NovelToon NovelToon
Bukan Darahku, Tapi Jantungku: Anakku, Anak Mantan Suamiku?

Bukan Darahku, Tapi Jantungku: Anakku, Anak Mantan Suamiku?

Status: sedang berlangsung
Genre:Keluarga / Romansa / Konflik etika
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: Bangjoe

Mungkinkah cinta seorang ibu bisa runtuh oleh kebenaran genetik? Raya membesarkan putranya, Langit, dengan seluruh cinta dan jiwanya. Namun, sebuah tes medis tak terduga mengungkap fakta mengejutkan: Langit bukan darah dagingnya. Lebih mengerikan, DNA Langit justru mengarah pada masa lalu kelam Raya, terhubung dengan mantan suaminya yang dulu menyakitinya. Haruskah Raya mengungkap kebenaran yang bisa menghancurkan keluarganya, atau menyimpan rahasia demi menjaga 'anaknya'?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bangjoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Jerat yang Mengencang

Raya menatap pantulan dirinya di cermin, bayangan gelap melingkari matanya yang sembap. Semalam adalah siksaan. Pikiran tentang Damar, tentang semua rahasia yang ia pikul, terus berputar-putar seperti remahan kaca di hatinya. Perasaan diintai itu semakin kuat, mencekiknya. Seolah Damar adalah udara dingin yang menyelinap masuk lewat setiap celah yang terbuka, mengingatkan Raya bahwa ia tidak pernah benar-benar sendiri. Ada mata yang mengawasi. Ada tangan yang siap menariknya jatuh.

“Mama?” Suara Langit yang serak, masih setengah mengantuk, memecah keheningan yang menyiksa itu. Raya sontak berbalik, senyum palsu langsung terukir di bibirnya. Senyum yang selalu ia kenakan setiap kali ada luka menganga di dadanya.

“Sayang? Kenapa sudah bangun?” Raya mendekat, membelai rambut Langit yang lembut. Hatinya mencelos. Anak ini. Anak yang bukan darahnya, tapi sudah menjadi seluruh jiwanya. Bagaimana ia bisa membayangkan hidup tanpa pelukan ini? Tanpa tawa ini?

“Haus,” jawab Langit, mengusap matanya. Raya menggendongnya, merasakan kehangatan tubuh mungil itu membanjiri relung jiwanya yang hampa. Di dapur, ia membuat susu cokelat hangat untuk Langit, mencoba menciptakan ilusi normalitas di tengah badai yang mengamuk di dalam dirinya. Langit duduk di pangkuannya, menyeruput susunya perlahan, matanya yang polos menatap Raya. Mata itu. Raya merasa seperti melihat Damar di sana, dan itu melukai hatinya lebih dalam dari yang bisa ia bayangkan.

Arlan keluar dari kamar mandi, handuk melilit pinggangnya. Matanya yang tajam menatap Raya dengan selidik. Belakangan ini, tatapan itu terasa seperti pisau yang mengiris, bukan lagi kehangatan yang memeluk. Raya tahu Arlan merasa ada yang tidak beres.

“Raya, kau baik-baik saja?” Arlan bertanya, suaranya lembut, namun ada nada khawatir yang jelas. “Kau terlihat... lelah. Atau lebih dari itu.”

“Aku baik-baik saja, Mas. Mungkin cuma kurang tidur saja,” Raya menjawab, berusaha terdengar setenang mungkin. Tangannya gemetar saat memegangi cangkir susu Langit.

Arlan duduk di sampingnya, mengulurkan tangan untuk menggenggam tangan Raya. “Tanganmu dingin. Kamu akhir-akhir ini sering melamun. Ada sesuatu yang mengganggumu?”

Raya menarik tangannya perlahan. “Tidak ada, Mas. Sungguh. Mungkin hanya stres pekerjaan dan mengurus Langit.”

Arlan menatap Langit sejenak, lalu kembali menatap Raya. “Aku suamimu, Raya. Aku tahu saat ada yang tidak beres. Kau semakin jauh akhir-akhir ini. Ada tembok yang kamu bangun di antara kita.”

Jantung Raya berdebar kencang. Ia ingin jujur. Ia ingin menjeritkan semua kebenaran yang membebaninya. Tapi bagaimana? Bagaimana ia bisa menghancurkan kebahagiaan Arlan dengan kenyataan bahwa anak yang mereka cintai mungkin adalah hasil kecurangan, anak mantan suaminya? Bagaimana dengan Langit? Ketakutan akan kehilangan Langit, akan menyakiti Arlan, mengunci semua kata di tenggorokannya.

“Tidak ada tembok, Mas. Aku hanya...” Raya menghela napas, mencari alasan yang paling masuk akal. “Hanya ada banyak pikiran. Langit masih butuh perhatian ekstra kan?”

