NovelToon NovelToon
Keluargamu Toxic, Mas!

Keluargamu Toxic, Mas!

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Cinta Lansia
Popularitas:992
Nilai: 5
Nama Author: Dian Herliana

Annisa jatuh cinta pada Iman, seorang montir mobil di bengkel langganan keluarganya.
Sang Papa menolak, Nisa membangkang demi cinta. Apakah kemiskinan akan membuatnya sadar? atau Nisa akan tetap cinta?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dian Herliana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 24

Kita lupakan dulu masa lalu Iman dan Nisa. Masa yang tidak terlalu lama sebenarnya. Hanya hitungan tahun saja.

'Mamaaah! Kartu ulangan Doni ditahan, Mah. Mamah belum bayar uang bangunan, ya? Doni nggak boleh ikut ulangan!' chat Doni pada Nisa. Doni sepertinya panik. Dan kepanikan itu menular pada Nisa.

'Iya, Nang. Maafin Mamah, ya?'

'Sekarang suruh bayar, Mah. Setengahnya dulu juga nggak papa.' airmata Nisa meluncur turun.

'Mamah belum ada uangnya, Nang. Bagaimana ini?'

'Gimana dong, Mah?'

'Mamah pinjem sama pinjol dulu, ya? Tapi ya nggak bisa sekarang bayarannya.'

'Jangan coba - coba pinjem sama pinjol, Mah. Mamah jangan gitu, dong.' Meskipun bungsu, jalan pikiran Doni itu jauh lebih dewasa dari usianya. Hanya kadang ia terlihat ingin bermanja - manja, seperti ingin tidur bersama sang Mama saat Papahnya menginap di luar kota.

'Habisnya Mamah mau kemana lagi, Nang? Itu jalan satu - satunya.'

'Aduh, Mamah. Jangan gitu, dong. Jangan bikin Doni jadi stress!' hp Doni langsung tidak aktif. Beberapa chat yang Nisa kirim hanya ceklis 1.

Nisa menarik nafas sepanjang panjangnya. Lagi - lagi kebutuhan sekolah Doni tidak mampu ia penuhi.

'Bagaimana ini?' keluh hatinya sedih.

Saat Iman pulang, ia mengutarakan hal itu. Tapi apa reaksi Iman?

"Papah dapet duit darimana?" lagi - lagi.

'Ya cari, dong?! Papah laki - laki bukan, sih?! Usaha gimana, kek!' tapi itu hanya mampu Nisa teriakkan di dalam hati.

"Terus gimana, Pah?" ucap Nisa sedih. Hatinya sakit melihat Iman mengangkat bahunya seperti tak perduli.

"Kalau ada juga Papah kasih! Kalau nggak ada mau diiris kulit Papah juga, itu duit nggak akan ada!" Bagaimana kalau ia sudah mengatakan itu?

Tidak ada jalan keluar yang dapat Iman berikan, lalu darimana lagi Nisa harus meminta?

Nisa menunggu Doni pulang dengan cemas. Apa yang terjadi pada anak bungsunya itu. Apa Dia dapat mengikuti ulangannya, atau tidak.

Doni akhirnya pulang. Tapi ia tidak terlihat cemas. Ia malah bertanya :

"Makan apa, Mah?"

"Lihat dong di meja adanya apa."

Setelah mengganti seragamnya dengan kaos dan celana pendek, Doni mulai menikmati makan siangnya. Nisa bersyukur, semua anaknya sejak kecil tidak pernah rewel. Mereka akan memakan apapun yang Nisa sediakan.

Nisa menunggu dengan sabar sampai Doni selesai makan.

"Bagaimana, Nang?" Doni sudah duduk di depan monitornya saat Nisa bertanya.

"Bagaimana apanya?"

'Anak ini!' dumel hati Nisa geregetan. Ia bersikap seperti tidak pernah ada masalah.

"Doni, bagaimana tadi di sekolah? Kamu masih bisa ikut ulangannya, 'kan?"

Doni mengangguk. Ia langsung asyik dengan gamenya, tanpa ingin menjelaskan apa - apa.

"Doni! Cerita ke Mamah, dong!" Nisa menarik headset yang menempel di telinga Doni.

"Apa sih, Mah?" pandangan Doni beralih.

"Bagaimana yang tadi? Kenapa akhirnya Kamu boleh ikut ulangan?"

"Ooh.." Doni seperti baru mengingatnya.

"Banyak orangtua yang dateng, Mah. Mereka protes. 'Bukan begini perjanjian awalnya!' Begitu kata mereka, Mah."

Nisa menghela nafas. Saat rapat orangtua murid waktu itu memang tidak ditekankan berapa nominal yang harus dibayar. Juga tidak dibatasi jangka waktunya. Lalu kenapa tiba - tiba mereka menagihnya?

"Itu karena Kepala Sekolahnya ganti, Mah. Yang sekarang pernah kena kasus dulunya."

