NovelToon NovelToon
Tetaplah Di Sisiku (After 10 Years)

Tetaplah Di Sisiku (After 10 Years)

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintamanis / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Kehidupan Tentara / Romansa / Dokter / Gadis Amnesia
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: Pena Fantasi

Seorang pemuda lulusan kedokteran Harvard university berjuang untuk menjadi seorang tentara medis. Tujuan dari ia menjadi tentara adalah untuk menebus kesalahannya pada kekasihnya karena lalai dalam menyelamatkannya. Ia adalah Haris Khrisna Ayman. Pemuda yang sangat tampan, terampil dan cerdik. Dan setelah menempuh pendidikan militer hampir 2-3 tahun, akhirnya ia berhasil menjawab sebagai komandan pasukan terdepan di Kopaska. Suatu hari, ia bertugas di salah satu daerah terpencil. Ia melihat sosok yang sangat mirip dengan pujaan hatinya. Dan dari sanalah Haris bertekad untuk bersamanya kembali.

Baca selengkapnya di sini No plagiat‼️

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pena Fantasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Desas-desus

Sudah berhari-hari Lita tidak masuk ke klinik karena kesal akibat ditinggal rekan tentara, terlebih lagi Haris. Ditambah, ia sangat jengkel dengan gadis desa itu.

"Gue harus bikin dia pergi dari Haris... Gue enggak rela!"

Terlintas di otaknya sebuah rencana untuk membalas dendam pada Nahda yang sudah membuatnya kesal dan marah.

"Awas saja lu... Gue bakal bikin lu menjauh perlahan dari Haris!"

***

Suasana klinik memang sangat ramai pasien, sementara tenaga medis di sana sangat kekurangan. Agung, yang memimpin sementara, merasa kewalahan menghadapi pasien yang terus berdatangan. Setelah selesai memeriksa, akhirnya ia menghela napas untuk beristirahat sejenak.

"Ke mana anak itu?" gumamnya.

Agung pun mengitari semua ruangan untuk mencari seseorang. Kebetulan, di depannya terdapat rekan sesama dokter yang sedang melintas.

"Bro! lu lihat si Lita enggak?"

"Enggak tuh... Emangnya dia kenapa?"

"Kesal gue... Dia bukannya tugas malah keluyuran, Sudah hampir seminggu enggak masuk. Kalau begini terus, kita bakal kena masalah!"

Pemuda tersebut hanya bisa menghela napas beratnya. "Gue juga kesal sama dia... Coba lu cari di penginapannya, Siapa tahu ada."

Agung mendecak kesal. "Ya sudah deh, Gue cari dia dulu ya. Banyak pasien malah keluyuran, Kebiasaan!"

"Ya sudah... Gue duluan ya, Gung."

Mereka pun setelah berbincang mulai bubar untuk mengerjakan tugasnya masing-masing. Sementara Agung masih sibuk mencari keberadaan Lita yang terus menghilang. Saat melewati ruang belakang, ia melihat sosok wanita yang memakai jas putih serta senyum merekah di wajahnya. Tak ingin kehilangan jejaknya lagi, Agung langsung menghampiri dan menghentikannya.

"Heh! Enak ya keluyuran! Banyak pasien bukannya ngejalanin tugas yang benar... Dari mana saja lu?" tegas Agung sengit pada Lita.

Lita yang awalnya tersenyum merekah, tiba-tiba dibuat kesal ketika mendengar ucapan Agung yang memarahinya tiba-tiba. "Aelah, Gini saja lu marah... Gue habis ngejalanin misi tahu enggak!"

"Pantaslah gue marah... Lo itu di bawah bimbingan gue! Kalau ada apa-apa sama lo, gue juga yang kena! Gue enggak peduli apa misi lo, yang jelas lo harus menjalankan tugas lo sebagai dokter... Kalau enggak, gue bakal bikin laporan supaya lo diberhentikan!" ancam Agung.

