NovelToon NovelToon
Benih Yang Tak Terucap

Benih Yang Tak Terucap

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Nikah Kontrak
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: S. N. Aida

Empat tahun lalu, Aira Nadiya mengalami malam paling kacau dalam hidupnya—malam yang membuatnya kehilangan arah, tapi juga memberi dirinya sesuatu yang paling berharga: seorang anak laki-laki bernama Arvan.

Ia tidak pernah memperlihatkan siapa ayah anak itu. Tidak ada foto, tidak ada nama, tidak ada cerita. Satu-satunya petunjuk hanya potongan ingatan samar tentang pria misterius dengan suara rendah dan mata gelap yang menatapnya seolah ingin menelan seluruh dunia.

Aira mengira itu hanya masa lalu yang terkubur.

Sampai suatu hari, karena utang ayahnya, ia dipaksa menikah dengan Dion Arganata, CEO muda yang terkenal dingin dan tidak punya empati. Lelaki yang seluruh hidupnya diatur oleh bisnis dan warisan. Lelaki yang membenci kebohongan lebih dari apa pun.

Dan Aira bahkan tidak tahu…

Dion adalah pria dari malam itu.
Ayah dari anaknya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 22 — Kecemburuan Pertama

Dion tidak tahu berapa lama ia berdiri di tengah pecahan kaca di ruang kerjanya. Darah dari telapak tangannya menetes ke lantai, bercampur dengan remah-remah kristal, tetapi ia nyaris tidak merasakan sakit fisik itu. Rasa sakit emosional akibat pengkhianatan Aira jauh lebih menyakitkan.

​99,98% cocok.

​Angka itu berdengung di telinganya, mengalahkan semua logika. Arvan adalah putranya, benihnya, darahnya. Dan Aira, wanita yang ia bayar, wanita yang ia hukum, wanita yang ia klaim sebagai miliknya, telah menyembunyikan kebenaran ini selama empat tahun. Kemarahan Dion melampaui batas, menuntut pembalasan.

​Ia membersihkan tangannya dengan cepat dan membalutnya dengan saputangan sutra. Matanya, kini merah dan dingin, menatap lurus ke pintu. Dia tidak akan menunggu. Dia akan mencari Aira sekarang juga, di mana pun dia berada, dan menuntut setiap kebohongan yang telah ia ciptakan.

​Dion mengambil ponselnya. “Kai. Cari tahu di mana Aira. Sekarang.”

​Hanya butuh tiga menit bagi Kai untuk menjawab. “Nyonya Aira berada di luar kompleks, Tuan. Ia bertemu dengan seseorang di sebuah kafe dekat Jalan Sudirman.”

​Kafe? Bertemu dengan seseorang?

​Kemarahan Dion yang semula terfokus pada pengkhianatan empat tahun tiba-tiba bergeser, bercampur dengan racun baru yang dingin: kecemburuan.

​Setelah semua janji di desa, setelah semua pengakuan diam-diam yang ia dengar, Aira pergi ke luar tanpa memberitahunya, bertemu seseorang di tempat tersembunyi. Siapa? Kakak sepupu yang ia sebutkan saat di desa? Atau, jangan-jangan… pria lain?

​Dion keluar dari penthouse dengan langkah cepat dan mematikan. Ia tidak lagi memikirkan tes DNA, ia hanya memikirkan satu hal: kepemilikan. Aira miliknya. Dia adalah istri kontraknya, Ibu dari putranya. Tidak ada pria lain yang boleh mendekatinya.

​Hanya dalam beberapa menit, Dion tiba di lokasi yang dilaporkan Kai. Mobilnya diparkir agak jauh, memberinya sudut pandang yang jelas ke kafe teras yang sepi.

​Di sana, ia melihat Aira.

​Aira mengenakan kemeja katun sederhana, rambutnya diikat longgar, dan ia terlihat berbeda dari Nyonya Arganata yang selalu tegang. Dia tampak santai, hampir ceria.

