Di Kota Pontianak yang multikultur, Bima Wijaya dan Wibi Wijaya jatuh hati pada Aisyah. Bima, sang kakak yang serius, kagum pada kecerdasan Aisyah. Wibi, sang adik yang santai, terpesona oleh kecantikan Aisyah. Cinta segitiga ini menguji persaudaraan mereka di tengah kota yang kaya akan tradisi dan modernitas. Siapakah yang akan dipilih Aisyah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Gemini 75, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Melawan Arus, Menemukan Jati Diri
Andini kembali ke Surabaya dengan api membara di hatinya. Ia tidak lagi hanya merasa sedih dan kecewa, tetapi juga bertekad untuk melawan arus. Ia tahu, ini tidak akan mudah. Abi sudah selangkah lebih maju, dan ia memiliki dukungan dari Pak Herman yang memiliki sumber daya tak terbatas. Tapi Andini juga memiliki sesuatu yang tidak dimiliki Abi: keyakinan yang kuat pada nilai-nilai yang ia junjung tinggi dan dukungan dari orang-orang yang mencintainya.
Malam itu, Andini dan Pramudya duduk di warung kopi langganan mereka di daerah Gubeng. Suasana Surabaya terasa hangat dan akrab, tetapi pikiran Andini masih dipenuhi dengan kekacauan.
"Aku nggak tahu harus mulai dari mana, Pram," keluhnya sambil mengaduk kopinya. "Abi sudah berhasil meyakinkan beberapa pengrajin untuk ikut dengannya. Aku takut, kita akan kehilangan semua dukungan."
Pramudya menggenggam tangannya dengan lembut. "Jangan khawatir, Andini. Kita akan mencari cara. Kita akan menunjukkan kepada mereka bahwa kita memiliki sesuatu yang lebih berharga daripada uang."
"Tapi apa?" tanya Andini putus asa. "Apa yang bisa kita tawarkan yang tidak bisa Abi tawarkan?"
"Keaslian," jawab Pramudya tegas. "Kita menawarkan keaslian, cerita, dan jiwa dari setiap karya yang kita buat. Kita menawarkan sesuatu yang tidak bisa dibeli dengan uang."
Kata-kata Pramudya menyentuh hatinya. Andini menyadari bahwa ia tidak boleh menyerah pada ketakutan dan keraguan. Ia harus berjuang untuk apa yang ia yakini, meskipun itu berarti menghadapi tantangan yang sulit.
Keesokan harinya, Andini mulai menghubungi para pengrajin satu per satu. Ia mengunjungi rumah mereka, mendengarkan keluh kesah mereka, dan menjelaskan visinya tentang Warna Warni Nusantara yang baru. Ia tidak menjanjikan kekayaan atau ketenaran, tetapi ia menjanjikan sesuatu yang lebih berharga: kebebasan untuk berkarya dengan hati, kesempatan untuk melestarikan budaya lokal, dan komunitas yang saling mendukung.
Beberapa pengrajin ragu, tetapi banyak juga yang bersedia memberikan dukungan mereka. Mereka adalah orang-orang yang memiliki keyakinan yang sama dengan Andini, orang-orang yang tidak mau mengorbankan nilai-nilai mereka demi uang.
Sementara itu, Abi mulai merasakan dampak dari keputusannya. Ia melihat bagaimana para pengrajin yang dulu mendukungnya mulai meragukannya. Ia juga merasakan tekanan dari Pak Herman, yang menuntut hasil yang cepat dan keuntungan yang besar.
Suatu malam, Abi tidak sengaja bertemu dengan Pramudya di sebuah warung soto di daerah Tunjungan. Suasana canggung menyelimuti mereka berdua.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Abi dengan nada sinis.
"Aku hanya ingin makan soto," jawab Pramudya dengan tenang. "Kamu sendiri?"
"Aku juga," jawab Abi singkat.