Sebenarnya ia tak ingin berkata seperti itu. Tapi mau bagaimana lagi. Lita cukup sering membolos dan selalu melalaikan tugasnya. Namun ia berhasil tertolong karena Agung selalu memberinya kesempatan. Tapi sepertinya Agung sudah tidak tahan akan sikap Lita yang semena-mena pada misinya di desa tersebut.

Lita mendecak kesal. "Ish, Iya gue bakal menjalani tugas dengan benar... Puas lu?! Bikin kesal saja!" Setelah mengatakan hal itu, Lita pun pergi dengan wajah ditekuk karena kesal dengan Agung.

"Kenapa sih harus dia yang jadi pembimbing gue! Gue maunya cuma Haris!! Tapi kenapa susah banget dapatin dia?" batinnya sangat kesal.

Agung yang melihat punggung Lita, hanya bisa menghela napas. Ia sudah lelah menanggung kesalahan juniornya itu. Ia tahu jika Lita akan serius jika ada Haris di sampingnya. Tapi itu tidak mungkin disebabkan Haris tidak ingin berdekatan dengan Lita.

***

Sementara di rumah tua yang sunyi, hanya tersisa Nahda yang sedang termenung sembari memperhatikan layar ponsel yang dibelikan Haris untuknya. Wajah cantiknya seperti memperlihatkan kegelisahan di hatinya.

"Kok dia enggak hubungi aku sih? Padahal sudah janji bakal terus berhubungan... Mau telepon duluan, enggak tahu caranya, lupa... Aishhhh, gimana ini?" batinnya bertanya sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Huffftttt... Ayo ingat-ingat," monolognya berusaha mengingat apa yang telah diajarkan Haris tempo lalu sebelum keberangkatannya.

Setelah beberapa menit mengingat, rupanya ia kembali teringat sekilas tentang tata caranya tersebut.

"Ini begini... terus begini... dan klik ini... okeh."

Klik.

"Haaaa, bisaaa!"

Lalu ia pun menaruh ponselnya di telinga kanannya. Ia hanya mendengar suara notif telepon yang artinya belum tersambung.

"Kok enggak diangkat ya?"

Lalu ia berusaha untuk meneleponnya kembali. Tapi, hanya suara deringan yang sama seperti sebelumnya. Akhirnya ia pun mengakhiri teleponnya itu.

"Mungkin lagi sibuk kali ya..." Nahda hanya menghela napas panjang dan ia pun kembali bangkit untuk mengerjakan pekerjaan rumahnya yang tertunda.

***

Haris sedari pagi sangat sibuk menjalankan misinya di desa tersebut. Sudah hampir berjalan seminggu lebih, dan lumayan nampak perubahan.

"Ris, Bantuan dokter di posko 9!" teriak rekannya.

"Baik!"

Menjalani dua profesi sekaligus membuatnya super sibuk dibandingkan rekannya yang lain. Di satu sisi ia harus menjaga keamanan, di satu sisi ia harus menjaga kesehatan baik masyarakat maupun dirinya sendiri.

Bahkan ia tidak ada waktu untuk istirahat dikarenakan desa tersebut sangat memprihatinkan dalam hal kesehatan. Rata-rata warga di sana menderita gizi buruk, terutama pada anak-anak. Haris dan tim harus ekstra memberikan solusi untuk mengurangi faktor gizi buruk tersebut.

"Sepertinya yang menderita gizi buruk sudah berkurang, Pak."

"Sepertinya... Oh iya, kamu observasi keadaan sekitar ya... Rangkum dalam sebuah laporan... Lalu hasilnya berikan ke saya."

"Baik, Pak."

Pria yang masih muda tersebut keluar ruang posko miliknya. Setelah pergi, Haris menghela napas panjangnya dan menyandarkan punggungnya di kursi duduknya.

"Hufffttt, Capeknya... Gue cuma pengen buru-buru pulang dari sini."

