Di Kekaisaran Siu, Pangeran Siu Wang Ji berpura-pura bodoh demi membongkar kejahatan selir ayahnya.
Di Kekaisaran Bai, Putri Bai Xue Yi yang lemah berubah jadi sosok barbar setelah arwah agen modern masuk ke tubuhnya.
Takdir mempertemukan keduanya—pangeran licik yang pura-pura polos dan putri “baru” yang cerdas serta berani.
Dari pertemuan kocak lahirlah persahabatan, cinta, dan keberanian untuk melawan intrik istana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Fajar menyingsing di ufuk timur, sinarnya menembus sela-sela pepohonan hutan utara yang masih dipenuhi kabut tipis. Kuda-kuda mereka bergerak perlahan di jalur sempit, langkah kaki bergema bersama hembusan napas berat setelah malam panjang yang penuh rahasia.
Wang Ji memandang ke depan, mata tajamnya memantulkan cahaya samar mentari. Sementara itu, Xue Yi berjalan di sampingnya, jubah putihnya berkibar tertiup angin pagi. Mereka tak banyak bicara sejak keputusan besar malam tadi, namun dalam hati keduanya, sudah terpatri satu tekad yang sama: menghancurkan Pangeran Siu Zhen, sekaligus menyingkap wajah pengkhianatannya di depan seluruh istana.
----
Setelah tiba di perkemahan kecil di tepi sungai, mereka berhenti untuk beristirahat. Jian dan Luo mendirikan tenda, Yi Chun serta Su Mei berjaga sambil memantau keadaan, sementara Lan Er sibuk menyiapkan kertas dan tinta.
Xue Yi duduk bersila di atas tikar bambu, matanya tajam menatap gulungan bambu yang sudah mereka rebut semalam. Ia mengangkat kepala ketika Wang Ji mendekat.
“Pamanmu cerdik,” ucap Xue Yi lirih. “Dia tidak pernah muncul langsung. Semua perintahnya disamarkan lewat kurir dan bayangan.”
Wang Ji mengangguk. “Karena itu kita harus memaksa dia keluar. Dan satu-satunya cara…” ia menatap tajam Xue Yi, “…adalah dengan membuatnya yakin aku sudah mati.”
Lan Er yang baru saja menuang teh langsung menoleh dengan mata membulat. “Apa? Membuat kabar palsu tentang kematian pangeran? Itu… gila!”
Xue Yi tersenyum samar, tapi senyum itu dingin. “Gila, ya. Tapi hanya itu yang bisa memancingnya. Kau sendiri tahu, Lan Er, Pangeran Zhen akan lengah hanya jika ia yakin tak ada lagi yang menghalangi jalannya menuju tahta.”
Su Mei ikut menyela, suaranya mantap. “Kalau kabar kematian pangeran Wang Ji diumumkan di istana, Pangeran Zhen pasti akan menunjukkan wajah aslinya. Dia akan bereaksi terlalu cepat, terlalu bangga.”
Yi Chun menambahkan, “Dan di saat itulah kita jebak dia dengan bukti dan saksi yang sudah kita siapkan.”
Jian yang sedari tadi diam, akhirnya berbicara. “Tapi siapa yang akan membawa kabar palsu itu ke istana? Kita butuh orang yang dipercaya, bukan hanya kurir biasa.”
Semua mata beralih pada Xue Yi. Wanita itu mengangguk mantap. “Aku yang akan mengatur jalur penyebaran kabar. Murid-muridku di Bai tersebar di berbagai kota, mereka bisa membuat rumor menyebar lebih cepat dari api yang menyambar jerami kering. Begitu kabar sampai di telinga istana, kita hanya perlu menunggu pamanmu menunjukkan belangnya.”
Wang Ji menatap Xue Yi lama, matanya redup tapi penuh penghargaan. “Kau benar-benar berbahaya, Xue Yi.”
Xue Yi mengangkat alis. “Bahaya hanya bagi musuhmu, Wang Ji.”
