Artha anak kaya dan ketua geng motor yang dikagumi banyak wanita disekolahan elitnya. Tidak disangka karna kesalahpahaman membuatnya menikah secara tiba-tiba dengan gadis yang jauh dri tipikal idamannya. Namun semakin lama bersama Artha menemukan sisi yang sangat dikagumi nya dari wanita tersebut.
mau tau kelanjutannya....??
pantau trus episodenya✨✨
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 22
"Nai, makan dulu!"
Artha meletakkan satu buah nasi kotak di depan Naira. Biasanya Naira memasak, tetapi hari ini dia enggan melakukan apa pun. Artha cukup maklum. Bagaimanapun suasana hati Naira sedang dalam
kondisi berkabung.
"Nai, lo denger gue nggak?"
Tidak ada tanggapan dari Naira. Gadis itu masih diam sembari menekuk kedua kaki, memeluk lututnya sendiri seraya meletakkan dagunya di atas sana.
Namun, beberapa saat kemudian, bibir yang
sejak tadi terdiam mulai besuara.
"Ta!" Suara Naira terdengar lirih. Dia tak langsung mengambil nasi kotak yang dibawakan Artha, tetapi masih termenung di posisi yang sama.
"Heem!"
"Gue lupa cara tertawa," kata Naira seraya menatap kosong ke depan.
"Hah?" Sungguh, perkataan Naira membuatnya
kebingungan.
"Gue dari tadi mencoba mengingat-ingat kejadian lucu yang sempat gue alami bersama Mama, tapi gue sama sekali nggak ketawa. Apa kotak tertawa gue udah rusak, ya?"
Tanpa ekspresi Naira mengatakannya. Namun, berbeda dengan Artha. Lelaki itu langsung tergelak tanpa sadar mendengar kalimat Naira.
"Lo pikir Squidward pake kotak tertawa?"
Menatap Artha yang sedang mentertawakannya, Naira malah melihat aneh ke arah pria itu.
"Lo ngetawain apa?"
Artha mengerutkan kening. Tampaknya bukan masalah kotak tertawa Naira yang rusak, tetapi
gadis itu sedang kehilangan selera humor.
Artha merogoh smartphone pada saku celana, lalu mencari video lucu tentang prank. Dia memutar
video tersebut dan dipertunjukkan kepada Naira.
Oh, tidak, Naira tidak menonton sendiri, melainkan mereka nonton bareng. Namun, saat video itu diputar, Naira sama sekali tidak tertawa. Justru Artha yang terpingkal karena melihat kelucuan wajah-wajah orang yang menjadi korban kejahilan.
Artha akhirnya menghentikan video itu setelah perutnya keram karena terlalu banyak tertawa. Menghela napas sekali, dia memikirkan cara lain
agar Naira bisa tertawa lepas seperti dulu
"Nai, buruan makan. Gue mau ngajak lo ke suatu tempat."
Nasi kotak disodorkan di depan Naira dengan tangan gadis itu diarahkan untuk menyentuh
makanannya.
"Buruan. Pake baju tebel."
Naira mengangguk setuju. Mulai menyantap makanan yang sudah dibawakan Artha meskipun tak menghabiskan banyak karena nafsu makannya belum membaik. Artha pun tak mempermasalahkan hal itu. Asalkan perut Naira terisi, masalah menghabiskan makanan sepertinya tidak terlalu penting.
Saat Naira memilih jaket yang ada di lemari pakaian, Artha turut masuk ke dalam kamar itu. Lelaki itu duduk di ranjang sembari menunggu
Naira mengambil jaketnya.
"Jangan yang itu! Cari yang tebelan lagi."
Artha mengamati pakaian Naira yang ada di lemari tak terlalu banyak. Bahkan, terkesan sedikit. Walaupun Artha laki-laki, pakaian yang ada di kamarnya jauh lebih banyak dibanding yang ada di
lemari Naira.
Saat tangan Naira tanpa sengaja menyenggol jaket jeans dan menjatuhkannya, Artha membantu
mengambilkan. Jaket jeans itu tampak tidak asing.
"Gue kayak pernah lihat jaket ini?" Tangannya membolak-balikkan jaket tersebut dengan merentangkannya lebar.
"Ini bukan punya lo, kan?" Naira menoleh, lalu mengangguk mengiakan.
