Lina adalah pewaris kekuatan supranatural Dorong & Tarik yang hebat, sebuah energi kinetik yang hanya mengalir di garis keturunan perempuan keluarganya. Jika Lina fokus, ia bisa memindahkan truk. Tapi karena ia ceroboh, ia lebih sering menghancurkan perabotan rumah, membuat Ayah dan adiknya, Rio, selalu waspada.
Kekuatan yang harus ia sembunyikan itu, ia gunakan secara terlalu ikhlas untuk membantu seorang kakek mendorong gerobak rongsokan, yang menyebabkannya melesat kencang di jalanan.
Insiden konyol ini ternyata disaksikan oleh CEO Aris, seorang pebisnis jenius nan tampan yang sedang diburu musuh misterius. Aris langsung terobsesi dan merekrut, apa yang terjadi di kehidupan lina Bersiaplah mengikuti drama komedi supranatural ini.lerstgooo
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adrina salsabila Alkhadafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1: Kekuatan yang Terlalu Ikhlas
Bagi orang luar, keluarga Lina tampak normal—sedikit lebih berisik, mungkin. Tapi bagi mereka yang tinggal di bawah atap itu, kehidupan adalah medan perang yang dimediasi oleh energi kinetik tak terlihat.
“Ibu! Aku sudah bilang jangan gunakan Dorong & Tarik untuk mengambil garam di rak paling atas! Sekarang lada bubuknya menempel di langit-langit!”
Teriakan pasrah itu datang dari Ayah, yang saat itu sedang mencoba memperbaiki gorden yang baru seminggu dipasang. Kejadian biasa di rumah ini: barang-barang melayang, pintu bergeser dari engsel, dan remote TV yang entah kenapa selalu berakhir di dalam vas bunga.
Lina (20 tahun), si pemilik kekuatan yang dipertanyakan itu, hanya bisa cekikikan dari balik tabletnya. Ia sedang merencanakan vlog resep mi instan pedas, pekerjaan yang jauh lebih tenang daripada pekerjaan pewaris kekuatan supranatural.
“Garam itu terlalu jauh, Ayah! Hanya butuh sedikit Aura Kinetik untuk membantuku,” Ibu (40-an, cantik, dan sangat dominan) membela diri dari dapur. Ibu adalah yang paling anggun dalam menggunakan kekuatan ini. Ia bisa menarik benang dari jarum tanpa menyentuhnya.
Masalahnya, kemampuan anggun itu tidak menurun pada Lina.
Lina punya kekuatan setingkat dewa, tetapi kendalinya setingkat anak TK yang baru belajar memegang krayon.
“Nenek! Lihat ini!”
Rio (17 tahun), adik laki-laki Lina yang kurus dan loyalis tak berdaya, tiba-tiba masuk ke ruang tamu. Ia memegang sapu lidi di satu tangan dan panci sup di tangan lainnya.
“Kalian para wanita harus berhati-hati! Aku merasakan fluktuasi energi negatif di luar!” Rio berteriak dengan suara yang pecah karena pubertas, matanya berapi-api.
Nenek (60-an, matriark keluarga, selalu memakai sanggul), yang sedang mencoba melayang-layangkan cangkir tehnya dengan anggun, hanya menghela napas. “Itu bukan energi negatif, Rio. Itu hanya Lina yang mencoba menggunakan kekuatannya untuk mengambil keripik kentang dari toples di meja.”
Rio menoleh ke Lina, yang langsung menyembunyikan toples keripik yang melayang di tangannya ke belakang punggung.
“Lina! Kami sudah sepakat, tidak ada penyalahgunaan kekuatan untuk snack!” Rio menegur.
“Aku cuma latihan push and pull ringan, Rio,” Lina membela diri. “Kau kan tidak tahu betapa susahnya mencoba mendorong toples keripik tanpa membuatnya meledak.”
Ayah, yang akhirnya berhasil memperbaiki gorden, duduk di sofa dengan lelah. “Sudahlah. Kalian para wanita selalu punya argumen aneh soal ‘etika kinetik’ dan ‘pengendalian dorongan’. Yang Ayah tahu, bulan ini kita harus membeli blender baru karena blender lama ‘tertarik’ ke atap saat Nenek mencari kunci mobil.”
Lina tertawa. Inilah keluarganya. Keluarga yang punya kekuatan super, tetapi hidup dalam kekacauan sehari-hari yang sangat normal. Keluarga yang harus berhati-hati agar kekuatan mereka tidak membuat Ayah stres dan Rio terus-terusan berlagak heroik dengan perkakas dapur.
Lina memutuskan ia butuh udara segar. Selain untuk membeli bahan-bahan vlog resep barunya (ia ingin sekali mencapai 1000 subscriber), ia juga perlu menghindari ceramah Nenek tentang ‘prinsip gaya dorong yang bertanggung jawab’.