Haris sesekali memeriksa ponselnya. Kegiatan yang super padat menyulitkan dirinya untuk membuka ponselnya sendiri. Matanya terbelalak saat melihat kontak yang ia rindukan meneleponnya berulang kali.

"Bey," lirihnya.

Tiba-tiba hatinya sedih dikarenakan ia belum sempat menyempatkan waktu untuk menghubunginya.

"Maafin aku ya, Aku belum bisa ngabarin kamu. Nanti aku hubungi lagi, Aku juga kangen sama kamu." monolognya saat melihat ponselnya.

Sekilas, Haris seperti teringat sesuatu. "Eh iya... Gue belum bilang ke Bunda dan mereka semua masalah Nahda masih ada. Tapi nanti saja deh, Kalau sekarang enggak tepat," monolognya.

Tiba-tiba datang seseorang yang masuk ke dalam ruangan poskonya. "Oy, Ris... Ada pasien di posko 5!"

Lama termenung, "Oke... Gue ke sana." Lagi-lagi Haris menghela napas beratnya. Ia lelah tapi harus menjalankan tugasnya dengan baik.

***

Setelah membersihkan rumah, Nahda pergi keluar ke warung terdekat untuk membeli beberapa bumbu masakan untuk nanti malam karena semua sudah habis.

Seperti biasa, ia melewati jalan beralaskan tanah dengan santai. Namun, ia merasakan ada yang aneh. Semua orang yang melihat dirinya seolah menampakkan wajah jijiknya. Tapi ia tak menghiraukannya. Seketika, di depannya ada tetangga yang ia kenal. Dia pun menyapa para tetangganya tersebut.

Dengan wajah cantik dan senyum manisnya, ia menyapa orang-orang yang ia kenal melintas atau berada di dekatnya. Tapi, sapaannya itu hanya direspons dingin. Justru mereka memandangnya dengan tatapan tajam. Lalu, senyum yang nampak di bibirnya kemudian menyusut dikarenakan bingung atas sikap orang-orang di sana terhadapnya. Tapi ia masih berpikir positif.

"Sore, Bu Andin," sapanya saat melihat seseorang yang melintas dari arah berlawanan.

"Cih..." Lalu orang tersebut terus berjalan tanpa melihat ke arah Nahda.

"Mereka semua kenapa ya?"

Lagi-lagi ia dibuat bingung oleh orang sekitarnya. Nahda pun tak ambil pusing, segera ia pergi dan cepat sampai ke warung. Setelah menempuh jalan sekitar 15 menit, ia pun telah sampai di warung yang dituju.

"Mau belanja apa, Neng?"

Nahda terperangah ketika mendengar sapaan pemilik warung terhadapnya. "Sepertinya, ibu ini tidak marah padaku," batinnya.

Seketika senyumnya kembali terbit. Di sana hanya ia yang membeli belanjaan dikarenakan sudah sore, jadi ibu-ibu di desa tersebut tidak berkumpul di warung.

"Eum... Aku mau beli garam, Royco, gula, micin, sama kecap."

"Oke..."

Lalu ibu tersebut memasukkan belanjaan ke kantong kresek yang telah disediakan oleh warung tersebut.

"Totalnya Rp 20.000, Neng."

"Ini, Bu... Makasih ya."

Setelah belanja, ia pun pergi dari sana untuk pulang ke rumahnya. Seperti biasa ia hanya seorang diri melintasi jalan tanah tersebut. Ia melihat banyak orang yang mulai membicarakannya dari jauh. Kemudian ia melihat keadaan sekeliling tubuhnya agar memastikan ada yang menjadi pusat perhatian.

"Tidak ada... Mereka lagi ngomongin aku?"

Tidak mau suudzon, Nahda pun berjalan tanpa melihat orang-orang yang mulai membicarakannya diam-diam. Langkahnya terhenti saat mendengar sekilas pembicaraan dari dua orang tetangganya.

