki Johan, berhenti di dapur saat mendapati Sekar terlihat menuangkan minuman di dalam cangkir enamel berukuran sedang. Memindahkan pisang goreng ke atas piring saji, di samping tampak Ratna ngliler memperhatikan kopi susu panas dan goreng pisang yang baru saja keluar dari wajan penggorengan. Sekar meletakkan dua gorengan panas ke piring lainnya dan dituangkan kembali kopi susu ke cangkir. Ratna cengengesan menerima makanan dan minuman, Sekar terkekeh geli melihatnya.
Senyum tulus Sekar membuat Johan tertegun, dan terpesona. Nyai-nya itu tampak berkali-kali lipat lebih cantik di saat ia tersenyum tulus, senyum yang sangat jarak diperlihatkan pada Johan oleh Sekar. Merasa ada yang memperhatikannya, Sekar membawa atensinya ke arah Johan. Tampak jelas otot wajah Sekar tegang seketika, sebelum perlahan mengendur. Wanita cantik itu kembali menarik garis lengkungan senyum yang dipaksakan, seperti biasa.
Sekar meletakkan piring, teko, dan dua gelas enamel di atas napan. Memberikan kode untuk Ratna membawanya, Sekar melangkah mendekati Johan. Atensi tampak sadar tertuju pada sixpack yang terbentuk karena latihan fisik yang dilakukan oleh Johan, ia membuang muka saat sadar kedua sisi pipinya panas.
"Jendral," sapa Sekar di saat ia berhenti di depan Johan.
"Mau ke teras belakang?" tanya Johan setelah menganggukkan kepala sekilas saat disapa.
Kepala Sekar mengangguk, "Ya, Jendral ma—"
"Ayo pergi bersama." Johan menyambar tangan Sekar, menariknya untuk berjalan bersama.
Para pembantu di dapur melirik ke arah keduanya, dengan tatapan mata menggoda. Tampaknya nyai satu ini akan bertahan lama di sisi sang jendral, mengingat bagaimana Johan memperlakukan Sekar dengan sangat baik. Apalagi menerima kehadiran Lasmi di rumah, mereka semua memiliki pemahaman yang sama satu sama lain. Sekar adalah orang kedua yang tidak boleh mereka semua singgung di rumah ini, mengingatkan kasih sayang sang jendral berlabuh pada sang gundik.
Sekar sama sekali tidak tahu-menahu dengan pemikiran pada pembantu di dapur, ia duduk di kursi rotan bersamaan dengan sang jenderal. Johan melepaskan genggaman tangannya, Ratna mengisi dua gelas enamel di nampan dan diletakkan ke kedua sisi meja sebelum melangkah mundur meninggalkan keduanya.
Johan melirik Sekar dari ekor matanya, cahaya mentari pagi menerpa tubuh Sekar. Ia diam-diam mengulum senyum, Sekar menoleh ke samping dahinya tampak berkerut.
"Apakah ada yang salah dengan wajahku, sampai Jendral melihatku seperti itu?" tanya Sekar, tangannya menyentuh kedua sisi wajahnya perlahan.
"Tidak," balas deep voice Johan serak, "aku hanya merasa Nyai semakin hari semakin tampak cantik. Entah karena perubahan udara atau mungkin pembawanya yang tampak berbeda. Aku sendiri tidak tau."
Sekar mengulum bibirnya, kepalanya tertunduk perlahan jari jemari tangannya saling bertautan di atas pangkuan.
"Apakah Jendral tidak menyukai perubahanku?" Sekar bertanya tanpa mengalihkan pandangan matanya dari jari jemari lentiknya ke arah samping.
Johan tidak langsung menjawab, ia masih memperhatikan Sekar dengan saksama. "Tidak juga, setidaknya melihat perubahan Nyai yang sekarang jauh lebih baik. Aku suka melihatnya, meskipun Nyai terlihat jauh lebih berhati-hati padaku. Nyai tidak perlu harus sewaspada itu padaku, aku tidak akan menyakiti Nyai. Asalkan Nyai tak pernah mengkhianati kepercayaanku," sahut Johan terdengar lembut namun, orang pintar juga dapat mengerti maksud Johan.
Pria bermata biru itu tengah mempertegas pada Sekar, ia tidak suka dengan pengkhianatan. Sekar tertegun, senyum yang baru saja ia ulas membeku.
"..., aku tau apa yang Jendral maksud. Dan aku tidak punya keberanian untuk mengkhianati Jendral," jawab Sekar lirih.
"Bagus kalau begitu, aku akan memberikan segalanya untukmu, Nyai. Apapun yang Nyai inginkan selagi itu tidak membahayakan dan bertentangan dengan kemampuanku, aku menyukai wanita yang penurut dibandingkan wanita yang cerdas," tutur Johan blak-blakan.
Sekar tak menjawab, ia meneguk kasar air liur di kerongkongannya. Tentu saja ia paham alasan kenapa Johan tidak menyukai wanita cerdas, Sekar diam-diam mengeluh dalam hati. Intrik novel cukup berat, dan perang baik secara langsung serta politik akan segera pecah. Apalagi di saat Samudra—jendral muncul di permukaan, ia semakin khawatir karena terjebak di tengah-tengah pertarungan.
Bersambung...