yang Xian dan Zhong yao adalah 2 saudara beda ayah namun 1 ibu,.
kisah ini bermula dari bai hua yg transmigrasi ke tubuh Zhong yao dan mendapati ia masuk ke sebuah game, namun sialnya game telah berakhir, xiao yu pemeran utama wanita adalah ibunya dan adipati Xun adalah ayahnya,,.
ini mengesalkan ia pernah membaca sedikit bocoran di game love 2 dia adalah penjahat utama, ini tidak adil sama sekali
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aludra geza alliif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
monster
---
Zhong Yao perlahan membuka mata. Kepalanya berdenyut hebat, seolah dihantam ribuan ingatan yang mendesak keluar dari kegelapan pikirannya.
Kilatan masa lalu berkelebat...
"Monster!"
Tawa anak-anak kecil terdengar pilu, disusul batu-batu yang dilempar ke tubuhnya. Darah menetes, namun tak ada yang peduli. Ia pulang ke rumah, tapi tak ada ibu yang menyambut. Ayahnya selalu jauh—berperang demi negara, dan tak pernah benar-benar ada untuknya.
Pengasuhnya arogan, pelayan di rumah memperlakukannya seperti kutukan. Ia dikurung di gudang gelap, diajar oleh guru yang lebih kejam dari setan.
Setiap kali ia bertanya tentang ibunya, mereka hanya mencibir,
"Siapa yang menginginkan monster sepertimu?"
Saat amarah memuncak, api biru yang diwarisi dari kakeknya—sang kaisar terdahulu —menyembur keluar. Rumah tempatnya dibesarkan terbakar habis. Semua orang menatapnya dengan ngeri dan benci.
Ketika ayahnya pulang, mereka pura-pura baik. Tapi saat sang jenderal kembali ke medan perang, mereka menyiksanya lagi, dengan lebih kejam.
Zhong Yao tumbuh seperti ilalang di tanah keras—keras kepala, tanpa kasih sayang, kehilangan nurani. Ia belajar membunuh tanpa ragu, berperasaan dingin dan cerdas tak wajar.
Di usia 10 tahun, pamannya—sang kaisar saat ini —membawanya ke istana. Tapi sudah terlambat. Anak itu sudah menjadi monster. Yang Xian dan Jin Heng ditugaskan untuk menemaninya, namun ia tetap sulit didekati.
Zhong Yao menolak bermain seperti anak biasa. Ia belajar segalanya: seni, bela diri, racikan teh, puisi, strategi perang—semua demi satu bayangan.
Seseorang berjubah hijau muda, beraroma bambu dan teh. Tapi wajahnya tak pernah jelas.
Delapan tahun berlalu. Ia tak pernah melupakan bayangan itu. Dan kini, saat usianya 20 tahun, ia mencium aroma yang sama—namun kini bercampur aroma persik.
Ia tahu. Itu adalah Lu Yu.
Tubuhnya mengenali lebih dulu. Tak heran jika naluri tubuhnya selalu tunduk pada pria itu.
---
"Zhong Yao..."
Sebuah suara lirih memanggil.
"A-Zhong..."
Itu suara Yang Xian.
"Pangeran Kesembilan!"
Yang Xian panik.
"Bangunlah. Aku membelikanmu sutra baru..."
Suara Lu Yu—lembut, seperti angin pagi. Tapi gemanya menampar kesadarannya.
Zhong Yao tertawa pelan, namun rasa sakit mengoyak dadanya.
"Uhuk... uhuk..."
Ia terduduk, dan darah mengalir dari mulutnya. Tubuhnya lemas.
"Tabib!! Cepat!!!"
Yang Xian berteriak cemas. Seorang tabib tua dengan langkah sigap segera memeriksa nadinya.
" jadinya sangat berantakan aku akan membuatkan resepnya, tapi jangan khawatir dia baik baik saja "
Lu Yu dan Yang Xian terlihat pucat dan khawatir.
Tak lama kemudian, Liang Hong Yu dan Han Miao datang terburu-buru, membawa semangkuk sup hangat.
"Minum dengan baik," ucap Liang tenang, tapi matanya menyimpan rasa was-was.
Zhong Yao bersandar lemah di ranjang. Nafasnya masih berat, keringat dingin membasahi pelipis. Tubuhnya menggigil, namun ia memaksa menahan diri agar tak tampak lemah.
"Pelan-pelan, ini pahit," suara Han Miao lembut sambil menyodorkan sup obat ke bibirnya.
Zhong Yao menoleh lemah ke arah Lu Yu. Ia ingin mengolok, tapi hanya senyum miris yang terukir.
"Jangan menatapku seperti itu, seolah kau ingin mati di sini," gumam Lu Yu, setengah marah, setengah cemas. Ia duduk di sisi ranjang, menatap Zhong Yao yang seperti bara api yang tinggal abu.
"Aku tidak... ingin mati," sahut Zhong Yao parau. "Aku hanya... lelah. Terlalu banyak suara di kepalaku."
Lu Yu diam. Ia ingin menyentuh tangan Zhong Yao, tapi menahan diri. Di belakangnya, Yang Xian berdiri menatap mereka dengan ekspresi sulit dibaca.
Zhong Yao melirik Yang Xian dan tersenyum tipis, “A-Xian… kau di sini juga.”
“Kalau aku tak datang, mungkin kau sudah membakar satu kota,” jawab Yang Xian dengan nada datar, tapi matanya memerah. Ia melangkah mendekat, dan tanpa bicara lagi, ia merapikan selimut Zhong Yao dengan gerakan hati-hati.
“Maaf,” ucap Zhong Yao pelan.
Yang Xian tersentak, menatapnya heran. “Kau... minta maaf?”
Lu Yu ikut menatap Zhong Yao. Pria itu menunduk dalam, seolah tenggelam dalam lautan luka masa lalu yang mulai retak-retak di kepalanya.
“Waktu kecil, aku pikir… jika aku cukup berguna, seseorang akan mencintaiku. Tapi tak ada yang pernah benar-benar menginginkanku, bukan?”
Ruangan itu menjadi hening.
Han Miao dan Liang Hong Yu saling menatap. Sup dalam mangkuk perlahan mendingin. Suasana menjadi seperti mendung sebelum badai—penuh rasa yang menggantung.
Lu Yu menggenggam tangan Zhong Yao—kali ini ia tidak ragu.
“Ada orang yang menginginkanmu, tapi kau terlalu sibuk melindungi dirimu sendiri untuk menyadarinya.”
Zhong Yao menoleh, menatap Lu Yu untuk waktu yang lama.
Yang Xian berjalan ke jendela, memalingkan pandangannya, menahan perasaan asing yang perlahan menggerogoti dadanya.
“Kalau kau sudah pulih,” ucapnya lirih, “pilihlah. Antara terus bersembunyi di balik kemarahanmu… atau membiarkan kami mendekat.”
Zhong Yao memejamkan mata. Luka di tubuhnya mungkin bisa sembuh. Tapi luka yang tinggal di jiwanya... itu yang paling sulit dijangkau.
Namun malam itu, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa… tidak sendirian. ternyata ia memiliki teman namun ia tak pernah menyadarinya.
ia dan pemilik tubuh sudah benar benar menyatu