"Itu jaket Julian. Dia ngasih itu ke gue. Gue udah nolak dan bakal balikin lewat lo. Tapi dia bilang nggak mau jaketnya dibalikin."
"Julian," ucap Alka lirih.
"Dia nekad ternyata."
"Apa?" Naira berbalik dengan membawa jaket hoodie yang lumayan tebal. Dia mengenakan jaket tersebut di depan Artha.
"Lo bilang apa barusan?" katanya setelah mengeluarkan kepala dari hoodienya.
"Enggak. Udah siap?"
Pandangan mengarah pada penampilan Naira. Ya, tidak bisa dipungkiri, walaupun gadis itu mengenakan pakaian sederhana pun, kalau pada dasarnya cantik, ya tetep cantik. Terkadang Artha merasa teman-teman Naira membully bukan karena gadis itu yang memiliki kemampuan pas
pasan, tetapi lebih karena mereka iri dengan Naira.
Memang Naira tidak pandai dalam pelajaran sekolah. Kurang soal harta, tetapi dia cantik, badannya bagus sehingga banyak yang ingin
menyingkirkannya. Kadang manusia suka begitu. Takut tersaingi dan berakhir menyingkirkan yang lebih lemah karena melihat potensi yang akan mengunggulinya.
Sempat terpana, Artha masih menatap Naira tanpa berkedip. Menggerakkan tangan ke kanan dan ke kiri, Naira menegur Artha kemudian.
"Lo nggak papa?" Kelopak mata mengerjap, lantas setelah itu Artha menggeleng.
"Buruan! Lo lelet banget," kata Artha seraya menarik tangan Naira untuk diajak keluar dari
ruangan itu.
Mulai menyalakan mesin motor, Artha melajukan roda duanya cepat membelah keramaian kota. Seperti biasa, Naira yang awalnya selalu berpegangan pada bahu Artha tak bisa bertahan lama. Dengan melajukan motor secepat itu, sementara posisi jok motor menurun ke depan, jelas saja Naira tak bisa mengelak untuk memeluk lelaki itu.
Bias kemerahan merambat pada wajahnya. Jalan-jalan di malam hari seperti ini nyatanya cukup menghibur hatinya yang sedang berada dalam kesedihan.
Sekitar empat puluh lima menit lamanya menghabiskan waktu di perjalanan, Artha rupanya membawa Naira di salah satu pesisir pantai. Naira mengerjapkan mata, memandang potret alam yang indah dengan suara deru ombak mendominasi. Kaki beralas sepatu itu turun dari motor, menapak pada pasir putih yang terkadang berhamburan karena tiupan angin.
Artha melepaskan helm, meletakkan pada setang motor. Tubuhnya membungkuk, melepas sepatu
yang menjadi alasnya sejak tadi.
"Lo yakin masih pake sepatu?" Artha berkata
sembari menengadah ke arah Naira yang berdiri di
depannya.
Naomi mengangguk.
"Gue takut ada kepiting."
Artha terkekeh kecil. Di mana-mana orang ke pantai pasti ingin bermain air. Namun, Naira
malah takut digigit kepiting. Tak ambil pusing dengan alasan Naira, Artha menarik kaki gadis itu sehingga membat Naira nyaris terjatuh. Artha menahannya, tetapi membiarkan Naira duduk di hamparan pasir.
"Eh, lo mau ngapain?"
Tanpa menunggu persetujuan dari Naira, Artha melepas sepatu kets dari kaki pemiliknya. Gadis yang membiarkan rambutnya tergerai itu melotot ke arah Artha. Padahal sejak tadi dia mengatakan bahwa tetap di sini karena takut ada kepiting yang bisa saja menggigit kakinya, tetapi Artha malah melepaskan sepatunya. Benar-benar Artha selalu mencari keributan dengannya.
Artha tak menanggapi pertanyaan Naira. Setelah kedua sepatu berhasil dilepaskan, dia beranjak berdiri, menarik tangan Naira agar turut bangkit dari posisinya yang sedang duduk.
"Artha!" Naira berteriak, tetapi Artha tak peduli.
"Ayo, ikut gue!" ucap lelaki yang sudah menaikkan celananya sebatas siku sembari mempertahankan tangan Naira dalam genggamannya. Mereka berlari-lari kecil menuju bibir pantai.
