Nayanika memang tidak pandai mencari kekasih, tapi bukan berarti dia ingin dijodohkan.
Sialnya, kedua orangtuanya sudah merancang perjodohan untuk dirinya. Terpaksa Naya menikah dengan teman masa kecilnya itu, teman yang paling dia benci.
Setiap hari, ada saja perdebatan diantara mereka. Naya si pencari masalah dan Sagara si yang paling sabar.
⚠️NOTE: Cerita ini 100% FIKSI. Tolong bijaklah sebagai pembaca. Jangan sangkut pautkan cerita ini dengan kehidupan NYATA.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon widyaas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
"Jadi kamu udah gak kerja di sana lagi?"
"Iya, Nay Nay. Besok aku mau ikut mama papa ke Jerman."
Naya menghela nafas. Jadi, dia akan berpisah dengan Loli?
"Jangan cemberut gitu. Kan kita bisa telponan kaya sekarang."
"Gak bisa jajan bareng, Lol..." Naya merengek.
"Kan ada suami kamu tuh. Oh iya, kamu gak ada niatan bulan madu gitu? Nah, bulan madu ke Jerman aja, nanti kita ketemu!" Loli berseru riang.
"Buat apa bulan madu? Bintang madu ada gak?"
"Nay Nay! Orang serius ih!" Di seberang sana Loli cemberut. "Masa udah nikah gak bulan madu. Rugi dong! Kamu itu menantu keluarga Soedjodjo, yakali gak bulan madu."
"Malas. Mending rebahan di rumah, kaya gini," balas Naya. Dia mengangkat ponselnya tinggi-tinggi untuk memperlihatkan dirinya yang sedang rebahan pada Loli.
Loli memutar bola matanya malas. "Rebahan terus, kapan jadi adeknya?"
"Adek apasih?" kesal Naya.
"Adek ba—"
"Udah dulu. Aku mau makan."
Tut
Naya mematikan sambungan nya. Sudah dipastikan Loli sedang menggerutu di sana. Tapi, Naya tidak peduli. Yang penting dia tidak mendengar ocehan Loli mengenai adek bayi.
Jam menunjukkan pukul 9 malam. Sagara belum keluar dari ruang kerjanya. Naya mengantuk, tapi dia tidak bisa tidur kalau Sagara tidak memeluknya. Entah sejak kapan kebiasaan konyol ini terjadi.
Dengan langkah pelan dia menuju ruang kerja Sagara. Samar-samar Naya mendengar suaminya sedang bicara.
"Apa? Sejak kapan?"
"..."
"Tetap awasi. Saya akan menambah penjaga di rumah ini."
"..."
"Hm. Ingat, jangan sampai lalai."
"..."
Tut
"Mas?"
Sagara yang tadinya berdiri menghadap jendela, kini berbalik menatap Naya.
"Sejak kapan kamu di sana?" Sagara menghampiri Naya.
"Habis telponan sama siapa?" tanya Naya. Dia mengalungkan lengannya di leher sang suami saat pria itu menggendongnya ala koala.
"Orang."
Bibir Naya mencebik. "Ya iyalah orang, masa setan!"
Sagara terkekeh. "Kenapa belum tidur?" tanyanya. Dia mengajak Naya duduk di sofa masih dengan menggendongnya. Jadi Naya duduk di pangkuan Sagara.
"Nunggu kamu." Naya melirik ipad yang diambil Sagara.
Sagara mengangguk paham. "Sebentar lagi selesai. Sabar ya?"
"Kamu akhir-akhir ini sibuk banget. Ada masalah ya di kantor?" tanya Naya. Dia menatap wajah suaminya. Kalau dilihat-lihat, wajah Sagara terlihat lelah, matanya pun terlihat makin sendu.
Tak mengelak, Sagara pun mengangguk. "Sedikit," jawabnya.
"Ada yang bisa aku bantu?" tanya Naya lagi.
"Gak ada. Aku masih bisa ngurus masalah ini. Kamu gak perlu turun tangan. Lagi pula ada Alzio yang bisa aku andalkan." Sagara menangkup sisi wajah Naya dan mengelus alis Naya dengan lembut.
Naya cemberut. Padahal dia ingin membantu Sagara. Tapi, dia sendiri juga bingung ingin membantu apa? Bakatnya hanya tidur seharian.
"Kalau ada apa-apa bilang ke aku, ya?"
"Kenapa? Mau bantuin?"