Arlan tidak terlihat yakin. Dia hanya mengangguk pelan, tapi sorot matanya masih penuh tanda tanya. Pagi itu terasa begitu panjang dan penuh ketegangan. Sepanjang hari, Raya merasa diawasi, bukan hanya oleh Damar, tetapi juga oleh Arlan. Perasaan terpojok itu membuatnya hampir gila.

Di kantor, ia mencoba mencari celah untuk menghubungi rumah sakit yang pernah ia kunjungi bersama Damar bertahun-tahun lalu, saat mereka merencanakan IVF. Ia berpura-pura mencari dokumen lama, tetapi yang ia inginkan adalah informasi. Informasi apa pun yang bisa menjelaskan kekacauan ini. Namun, setiap pintu seolah tertutup rapat.

“Maaf, Bu Raya. Dokumen lama seperti itu sudah diarsipkan dan tidak bisa diakses sembarangan,” kata seorang staf rumah sakit dengan ramah, namun tegas, melalui telepon. “Apalagi ini sudah lebih dari lima tahun. Apa ada masalah kesehatan yang mendesak?”

“Tidak, tidak. Hanya penasaran saja,” Raya berbohong, merasakan keringat dingin membasahi pelipisnya. Mereka tidak akan memberinya apa-apa. Ini terlalu sensitif. Ini pasti sudah diatur.

Malam harinya, setelah Langit tertidur, Raya mencoba mencari tahu lagi secara online. Ia menemukan beberapa forum tentang kasus penyalahgunaan teknologi reproduksi, tentang donor sperma yang tidak sesuai, tentang kekeliruan prosedur. Semakin ia membaca, semakin ia merasa sesak. Apakah Damar sejahat itu? Mungkinkah dia merencanakan ini semua?

Ia melihat ponselnya menyala, sebuah pesan dari nomor tak dikenal. Jantungnya melompat. Dengan tangan gemetar, ia membuka pesan itu. Sebuah foto. Foto Langit, sedang bermain di taman kompleks sore tadi. Ada caption singkat di bawahnya:

*”Dia tumbuh begitu tampan, bukan?”*

Raya terkesiap, menjatuhkan ponselnya ke lantai. Itu Damar. Jelas sekali itu Damar. Dia mengawasi mereka. Dia ada di sekitar sini. Dia tahu segalanya. Ketakutan itu mencengkeramnya begitu kuat hingga ia sulit bernapas. Keringat dingin membanjiri tubuhnya. Ini bukan lagi sekadar firasat. Ini adalah ancaman nyata.

Arlan masuk ke ruang keluarga, melihat Raya duduk membeku, ponselnya tergeletak di lantai. “Raya? Kenapa?”

Raya mencoba mengulurkan tangan untuk mengambil ponselnya, namun Arlan lebih dulu meraihnya. Matanya langsung tertuju pada foto dan pesan itu. Ekspresi wajah Arlan berubah drastis. Dari khawatir, menjadi bingung, lalu kemarahan yang membara.

“Siapa ini, Raya?” Suara Arlan dalam, menahan amarah yang siap meledak. Matanya menatap Raya, tajam, menuntut jawaban. “Siapa yang mengirimimu foto Langit? Dan apa maksudnya ‘Dia tumbuh begitu tampan, bukan?’ Siapa yang berani-beraninya mengawasiku dan anakku?”

Raya tidak bisa bicara. Lidahnya kelu. Ia hanya bisa menatap Arlan dengan ketakutan yang luar biasa. Ia tahu saat ini, ia sudah tidak bisa lari lagi. Semua rahasia yang ia coba sembunyikan, semua kebohongan yang ia bangun, sebentar lagi akan runtuh. Dan ia sama sekali tidak siap untuk menghadapi kehancuran yang akan terjadi.

“Raya,” Arlan mengulang, suaranya kini dingin seperti es. “Jawab aku.”

Jantung Raya berdebar kencang, dentumannya memekakkan telinga. Ia merasa terpojok, terperangkap, dan tidak ada jalan keluar. Arlan memegang ponsel itu seperti sebuah bukti kejahatan, dan tatapan matanya mengatakan bahwa ia akan mencari tahu kebenarannya, tidak peduli seberapa menyakitkan itu. Badai sudah tiba. Dan kali ini, Raya tahu, ia tidak bisa bersembunyi. Ia harus menghadapi itu semua, atau kehilangan segalanya.

1
Yaya Mardiana
bingung dengan cerita nya selalu berulang ulang
Bang joe: part mananya mulai kak ?
total 2 replies
Nana Colen
timititi maca nepi ka episode ieu satu kata lier
Nana Colen: asa begitu banyak kata kata atau kalimat yg di ulang ulang dan muter muter jd bukannya semangat bacanya malah jadi puyeng 🙏
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!