"Kasus gimana maksud Kamu? Kena kasus kok masih bisa jadi Kepala Sekolah Kamu?"

"Ya masalah duit begitu. Katanya sebenarnya nggak boleh ada pungutan seperti itu. Sama pak Ganjar aja di larang. Suruh lapor di mana sekolah yang masih mengambil pungutan uang seperti itu" Nisa tersenyum melihat Doni begitu bersemangat saat membicarakan pak Ganjar, Gubernur Jawa Tengah yang fenomenal itu.

'Anak muda.' gumam hati Nisa.

Nisa menghela nafas lega. Untuk sementara, masalah ini dapat ditunda penyelesaiannya.

'Tapi bagaimana caranya untuk mendapatkan uang itu?' Nisa merasa hatinya berdenyut perih.

********

'Mama, Nisa boleh nggak minta uang?' chat Nisa pada mama Wida.

Chat tidak langsung dibalas, meski sudah ceklis 2. Memang belum berubah menjadi biru.

Nisa langsung menghapus pesannya itu. Sejatinya Ia tidak ingin menambah beban pikiran Mama Wida, tapi saat ini hatinya sedang kalut. Ia tidak dapat memikirkan jalan lain selain -lagi - lagi- meminta tolong pada sang Mama.

"Nanti aja, deh. Kalau benar - benar nggak bisa kemana - mana lagi." putus Nisa.

Pemancingan masih menghasilkan meskipun sangat sedikit. Sejak banjir 2 tahun yang lalu, galatama Lele di ganti dengan pemancingan harian ikan mas oleh Iman.

"Kenapa nggak Lele lagi, Pah?" protes Deni. "Beli ikan lelenya pakai apa?" Ikan lele mereka yang 6 ton itu habis terbawa air saat banjir itu.

"Kan ada 10 juta dari Nenek." Lagi - lagi Nisa meminta bantuan Mamanya. Padahal selama mereka mempunyai uang, mereka tidak pernah membayar sisa hutang mereka. Dan Iman tidak terlihat malu sama sekali saat menyuruh Nisa untuk 'meminjam' pada sang Mama.

"Mana cukup!" teriak Iman.

"Nanti Deni pinjem sama Nenek 10 juta lagi. Deni yang pinjam, Pah!" tegas Deni.

"Mana cukup duit segitu? Terus kalau banjir lagi, gimana? Habis lagi semuanya!" Deni terdiam. Ya, bagaimana kalau banjir lagi? Mereka harus menyiapkan segala sesuatunya untuk menanggulangi banjir yang kemungkinan besar akan datang lagi. Itu membutuhkan dana yang sangat besar.

"Gimana, Mah? Deni nggak jadi pinjam sama Nenek?" tanya Deni pada Nisa. Dia terlihat sangat kecewa.

"Nggak usah, Nang. Nurut aja sama Papah Kamu, ya?" Deni hanya dapat menelan kekecewaannya. Ia sedang senang - senangnya membantu di pemancingan galatama itu. Ia sering mendapat tip yang lumayan besar dari pemancing yang menang.

Nisa juga sebenarnya kecewa. Ia harus berjaga di warung seharian hanya untuk melayani 1 - 2 orang pemancing setiap harinya. Ia juga tidak mampu membayar asisten rumah tangga lagi.

"Tambah tua malah tambah capek!" keluhannya itu terdengar oleh Iman yang langsung mencak - mencak.

"Kalau Kamu ngerasa capek, nggak usah dikerjain, Mah! Diem - diem aja di kamar!"

Iman merasa Nisa menyesali dirinya yang membuatnya sengsara. Padahal bukan seperti itu maksud Nisa. Tapi melihat kemarahan Iman yang seperti itu, ia jadi malas untuk menjelaskannya.

Dengan keadaan pemancingan yang seperti itu tentu saja pendapatan mereka menurun drastis.

Pemancingan hanya ramai setiap sabtu dan minggu. Dari dua hari pendapatan, Nisa mesti mencukupi kebutuhan hariannya selama 1 minggu. Iman - seperti biasa - tidak mau dituntut untuk memberi nafkah setiap hari.

"Kalau ada juga Papah kasih!" selalu begitu katanya.

Nisa rindu saat - saat Iman begitu bertanggung jawab. Saat mereka berjuang bersama - sama mengarungi kehidupan ini.

Menangis dan tertawa bersama. Kemana Iman yang dulu?

"Kamu berubah, Pah. Sekarang Kamu sama seperti saudara - saudaramu itu. Seenaknya dan mau bener sendiri." keluh Nisa kecewa. Air mata mulai mengisi hari - harinya.

"Ya Allah, berilah hidayahMU pada suami hamba. Kembalikan Dia saat Dia masih sangat mencintai Hamba." itu selalu doa yang Nisa panjatkan setelah sholatnya.

Apakah Iman akan berubah?

*******

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!