Naya menyengir. "Aku biarin," jawabnya tanpa dosa.
Bukannya marah, Sagara malah tertawa kecil. Dia mematikan ipadnya dan kembali berdiri masih dengan menggendong Naya.
"Kita tidur sekarang."
Naya menyandarkan kepalanya di pundak Sagara, membiarkan sang suami menggendongnya ke kamar.
****
Sagara tidak tidur. Dia hanya memeluk Naya dan berusaha membuat istrinya tertidur dengan nyenyak. Dan saat Naya sudah benar-benar tidur, barulah Sagara beranjak menuju ruang kerjanya.
Ada seseorang yang berusaha membuat perusahaan keluarganya hancur, ya meskipun itu tidak akan pernah terjadi. Tapi, seseorang telah menyebarkan berita buruk tentang perusahaan keluarga Soedjodjo. Untuk itu Sagara tidak bisa tidur karena ingin menyelesaikan masalah ini. Karena jika tidak segera diselesaikan, maka masalah akan semakin runyam. Dia ingin membuktikan pada keluarganya kalau dirinya memang bisa diandalkan.
Jam menunjukkan pukul 12 malam. Sagara tak gentar sama sekali. Dia malah sengaja membuat kopi hitam tanpa gula untuk menemani lembur malam ini.
Drrtt drrtt...
Melihat nama Alzio di sana, Sagara langsung menjawab panggilan tersebut.
"Katakan."
"Saya baru mendapat laporan kalau dia sudah berada di kota ini, Pak. Tapi, dia belum ditemukan tinggal di bagian mana."
"Saya terima laporan kamu. Tetap pantau, kalau ada gerak-gerik mencurigakan, langsung kabari saya."
"Baik, Pak."
Setelah sambungan terputus, Sagara beralih mengirim pesan pada Guntur. Namun, sebuah nomor asing tiba-tiba menyita perhatiannya.
08666xxxxxxx: Lama tidak bertemu, Sagara Mahatma.
Tanpa mencari tau, Sagara sudah bisa menebak siapa pengirim pesan itu.
08666xxxxxxx: Istrimu cantik juga
Sagara mengeraskan rahangnya. Tak apa jika orang itu mengganggunya, tapi kalau sampai mengganggu Naya, dia tidak bisa diam begitu saja.
Namun, Sagara tidak membalas pesan tersebut. Dia segera mematikan ponselnya dan menemui Naya yang sudah tidur. Hatinya tidak bisa tenang kalau seperti ini. Dia harus benar-benar menjaga Naya dimanapun istrinya berada.
****
Semenjak mendapat pesan itu, Sagara selalu mengajak Naya ke kantor. Kalau Naya tidak mau, dia akan menitipkan Naya ke mansion Soedjodjo, di sana tentu penjagaannya lebih ketat.
Sedangkan Naya malah dibuat bingung dengan tingkah Sagara yang selalu berada di dekatnya. Mereka memang baru akur, tapi dia merasa aneh saat Sagara seperti ini.
"Siapkan ruang rapat. Kita adakan rapat dadakan hari ini," ucap Sagara pada Alzio.
"Baik, Pak."
Naya mendongak menatap Sagara yang menghampirinya.
"Kamu tunggu di sini, jangan kemanapun selama aku belum datang. Ngerti?" tegasnya.
Melihat tatapan sang suami, Naya pun memilih mengangguk.
"Tapi aku mau jajan di depan. Boleh?" tanya Naya. Dia berdiri dari duduknya.
Sagara terdiam. Meninggalkan Naya di dalam ruangannya sendiri saja Sagara ragu, apalagi membiarkan Naya keluar dari kantor.
"Mas ...," rengek Naya. Dia memegang kedua sisi pinggang Sagara. "Cuma jajan sebentar, aku pengen beli batagor. Habis itu aku langsung balik lagi kok. Ya ya ya?" bujuknya.
"Kalau gitu, kita beli sekarang," putus Sagara.
"Lah, katanya kamu mau rapat, gimana sih?"
Tok tok tok
"Nah, itu pasti Zio. Aku gak papa sendirian, masa ke depan doang harus ditemenin? Kaya anak kecil aja. Lagian di sana banyak orang juga, gak akan ada yang berani nyakitin aku." Naya mencebikkan bibirnya.
Melihat Sagara hanya diam saja, Naya jadi gemas sendiri.