​Di hadapan Aira, duduk seorang pria. Pria itu memiliki perawakan yang sederhana, khas orang desa, dengan senyum ramah dan mata yang teduh. Pria itu tampak familiar—Dion samar-samar mengingatnya dari desa, mungkin salah satu kerabat yang disebut Aira.

​Dion memperhatikan interaksi mereka. Pria itu berbicara, Aira tertawa pelan. Tawa yang tulus, tawa yang tidak pernah Dion dengar sejak mereka bertemu kembali. Tawa yang seharusnya menjadi miliknya.

​Tiba-tiba, pria itu mengulurkan tangan. Ia menyentuh lengan Aira dengan keakraban yang terlalu akrab, dan Aira tidak menariknya. Sebaliknya, Aira menatap pria itu dengan tatapan mata yang penuh rasa terima kasih dan kehangatan.

​Itu sudah cukup.

​Dion merasakan darahnya mendidih. Kelembutan yang baru ia rasakan, janji yang ia buat di desa, semuanya hancur berkeping-keping. Pria ini, kerabat ini, dia melihat versi Aira yang ia rindukan, sementara Dion hanya mendapat Nyonya Arganata yang dingin dan penuh kebencian.

​Dion keluar dari mobil. Dia tidak berjalan, dia menyerang.

​Pria di kafe itu baru saja bangkit untuk pergi. Aira juga berdiri, memberikan pelukan singkat kepada pria itu—pelukan yang tulus, persahabatan, atau sesuatu yang lebih intim, Dion tidak mau tahu.

​Tepat saat pria itu berbalik, Dion menerjang.

​“Aira!” Suara Dion menggelegar, dingin dan mengandung ancaman.

​Aira tersentak, wajahnya langsung pucat. Ia menoleh, melihat Dion yang berdiri di sana, dengan wajah yang mengerikan dan tangan terbalut kain yang berlumuran darah tipis.

​Pria itu berbalik. “Tuan? Ada apa?”

​Dion tidak melihat pria itu. Matanya hanya tertuju pada Aira. Ia meraih lengan Aira dengan kuat, cengkeramannya nyaris menyakitkan.

​“Ikut aku. Sekarang,” perintah Dion, menyeret Aira menuju mobil tanpa menunggu jawaban.

​“Lepaskan saya, Dion! Ini sakit!” seru Aira, mencoba menarik diri, terkejut dan malu.

​Pria itu, yang kini menyadari situasinya, maju. “Tunggu! Anda siapa? Kenapa Anda menyentuh sepupu saya?”

​Dion menoleh ke pria itu, tatapannya membeku dan mematikan. “Aku suaminya. Dan dia adalah urusanku. Jangan ikut campur jika kau tidak ingin Arganata menghapus semua yang kau miliki.”

​Ancaman itu berhasil. Pria itu tertegun, mundur selangkah.

​Dion menarik Aira, mendorongnya dengan kasar ke kursi belakang mobil, dan mengikutinya masuk, membanting pintu.

​Di dalam mobil yang gelap, Kai segera menyalakan mesin dan melaju menjauh. Atmosfer di kursi belakang terasa seperti berada di ruang hampa, siap meledak.

​“Siapa dia?” tuntut Dion, suaranya rendah dan berbahaya. Dia tidak berteriak, tetapi kekuatan di balik kata-katanya membuat Aira gemetar.

​“Dia… dia kakak sepupu saya. Dia membantu mengurus beberapa dokumen utang Ayah saya,” jawab Aira, suaranya tercekat.

​“Kakak sepupu?” Dion menyeringai, senyum yang brutal. “Kakak sepupu yang kau peluk di tempat umum? Kakak sepupu yang kau berikan tawa yang tidak pernah kudapatkan, bahkan setelah aku berjanji padamu?”

​Dion menggeser tubuhnya, mengunci Aira di antara dirinya dan pintu mobil. Wajahnya mendekat, matanya membara penuh kecemburuan. Rasa posesifnya yang didorong oleh konfirmasi DNA kini bercampur dengan amarahnya.