Suasana pantai sangat gelap, hanya diterangi cahaya rembulan yang tampak bersinar terang. Terdengar deru suara ombak yang sedang pasang
bergelung memecah batu karang. Air yang naik ke daratan membasahi kedua pasang kaki telanjang mereka. Naira yang awalnya takut-takut, menerbitkan senyum saat merasakan kakinya yang basah sedikit terhanyut oleh aliran air.
Melihat Naira tersenyum, Artha merasa lega. Ayahnya sempat mengatakan, jika dirinya belum memiliki perasaan pada Naira, paling tidak sayangi Naira layaknya adik sendiri. Mungkin dengan begitu Artha lebih bisa menjaga Naira, dan tak tega jika sampai melukainya.
Sebuah cipratan air yang sengaja Artha guyurkan mengenai wajah Naira. Gadis itu melotot, menatap kesal ke arah Artha. Wajahnya jadi basah dengan rasa asin tercecap pada lidahnya.
"Artha, lo ngeselin lama-lama!"
Naira tak terima, membalas Artha dengan mencipratkan air laut itu pada wajah Artha. Saling lempar, lalu tertawa bersama. Untuk sesaat Naira bisa menghilangkan kesedihan dari takdir yang
ternyata teramat jahat padanya.
Artha membungkuk di depan Naira setelah mencolek lengan gadis itu.
"Lo ngapain?" tanya Naira sembari memiringkan kepala.
"Buruan naik, sebelum gue berubah pikiran." Kepala Artha mengedik memberi isyarat, tetapi
Naira malah bengong tak mengerti.
"Hah!"
Mengembuskan napas, Artha semakin gemas dibuatnya. Menarik kaki Naira, lalu mengangkat
gadis itu di belakang punggungnya.
Naira sempat memekik, tetapi hanya sebentar karena setelah itu kedua tangan melingkar pada
leher Artha.
"Artha, lo gila!" Naira berteriak di telinga Artha ketika lelaki itu tiba-tiba berlari sembari
menggendongnya. Pelukan Naomi mengerat, meletakkan dagu pada bahu Artha. Lelaki itu memelankan langkahnya, berjalan perlahan-lahan menyusuri bibir pantai.
"Gue udah lama nggak lihat pantai. Padahal jaraknya nggak terlalu jauh. Dulu saat almarhum Papa masih hidup, gue sering diajak kemari. Apalagi saat kecil. beliau selalu bilang, Jangan lepas sendal. Banyak kepiting!' Gue awalnya bandel, nggak mau dengerin peringatan Papa. Tapi saat gue jalan-jalan dengan kaki telanjang, beneran ada kepiting yang nyapit kaki gue. Gue nangis, kaki gue bengkak. Mama dateng buru-buru ngasih pertolongan pertama. Kaki gue diperban setelah diberi obat."
"Ngelihat gue masih saja nangis, Papa ngegendong gue. Sama seperti apa yang lo lakuin tadi. Papa ngajak gue berkeliling. Beliau berlari, membiarkan gue berada di punggungnya. Akhirnya gue bisa tertawa. Rasa sakit di kaki rasanya menghilang saat itu juga."
Naira tersenyum seraya menatap ke depan di mana hamparan laut lepas berada. Kini, keduanya sedang duduk-duduk di atas pasir tanpa alas kaki. Dia menoleh pada Artha yang masih memandang hamparan air di depannya.
"Thanks, udah bawa gue kemari."
Artha menoleh kemudian. Senyum terkulum dalam beberapa detik.
"Simpan terima kasih lo! Karena semua ini nggak gratis," kata Artha yang terdengar tega
"Apa? Lo mau gue bayar?" Naira nyaris tak percaya dengan perkataan Artha. Bisa-bisanya di tengah kondisinya yang serba sulit Artha meminta bayaran.
"Iya, di dunia ini mana ada yang gratis, Nai. Gue kan udah ngehibur lo. Seharunya ada imbalannya."
"Artha!"
Naira memukul lengan Artha. Lelaki itu mengusap bekas pukulan tangan Naira seraya terkekeh kecil.
"Lo harus bayar! Gue nggak mau tahu."
"Heem" Gumam Naira.