----
Hari-hari berikutnya dipenuhi kesibukan. Jian dan Luo menyelinap masuk ke kota-kota kecil, menghubungi pedagang dan informan yang masih setia pada Wang Ji. Yi Chun dan Su Mei berkelana ke daerah perbatasan, mencari jejak Serigala Hitam yang bisa dijadikan saksi hidup. Lan Er mengatur salinan dokumen, memastikan setiap bukti aman jika terjadi pengkhianatan mendadak.
Sementara itu, Wang Ji pergi ke arah pegunungan barat bersama Xue Yi. Di sana, rahasia yang selama ini disimpannya tersingkap.
Di balik lembah curam yang tersembunyi, berdiri barak kayu yang tampak sederhana. Namun begitu gerbang dibuka, puluhan prajurit berbaju hitam keluar dengan langkah serentak. Mata mereka tajam, gerakan mereka ringan, dan aura mereka bukan seperti tentara biasa.
“Pasukan bayangan…” bisik Xue Yi.
Wang Ji mengangguk. “Mereka bukan bagian dari istana. Aku melatih mereka sendiri, jauh dari mata paman maupun para menteri. Hanya orang-orang yang bisa dipercaya, anak-anak yatim korban perang yang kubesarkan sejak kecil.”
Seorang pria tinggi berlutut di hadapan Wang Ji. “Yang Mulia, kami siap menerima perintah kapan saja.”
Wang Ji menepuk bahunya. “Hari itu akan segera tiba. Bersiaplah.”
Xue Yi menatap para prajurit itu dengan kagum. “Disiplin dan setia… luar biasa. Pantas saja kau berani melawan pamanmu.”
Wang Ji meliriknya dengan senyum samar. “Aku tidak sendiri. Kau juga punya pasukanmu, bukan?”
Xue Yi tertawa kecil. “Kau benar. Murid-muridku di Bai adalah pemburu dan pendekar. Mereka sudah kulatih. Saat waktunya tiba, mereka akan datang ke sini.”
Mata keduanya bertemu, seperti dua kilatan pedang yang bersilangan. Tidak ada kata yang perlu diucapkan lagi. Mereka tahu, pertempuran terakhir sudah di depan mata.
---
Seminggu kemudian, kabar mulai menyebar di pasar-pasar, di penginapan, di mulut para pedagang yang keluar masuk kota.
“Putra Mahkota Wang Ji tewas disergap perampok di hutan utara!”
“Kudanya kembali tanpa tuan… hanya pedang berlumuran darah yang ditemukan.”
“Jenazahnya tak pernah ditemukan… mungkin sudah dimangsa serigala.”
Kabar itu seperti racun, merambat cepat ke setiap sudut negeri. Dan akhirnya, sampai juga ke jantung istana Siu.
Di aula megah, para pejabat berkumpul. Kaisar duduk di singgasananya, wajahnya pucat saat mendengar berita sedangkan permaisuri pingsan.
Sementara itu, di sisi lain aula, Pangeran Siu Zhen menunduk, menahan senyum yang hampir pecah. Ia pura-pura bersedih, tapi tangannya mengepal penuh kemenangan.
“Yang Mulia,” ucap salah satu menteri, “tanpa Putra Mahkota… negeri ini butuh penerus yang baru. Demi kestabilan negara.”
Siu Zhen segera maju, berlutut dengan suara lantang. “Ayahanda, izinkan hamba memikul tanggung jawab itu. Demi rakyat, demi tahta, demi keluarga.”
Kaisar terdiam lama. Ia tidak menjawab, tapi sorot matanya keruh, seperti terjebak di antara kesedihan dan keraguan.
Di luar aula, kabar kemenangan palsu itu membuat Zhen semakin berani. Ia mulai menyingkirkan pejabat yang tidak sepakat dengannya, mengancam lawan-lawannya secara terang-terangan.