"Sana ih! Kasian karyawan kamu pada nungguin!" Dengan sekuat tenaga, Naya mendorong tubuh Sagara hingga ke depan pintu.
"Ingat ..." Sagara berbalik. "Habis beli batagor langsung masuk lagi, ngerti?" Jari telunjuknya menoel hidung Naya.
"Iya iya!"
"Udah sana. Buka pintunya tuh!" imbuh Naya.
Sagara pun membuka pintu, dan benar saja, Alzio masih menunggu di sana.
"Semangat, Mas!" Naya tersenyum lebar sambil mengepalkan tangannya di udara.
Sagara tersenyum tipis dan mengangguk. Setelahnya dia pergi ke ruang rapat.
Melihat Sagara sudah keluar, Naya pun menyambar dompetnya dan juga ikut keluar dari ruangan itu. Dia sudah tak tahan ingin menikmati batagor.
Senyum Naya semakin merekah saat melihat gerobak batagor yang mangkal di seberang jalan. Segera dia menghampiri gerobak tersebut.
"Pak, batagor seporsi ya."
Naya menatap seorang pria di sampingnya, mereka menyebutkan pesanan secara bersamaan.
"Aku duluan! Kamu ngalah!" ujar Naya. Mana mau dia mengalah begitu saja.
Pria itu terkekeh kecil lalu mengangguk. "Silakan, Nona," ujarnya dengan ramah, dia memilih duduk di salah satu kursi yang ada di sana.
Karena lelah berdiri, Naya pun ikut duduk di sana juga.
"Boleh kenalan?"
"Gak!" Naya membuang muka.
Bukannya marah, pria itu malah terkekeh lagi.
Naya meliriknya dengan sinis. "Ketawa terus, kerasukan ya?"
Bukannya membalas, pria itu malah mengulurkan tangannya. Naya menatap bingung uluran tangan itu.
"Apa?" bingung Naya.
"Saya Felix."
Naya mengerut bingung. "Ya ... terus? Siapa yang nanya ya, Pak?"
Meski merasa malu, Felix tetap tertawa kecil lalu menarik tangannya kembali.
"Kamu satu-satunya perempuan yang menolak pesona saya," ujar Felix.
"Jelas! Saya udah punya suami soalnya!" balas Naya.
Felix mengangguk paham. Dia beranjak menuju penjual batagor tadi.
"Saya bayar keduanya, Pak," ucapnya seraya mengeluarkan selembar uang berwarna merah.
Naya melotot tak terima. Dia pun beranjak menghampiri. "Ngantri dong! Itu punya saya, enak aja mau kamu beli!"
Sepertinya gadis itu salah sangka.
"Saya bayarkan punya kamu." Felix menyerahkan batagor Naya yang sudah siap.
"H-hah?"
Naya menerimanya dengan bingung. "Kamu..."
"Anggap aja ini sebagai traktiran untuk awal pertemuan kita," sela Felix.
Tiba-tiba Naya tak enak hati. Padahal dia tadi sudah ketus dengan Felix.
"Nggak perlu. Aku bisa bayar sendiri. Ini, aku ganti ya? Berapa tadi?" Naya hendak membuka dompetnya, tapi Felix langsung mencegah.
"Nggak perlu diganti pakai uang. Kasih nomor ponsel kamu aja sebagai gantinya," balas Felix. "Saya gak akan aneh-aneh. Cuma mau berteman. Saya baru datang dari luar negeri setelah hampir lima tahun, jadi ... saya butuh teman di sini," jelas Felix.
"Tapi aku gak bawa hp," keluh Naya.
Felix menyodorkan ponselnya. "Ketik di sini."
Tanpa ragu Naya mengetikkan nomor hp nya di sana. Setelah selesai, dia menyerahkan nya pada Felix.
Felix membaca nama yang Naya simpan.
"Makasih traktirannya. Semoga rezekinya lancar terus!" ucap Naya sungguh-sungguh. "Kalau gitu aku duluan ya!" Dia melambaikan tangannya lalu berlari menyeberang jalan menuju kantor sang suami.
Felix tersenyum melihat tingkah Naya yang seperti anak kecil. "Terimakasih kembali, Nona Nayanika..."
bersambung...
Siapa tu woiii👀
Btw di bab 22 aku barusan revisi bagian tentang Radengga. Silakan baca ulang biar kalian ga bingung. Keluarga Soedjodjo tuh rumit, aku pusing sendiri😖😖