​“Kau milikku, Aira,” desis Dion. “Kau adalah istri kontrakku, Ibu dari putraku. Kau tidak punya hak untuk membagi kehangatanmu dengan pria lain. Apalagi di belakangku.”

​Aira merasakan jantungnya berdebar kencang. Kedekatan ini mematikan. Aroma kulit, parfum maskulin yang familiar, dan kemarahan Dion yang panas.

​“Kami hanya membicarakan utang!” balas Aira, mencoba mendorong Dion, tetapi cengkeraman Dion pada lengannya terlalu kuat.

​“Utang apa yang memerlukan sentuhan, Aira?” Dion membentak, napasnya panas menyentuh bibir Aira.

​Dion mengulurkan tangan, meraih dagu Aira, memaksa Aira menatap matanya. Matanya dipenuhi campuran amarah, kepemilikan yang murni, dan hasrat yang tak tertahankan.

​Wajah Dion semakin dekat. Aira bisa merasakan panas tubuhnya, gairah yang tersembunyi di balik amarahnya. Ciuman itu akan datang. Ciuman yang akan menghapus semua janji di desa, ciuman yang akan menjadi hukuman terburuk.

​Aira memejamkan mata, membiarkan air mata mengalir deras. Dia tidak melawan lagi.

​“Silakan,” bisik Aira, suaranya pecah karena putus asa. “Hukum saya, Tuan Arganata. Lupakan semua yang Anda janjikan di desa. Lupakan bahwa Anda akan mencoba mengerti. Lupakan bahwa saya adalah manusia. Lupakan bahwa saya adalah wanita yang memikul semua beban utang dan kebohongan ini sendirian. Silakan. Cium saya dengan amarah, seperti yang selalu Anda lakukan.”

​Aira menangis, bukan karena rasa takut pada Dion, tetapi karena kekecewaannya. Dion telah kembali menjadi monster yang tidak percaya padanya, yang tidak melihat beban di punggungnya.

​Air mata itu, yang tulus dan penuh keputusasaan, menyentuh pipi Dion.

​Dion membeku. Ia menahan napas, bibirnya hanya tinggal satu inci dari bibir Aira. Kemarahannya yang panas tiba-tiba menjadi dingin. Air mata Aira adalah pengingat yang menyakitkan: ia telah kembali menjadi tiran.

​Dion melepaskan dagu Aira dan mundur perlahan. Ia melihat Aira yang terisak, tubuhnya gemetar karena kelelahan emosional.

​“Dion… Anda tidak mengerti,” isak Aira. “Saya kembali untuk menyelesaikan utang itu. Saya tidak ingin kebohongan ini lagi. Saya ingin bersih di depan Anda, di depan Arvan. Saya ingin uang itu selesai agar Anda tidak punya alasan untuk menyentuh saya dengan paksaan lagi. Saya melakukan ini… demi kita.”

​Penjelasan itu, ditambah dengan air mata yang tulus, menampar Dion. Ia menyadari betapa piciknya kecemburuannya. Aira berusaha membebaskan dirinya dari beban utang agar kontrak itu tidak lagi menjadi rantai, dan Dion menyalahpahami upaya itu sebagai pengkhianatan.

​Dion menoleh, menyandarkan kepalanya ke kursi mobil, merasakan tangannya yang berdarah dan panas.

​“Aku minta maaf,” kata Dion, suaranya nyaris tak terdengar. Permintaan maaf itu sangat asing baginya.

​Aira tidak menjawab, hanya terus terisak.

​Dion tahu, kecemburuan butanya yang tercampur dengan shock DNA telah merusak jembatan rapuh yang mereka bangun di desa. Dion kini harus menebus bukan hanya empat tahun kebohongan, tetapi juga satu jam kecemburuan brutal ini.

1
Elkss
bagus kak ceritanya
semoga cepet up lagi
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!