Lina keluar rumah dengan hoodie kebesaran dan earphone terpasang, siap menenggelamkan diri dalam lagu-lagu K-Pop.
Di Jalan Anggrek—jalanan kecil yang selalu ramai—Lina melihat pemandangan yang menyentuh hati.
Seorang kakek tua, yang wajahnya sudah dipenuhi kerutan lelah, sedang mendorong sebuah gerobak kayu. Gerobak itu... Astaga. Gerobak itu setinggi dua kali lipat tubuh si Kakek, berisi tumpukan kardus yang tidak stabil, botol plastik bekas, dan besi-besi rongsokan yang berat.
Mereka sedang berada di tanjakan kecil, tanjakan yang sebenarnya tidak berarti bagi orang normal, tetapi bagi Kakek itu, tanjakan itu adalah Gunung Everest. Kakek itu terhuyung, gerobak itu bergetar, dan terdengar bunyi krek seolah-olah rodanya akan patah.
Lina berhenti. Hatinya langsung tergerak. Ia teringat Ayah yang selalu mengajarkannya untuk membantu orang tua.
Tapi aku tidak boleh menyentuh. Tidak boleh.
Lina melihat sekeliling. Jalanan agak sepi. Hanya ada mobil mewah hitam yang berhenti di kejauhan, mungkin pengemudinya sedang menerima telepon. Selain itu, hanya ada burung dan seekor kucing oranye yang terkenal malas di kompleks ini.
“Oke, Lina. Ingat ceramah Nenek. Sedikit Dorong & Tarik. Hanya untuk membantu roda itu berputar,” bisik Lina pada dirinya sendiri.
Ia melangkah ke belakang gerobak. Jarak antara tangannya dan kayu gerobak sekitar dua puluh sentimeter. Lina memejamkan mata, mengumpulkan fokusnya. Ia membayangkan energinya sebagai bantal udara yang lembut, hanya untuk memberikan sedikit momentum.
“Satu… dua… DORONG!”
Tentu saja, Lina melanggar semua aturan kinetik yang pernah diajarkan Nenek.
Alih-alih bantal udara lembut, Lina melepaskan sebuah ledakan energi kinetik terpusat. Itu bukan dorongan. Itu adalah tendangan super tak terlihat.
WHUUUSSHHH! DUARRR!
Truk tiga ton itu tidak terdorong perlahan. Truk itu melompat ke depan sejauh lima meter, meninggalkan bekas ban hangus di lantai, dan kemudian menabrak tembok busa di ujung parkiran. Tembok busa itu penyok total.
Kakek yang malang, yang sudah putus asa, tiba-tiba merasa gerobaknya menjadi ringan seperti bulu. Ia terkejut, panik, dan terhuyung-huyung ke depan mengikuti laju gerobak yang melesat kencang. Ia terlihat seperti peselancar yang baru belajar surfing di daratan.
"Yaaa ampuun! Setan mana yang mendorong gerobakku?!" teriak Kakek itu, suaranya melengking.
Gerobak itu akhirnya berhenti dengan bunyi DUGH yang keras di depan sebuah kios roti, membuat beberapa loyang roti jatuh ke lantai.
Lina, melihat kekacauan yang mengerikan itu, langsung panik. Ia mundur dua langkah dan segera bersembunyi di balik tiang lampu jalan, jantungnya berdegup seperti genderang perang.
Kenapa aku selalu kelebihan dosis?! Itu bukan dorongan lembut! Itu adalah pukulan Hulk!
Kakek itu berbalik, mengamati area sekelilingnya dengan bingung. Ia menggosok matanya yang tua. Ia melihat sekeliling: jalanan kosong, hanya ada kucing oranye yang menatapnya dengan pandangan malas. Kakek itu menggelengkan kepala. “Aku harus mengurangi minum obat flu,” gumamnya, dan mulai sibuk membereskan kardus-kardus yang agak miring.
Lina memanfaatkan momen itu. Ia berlari secepat kilat, meninggalkan tempat kejadian. Ia berlari sampai ke kompleks sebelah.
Tepat saat ia menghilang, di dalam mobil mewah hitam yang tadi terparkir di ujung tanjakan, CEO Aris menurunkan kaca jendela dengan senyum misterius. Ia tidak sedang menelepon. Ia baru saja menyaksikan seluruh adegan itu.
“Dorongan yang hebat. Aku tidak salah duga,” gumam Aris, matanya bersinar penuh intrik. Ia mengambil ponsel dan mendiktekan sesuatu pada asistennya. “Aku butuh nama dan alamat gadis dengan hoodie kuning yang baru saja menerbangkan gerobak Kakek di Jalan Anggrek. Sekarang juga.”
Lina tidak tahu, bahwa kecerobohan kinetiknya di tanjakan kecil itu, baru saja menariknya keluar dari dunia food vlogger dan langsung menjebloskannya ke dalam konflik CEO tampan, ancaman berbahaya, dan romansa yang kacau balau.