Mereka berdua terdiam sejenak, menikmati soto mereka dalam keheningan. "Aku tahu kamu kecewa padaku," kata Abi tiba-tiba, memecah keheningan. Pramudya mengangkat kepalanya, menatap kakaknya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Aku memang melakukan kesalahan," lanjut Abi dengan nada menyesal. "Aku terlalu ambisius, aku terlalu fokus pada kesuksesan, sampai aku lupa apa yang benar-benar penting." Pramudya terdiam, menunggu Abi melanjutkan kata-katanya. "Aku... aku ingin meminta maaf padamu," kata Abi akhirnya. "Aku tahu, aku sudah menyakitimu dan Andini. Aku harap, kalian bisa memaafkanku." Pramudya menghela napas panjang. Ia tahu, Abi tidak sepenuhnya tulus. Ada bagian dari dirinya yang masih terobsesi dengan kesuksesan dan pengakuan. Tapi, ia juga melihat penyesalan yang tulus di mata kakaknya. "Aku memaafkanmu, kak," kata Pramudya pelan. "Tapi, kamu harus membuktikan bahwa kamu benar-benar berubah. Kamu harus menunjukkan kepada Andini bahwa kamu layak mendapatkan kesempatan kedua." Abi mengangguk, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Aku akan melakukan apa saja," bisiknya. "Aku akan melakukan apa saja untuk memperbaiki semuanya." Pertemuan itu menandai awal dari perubahan dalam diri Abi. Ia mulai merenungkan tindakannya dan menyadari bahwa ia telah menyakiti orang-orang yang paling berarti dalam hidupnya. Ia juga menyadari bahwa kesuksesan sejati tidak bisa dicapai dengan mengorbankan nilai-nilai yang ia yakini. Namun, perjalanan Abi untuk memperbaiki diri baru saja dimulai. Ia masih harus menghadapi banyak tantangan dan membuktikan kepada Andini bahwa ia benar-benar layak mendapatkan kesempatan kedua. Dan Andini, di tengah perjuangannya untuk menyelamatkan Warna Warni Nusantara, harus membuat pilihan yang sulit: apakah ia akan tetap setia pada Pramudya yang selalu mencintainya dengan tulus, atau memberikan kesempatan kedua pada Abi yang berusaha untuk kembali ke jalan yang benar?"
Andini duduk di depan laptopnya, matanya lelah karena kurang tidur. Ia baru saja menyelesaikan proposal untuk mencari dana alternatif bagi Warna Warni Nusantara. Pramudya sedang keluar menemui beberapa pengrajin, mencoba meyakinkan mereka untuk tetap setia. Suasana di Surabaya terasa tegang, seolah menunggu badai besar menerjang.
Tiba-tiba, teleponnya berdering. Nomor yang tidak dikenal. Dengan ragu, Andini mengangkatnya.
"Halo, selamat siang. Apa benar ini Andini dari Warna Warni Nusantara?" Suara seorang wanita terdengar di seberang sana.
"Benar, ini saya. Ada yang bisa saya bantu?" jawab Andini hati-hati.
"Saya Bu Lastri, pengrajin batik dari daerah Lasem. Saya... saya hanya ingin menyampaikan sesuatu." Nada suara Bu Lastri terdengar ragu.
"Ada apa, Bu Lastri?" tanya Andini penasaran.
"Saya dengar, Mas Abi datang ke rumah Pak Kasman kemarin," kata Bu Lastri. "Dia memberikan bantuan modal untuk Pak Kasman, yang sedang kesulitan karena anaknya sakit."
Andini terdiam. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan.
"Awalnya, saya ragu dengan Mas Abi," lanjut Bu Lastri. "Saya pikir, dia hanya ingin memanfaatkan kami untuk kepentingannya sendiri. Tapi... setelah melihat apa yang dia lakukan untuk Pak Kasman, saya jadi berpikir ulang."
"Apa maksud Ibu?" tanya Andini, jantungnya berdebar kencang.
"Saya tidak tahu apa yang ada di pikiran Mas Abi," jawab Bu Lastri. "Tapi, setidaknya, dia sudah menunjukkan bahwa dia peduli pada kami, para pengrajin kecil. Dia sudah melakukan sesuatu yang nyata untuk membantu kami."
Setelah mengucapkan terima kasih, Andini menutup telepon. Ia merasa bingung dan tidak yakin. Apakah Abi benar-benar berubah? Apakah ia tulus dalam membantu Pak Kasman? Atau apakah ini hanya taktik untuk memenangkan hati para pengrajin kembali?
Keraguan itu semakin kuat ketika Pramudya kembali dari pertemuannya dengan para pengrajin. Wajahnya terlihat lesu dan kecewa.
"Bagaimana, Pram?" tanya Andini cemas.
"Tidak terlalu baik," jawab Pramudya. "Beberapa pengrajin mulai goyah. Mereka bilang, Abi menjanjikan lebih banyak uang dan fasilitas yang lebih baik. Mereka bilang, kita terlalu idealis dan tidak realistis."
Andini menghela napas panjang. Ia tahu, ini akan terjadi. Uang memang memiliki daya tarik yang kuat.
"Tapi ada satu hal yang aneh," lanjut Pramudya. "Beberapa pengrajin bilang, Abi tidak memaksa mereka untuk ikut dengannya. Dia bilang, mereka bebas memilih apa yang terbaik untuk mereka."
"Apa maksudmu?" tanya Andini bingung.
"Aku tidak tahu," jawab Pramudya. "Tapi sepertinya, Abi tidak lagi seambisius dulu. Dia sepertinya benar-benar ingin membantu para pengrajin, tanpa mempedulikan apa yang akan dia dapatkan."
Andini terdiam. Ia merasa semakin bingung dan tidak yakin. Ia tidak tahu apa yang harus ia percayai.
Malam itu, Andini tidak bisa tidur. Ia terus memikirkan tentang Abi dan tindakannya. Ia bertanya-tanya apakah ia harus memberikan kesempatan kedua.
\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*