"Cih... Tampang lugu, baik... tapi nyatanya kaya iblis."

Mendengar itu, Nahda merasa terkejut. Tapi ia tak bisa memastikan ucapan itu untuknya. Mungkin saja untuk orang lain. Ia pun mempercepat langkahnya menuju ke rumahnya. Tak butuh waktu lama, ia pun membuka pintu serta menguncinya.

Ia masih kepikiran kejadian tadi. Orang-orang yang biasa ramah terhadapnya mendadak membicarakan keburukan tentang dirinya. Walaupun ia sendiri tidak mengetahui itu untuknya atau tidak.

Lalu, tak lama kemudian ia mendengar ponselnya berdering dari arah kamar. Ia pun menaruh belanjaannya di bangku tamu. Segera ia memasuki kamarnya dan mengambil ponselnya. Raut wajahnya seketika cerah kembali saat membaca notifikasi panggilan dari kekasihnya itu. Dengan cepat ia pun mengangkat telepon tersebut.

"Halo... Haris!" sapanya bersemangat.

"Halo, sayang... Maaf ya aku baru bisa hubungi kamu sekarang... Baru ada waktu..."

Nahda tersenyum manis. Ia menerima telepon sembari memperhatikan wajahnya di depan cermin. "Iya, enggak apa-apa kok... Aku maklum pekerjaan kamu super sibuk."

Terdengar suara helaan dari teleponnya. "Aku kangen sama kamu, sayang... Rasanya aku pengen segera pulang dan peluk kamu lagi... Maaf ya jika kamu menungguku lama."

"Aku juga kangen sama kamu..."

"Kamu lagi apa sekarang, Bey?"

"Lagi angkat telepon dari kamu."

Terdengar suara tawa pelan dari teleponnya. "Maksud aku, kegiatan kamu sekarang setelah ini."

"Ohhh... Kayak biasa saja... Tapi bentar lagi aku mau masak."

"Kamu di rumah sendirian atau sama Puput?"

"Sendirian... Aku enggak enak nyuruh Puput terus-terusan menginap di rumah."

"Ya sudah, sayang... Kamu hati-hati di sana ya... Jaga diri... Aku enggak mau kamu kenapa-kenapa."

"Kamu enggak usah khawatir... Aku bisa jaga diri kok."

Nahda sekilas mendengar ada seseorang yang memanggil Haris untuk bekerja kembali.

"Eum... Maaf ya, Bey... Aku mau lanjut kerja dulu... Nanti kalau ada waktu aku hubungi lagi ya."

"Iya... Semangat ya kerjanya..."

"Kamu juga hati-hati di rumah... Kalau ada apa-apa langsung hubungi aku ya..."

"Iya, siap..."

"Kalau gitu, aku tutup dulu ya... Dah, sayang."

"Dah..."

Tut! (telepon terputus).

Sekilas rasa bahagianya kembali muncul setelah ia teleponan dengan kekasihnya itu.

"Semangat ya kerjanya..." ujarnya sembari memeluk ponselnya. Ia pun kembali meletakkan ponselnya dan mengerjakan tugasnya yang tertunda yaitu memasak untuk makan malam dirinya seorang diri.

***

"Gimana? Kamu sudah jalani tugas yang saya berikan?"

"Sudah, Teh... Pokoknya saya sudah meyakinkan semua orang buat benci sama dia... Mungkin dia bakal diusir dari desa ini suatu saat nanti."

"Bagus... Ini dia bayaranmu ya."

Orang itu terbelalak saat melihat uang yang banyak berada di genggamannya. "Seriusan, Teh, segini?"

"Iya... Tapi kalau misimu berhasil, akan kutambah."

"Waaahhh, makasih ya, Teh!"

"Sama-sama... Sudah, kalian pergi sebelum ada orang yang melihat kalian... Ingat! Jaga rahasia ini... Kalau sampai ketahuan, awas saja!" ancamnya.

"Baik, Teh... Saya mengerti."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!