"Lo ngingetin gue akan sebuah pekerjaan. Mungkin gue harus nyari kerja setelah ini. Mama udah nggak ada. Gue nggak ada pemasukan lain untuk bertahan hidup kalau nggak kerja."
Tatapan Artha mengarah pada Naira. Sorot matanya terlihat penuh arti.
"Tapi gue nggak bisa sampai nunggu lo dapat kerjaan. Gue mau secepatnya lo bayar semua ini."
"Lo kenapa jadi perhitungan, sih, Ta! Lo kan tajir. Pengertian dikit kek sama gue yang rakyat jelata ini."
Naira mengembungkan pipi. Wajahnya terlihat kesal saat mengatakannya.
"Ini udah keputusan gue. Pokoknya gue ngasih lo waktu berpikir dua puluh empat jam. Mau enggak
mau, lo nggak ada pilihan lain."
"Tapi, Ta? Gue ...."
"Lo harus pulang ke rumah gue. Tinggalin rumah lo!" ucap Artha menyela perkataan Naira.
"Apa? "
Sepertinya kata "bayar" yang diungkapkan Artha sangat berbeda dengan apa yang sedang dipikirkan Naira. Gadis itu masih menatap Artha yang belum selesai dengan kalimatnya.
"Setidaknya saat lo berada di rumah gue, gue nggak perlu mencemaskan lo! Gue sebenarnya juga kesal mengakui ini. Saat lo nggak bisa dihubungi, gue ngerasa ada yang hilang. Gue takut lo kenapa-kenapa. Dan ternyata insting gue bener. Gue nggak mau ambil resiko dengan membiarkan lo tetap berada di rumah itu. Setidaknya saat gue sedang keluar ngumpul sama temen-temen, di rumah banyak orang yang ngejagain lo. Lo akan aman di rumah gue."
Naira melihat ketulusan di mata Artha. Dia tak menyangka Artha bisa bicara semanis itu. Padahal biasanya lelaki itu selalu mengejeknya.
Tanpa sadar air mata menetes membasahi pipi. Sapuan angin menerpanya sejuk. Dia mendadak
menjadi perempuan cengeng.
"Gue salah ngomong, ya? Kenapa lo jadi nangis? Bukannya lo tadi marah-marah sama gue?" Artha memiringkan kepala, menatap lekat pada gadis
bermata indah.
"Lo nyebelin, Ta! Dulu gue ngerasa ketiban sial saat ketemu sama lo. Bayangin aja, kita dinikahkan padahal kenal aja enggak. Dan lo selalu ngatain gue yang enggak-enggak. Sumpah, lo adalah cowok yang paling bikin gue kesel saat itu."
Bukannya marah, Artha malah tertawa. Dia masih mengarahkan tatapan penuh ke arah Naira, memfokuskan seluruh perhatian pada gadis di depannya itu.
"Tapi untuk saat ini gue ngerasa Tuhan itu sayang banget sama gue. Tuhan ngirim lo dan keluarga lo di saat yang tepat. " Naira menyeka air mata yang berderai di pipi.
"Gue nggak tahu gimana cara ngebalas kebaikan kalian semua. Kalian terlalu baik untuk gue yang banyak kekurangan."
Telapak tangan Artha terulur ke depan, menyentuh rambut Naira yang diterbangkan angin sehingga menutupi wajah, lalu menyelipkannya di belakang telinga.
"Jadilah putri yang baik buat Mama dan Papa. Mereka sayang sama lo. Bahkan, mereka rela ngehukum gue kalau sampai nyakitin lo."
"Apa? Benarkah?" Naira bertanya sembari menahan tawa.
"Hem, begitulah! Jadi, lo jangan ngecewain mereka." Naira mengangguk.
Setiap kisah ada hikmahnya. Setiap ujian pasti ada tujuannya. Dan kini dia harus mencari tujuannya sendiri demi masa depan yang sudah
berada di depan mata.
Artha menilik jam tangan yang melingkar pada lengan kirinya. Sudah pukul sembilan malam, saatnya membawa Naira pulang. Sepertinya niat untuk membuat Naira tersenyum sudah berhasil.
Tiada yang sia-sia, bukan?