Ia merasa jalannya menuju tahta terbuka lebar. Tanpa ia sadari, jerat yang dipasang Xue Yi dan Wang Ji semakin menutup.
----
Di malam gelap, jauh dari istana, dua pasukan bayangan mulai bergerak.
Pasukan hitam Wang Ji keluar dari lembah, bergerak tanpa suara, menempuh jalur rahasia menuju ibu kota. Di sisi lain, murid-murid Xue Yi datang dari berbagai arah, membawa senjata tradisi mereka, panah, tombak, pestol dan pedang yang berkilau di bawah sinar bulan.
Di sebuah tebing tinggi, Xue Yi berdiri bersama Wang Ji. Dari sana mereka bisa melihat cahaya ibu kota yang berkelip di kejauhan.
“Besok pagi, kabar akan memuncak. Pamanmu akan merasa benar-benar menang,” ucap Xue Yi.
“Dan besok malam,” sambung Wang Ji dengan suara dingin, “kita rampas segalanya darinya.”
---
Hari penobatan sementara diumumkan. Para pejabat dipaksa hadir di aula utama, di mana Siu Zhen berdiri dengan pakaian megah, wajahnya penuh kemenangan.
“Mulai hari ini,” serunya lantang, “aku akan melindungi negeri ini, menggantikan keponakanku yang malang!”
Tiba-tiba, pintu besar aula terbuka. Seorang pengawal berlari masuk, wajahnya pucat.
“Yang Mulia! Ada kabar baru!”
Zhen menoleh dengan alis berkerut. “Apa lagi?”
Pengawal itu terhuyung, lalu bersujud. “Putra Mahkota… Putra Mahkota Wang Ji… masih hidup!”
Suasana aula gempar. Para pejabat berbisik, sebagian menoleh dengan mata penuh curiga ke arah Pangeran Zhen. Wajah Zhen berubah pucat, lalu merah padam.
“Omong kosong! Itu mustahil!” teriaknya.
Dan tepat saat itu, langkah kaki menggema di aula. Wang Ji muncul, berdiri tegak di ambang pintu, diikuti Xue Yi dan para pengawal setianya.
Aula mendadak senyap. Semua mata menatap sosok yang seharusnya sudah mati itu.
“Kau… kau seharusnya—” Zhen terbata, wajahnya kehilangan kendali.
Wang Ji berjalan maju, suara lantangnya menggema. “Seharusnya mati, begitu maksudmu, Paman?”
Ia melempar gulungan bambu ke lantai, segelnya pecah. “Ini bukti perintahmu. Ancaman, pembunuhan, semua atas namamu. Kau ingin tahta begitu buruk sampai rela menodai darah keluarga sendiri.”
Zhen terhuyung, lalu tertawa getir. “Kalau memang begitu… apa yang bisa kalian lakukan padaku?”
Suara langkah kaki bergemuruh dari luar. Pasukan hitam Wang Ji dan murid-murid Xue Yi mengepung istana. Pedang terhunus, panah siap dilepaskan.
Para pejabat terperangah. Tidak ada lagi keraguan siapa yang berkuasa malam itu.
Wang Ji menatap Zhen dengan dingin. “Aku tidak perlu mengotori tanganku, Paman. Biarkan semua orang di istana ini melihat siapa pengkhianat sebenarnya.”
Xue Yi melangkah maju, suaranya tajam seperti pisau. “Keadilan sudah datang, Pangeran Zhen. Kau bisa memilih menyerah… atau tenggelam bersama ambisimu.”
Kabar kembalinya pangeran mahkota Siu Wang Ji bersama Putri Dari kekaisaran Bai yaitu Bai Xue Yi beserta pasukannya terdengar pada Kaisar Siu Ming dan permaisuri Xu Jia, ayah dan ibu dari Wang ji.
Mereka sangat bahagia sedangkan pangeran Zhen terpuruk karena penyerangan Wang ji semua pengikutnya di tangkap oleh orang orang Wang ji dan Xue Yi
Bersambung…