Artha sendiri tidak mengerti, melihat wajah kusut Naira membuatnya berpikir keras agar gadis
itu bisa ceria lagi. Sebegitu pedulinya dia dengan
Naira? Padahal sebelumnya dia adalah pria yang tak terlalu peduli dengan orang lain. Namun,
semenjak diperintahkan oleh kedua orang tuanya menjaga Naira, rasa empati itu hadir begitu saja
tanpa harus dipaksa.
"Ayo, sebaiknya kita pulang. Ini sudah malam."
Mengangguk, Naira pun turut beranjak dari sana, mengibaskan butiran pasir yang menempel pada pakaian.
Memasang sepatu yang sempat dilepaskan, keduanya kemudian pergi meninggalkan pantai
dengan kembali mengendarai motor Artha.
Posisi Naira masih sama seperti saat berangkat, memeluk Artha dengan meletakkan dagu di bahu lelaki itu. Naira sendiri mulai nyaman dengan kedekatannya bersama Artha. Walaupun sesungguhnya hubungan mereka harusnya lebih dari itu, tetapi Naira cukup menganggap Artha adalah teman yang baik, atau lebih dari sekadar
teman.
Hinga saat di tengah perjalanan, dari kejauhan seorang wanita terlihat diganggu oleh dua pria bertubuh besar. Jalanan cukup ramai, tetapi tak ada seorang pun yang rela berhenti untuk menolong perempuan itu.
Saat Artha nyaris melewatinya karena lelaki itu tak melihat kanan-kiri, Naira tiba-tiba menyuruhnya berhenti.
"Ta, stop! Gue lihat Kak Mesa," kata Naira seraya menatap terus ke belakang di mana perempuan yang sedang berada dalam bahaya itu berada.
Artha belum juga berhenti, membuat Naira
kembali bersuara.
"Dia dalam bahaya!" Saat itu juga Artha langsung mengerem mendadak.
"Mesa? Dalam bahaya?" tanya Artha mengulang kalimat Naira.
"Heem, di sana!"
Naira menunjuk ke belakang, di mana Mesa berada. Ada dua orang yang sedang mengganggunya. Entah ada masalah apa sehingga perempuan itu berhadapan dengan pria yang tampak terlihat seperti preman.
"Ta, gue tiba-tiba ngeri. Sebaiknya cari bantuan.
Jangan bertindak sendiri!"
Artha mengangguk.
"Lo yang nyari bantuan. Gue samperin Mesa dulu."
"Apa? “
Artha berjalan dengan setengah berlari. Sementara itu Naira panik sendiri. Takut jika terjadi sesuatu pada Artha dan Mesa. Tampaknya yang dihadapi adalah preman jalanan yang sering menggganggu ketentraman kota. Mengapa Mesa malam-malam begini keluyuran sendiri? Mana pakaiannya terlalu minim bagi seorang wanita. Bukankah itu sama saja dengan mengundang bahaya untuk diri sendiri?
Naira menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari seseorang untuk dimintai bantuan. Di sana, dia melihat Artha sedang berbincang dengan dua orang pria bertubuh besar, sementara Mesa
bersembunyi di belakangnya.
Sepertinya akan terjadi perkelahian. Mengapa tidak ada orang yang mau menolong? Apakah mereka semua sudah kehilangan empati terhadap orang-orang yang sedang kesulitan?
Naira sempat histeris kala melihat salah seorang dari preman itu mengeluarkan pisau lipat dari jaketnya. Tubuhnya gemetar, takut terjadi sesuatu pada Artha. Melihat ada mobil yang melintas
di kejauhan, dengan nekad Naira menghadangnya.
Suara keciut gesekan antara aspal dan roda
mobil terdengar nyaring. Naira memejamkan mata, berharap mobil itu tak sampai hati menabraknya.
"Hai, Nona, minggir! Jangan bunuh diri di sini!"
Terlihat pengendara mengeluarkan kepala di jendela. Naira meringis. Rupanya mobil itu berhenti tepat waktu. Bukannya menjauh, Naira mendekati pengemudi itu.
"Tolong, teman saya dalam bahaya!"
"Saya sedang buru-buru!"
"Tapi, Pak!"
Suara Naira tertahan saat melihat seseorang yang baru saja keluar dari pintu belakang mobil. Dia terkejut. Dunia nyatanya begitu sempit. Bagaimana dia bisa dipertemukan dengan pria itu lagi.
"Naira?" ucap pria itu saat pandangan mereka saling bertemu.