Sabrina rela meninggalkan status dan kekayaannya demi menikah dengan Zidan. Dia ikut suaminya tinggal di desa setelah keduanya berhenti bekerja di kantor perusahaan milik keluarga Sabrina.
Sabrina mengira hidup di desa akan menyenangkan, ternyata mertuanya sangat benci wanita yang berasal dari kota karena dahulu suaminya selingkuh dengan wanita kota. Belum lagi punya tetangga yang julid dan suka pamer, membuat Sabrina sering berseteru dengan mereka.
Tanpa Sabrina dan Zidan sadari ada rahasia dibalik pernikahan mereka. Rahasia apakah itu? Cus, kepoin ceritanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Ada kebiasaan baru yang dilakukan oleh Sabrina dan Bu Maryam. Yaitu lari pagi di alun-alun desa. Tempat itu berhadapan dengan sekolah dasar tempat Pak Radit bekerja.
Setelah selesai masak dan beres-beres rumah, kedua wanita berbeda generasi itu mulai melakukan penyegaran badan, cuma lari-lari kecil mengelilingi alun-alun desa yang cukup luas.
"Mah, Pak Radit pakai baju seragam guru—PDL—terlihat gagah, ya?" Sabrina mencolek lengan sang mertua.
"Iya," balas Bu Maryam tersenyum manis.
Tidak bisa dipungkiri Pak Radit terlihat lebih gagah ketika memakai pakaian dinas. Karena terlihat rapi dan klimis.
"Kita sapa, yuk, Mah!" ajak Sabrina ketika melihat Pak Radit sedang berbicara dengan penjaga sekolah di dekat pintu gerbang.
"Ih, malu, atuh! Masa wanita nyamperin laki-laki," ujar Bu Maryam tersipu malu.
"Kenapa meski malu? Kita tidak akan berbuat suatu kejahatan, kok!" Sabrina tidak sependapat dengan mertuanya.
"Jadi wanita harus punya harga diri. Jangan kelihatan mengejar-ngejar seorang pria walau kita suka," ucap wanita yang memakai setelan training berwarna merah dan jilbab berwarna hitam.
"He-he-he, apa Neng tidak punya harga diri, Mah? Karena Neng suka terang-terangan bilang suka sama Kang Zidan," tanya Sabrina.
"Ada kalanya laki-laki itu tipe tidak peka. Kayak Zidan. Kalau kamu pendam perasaanmu, selamanya dia tidak akan tahu kamu cinta sama dia. Tapi, kalau melihat Pak Radit, sepertinya dia tipe orang yang tidak suka sama wanita yang terlihat murahan di matanya," jelas Bu Maryam. "Buktinya saja sewaktu Ceu Siti secara terang-terangan cari perhatiannya dengan cara SKSD, Pak Radit terlihat menghindar dan berwajah masam."
Sabrina pun mengangguk paham. Dulu, dia yang ngejar-ngejar Zidan. Dia tidak malu mengakui perasaannya terlebih dahulu. Walau pernah ditolak beberapa kali oleh Zidan, dia tidak pernah menyerah. Sampai pada akhirnya hati Zidan luluh dan mengajak menikah daripada berpacaran.
"Pak Radit!" teriak Sabrina sambil melambaikan tangan ketika beradu pandang dengan laki-laki paruh baya itu.
"Eh, Sabrina ... Bu Maryam, lagi olahraga?" tanya Pak Radit retoris—sesuatu yang tidak perlu dipertanyakan karena sudah tahu jawabnya.
"Iya, Pak. Biar tubuh sehat dan kuat," jawab Sabrina sambil mengangkat kedua tangannya berpose seperti binaragawan.
Pak Radit tertawa melihat kelakuan Sabrina. Lalu, dia pamit karena masih ada pekerjaan di kantor kepala sekolah.
"Pak Radit kalau tertawa terlihat lebih tampan, ya?" celetuk Bu Maryam.
"Cie ... cie ... cie, yang lagi kasmaran!" Sabrina menggoda sang mertua. Wanita itu colek-colek lengan ibunya Zidan, tersenyum lebar ala iklan pasta gigi dan memperlihatkan deretan giginya yang putih dan rapi.
"Ih, apaan kamu!" Bu Maryam memasang muka cemberut pura-pura marah, padahal dalam hatinya dia senang digoda seperti itu oleh sang menantu.
Ketika keduanya pulang ke rumah, terlihat ada Pak Yadi yang berjalan cepat ke arah mereka. Penampilannya kusut dan berantakan.
Melihat itu, Bu Maryam merasa tidak enak. Dia yakin mantan suaminya pasti akan meminta sesuatu kepadanya.
"Maryam, tolong bantu aku!" pinta Pak Yadi dengan mata berkaca-kaca.
"Tolong apa lagi?" tanya Bu Maryam.
Sabrina memutar bola matanya. Selalu saja seperti ini. Jika bapak mertuanya datang, pasti urusannya dengan duit atau makan.
"Niken membutuhkan empat kantung labu darah karena HB-nya rendah. Dua hari lagi jadwal dia dioperasi," jawab Pak Yadi dengan suara bergetar.
Bu Maryam dan Sabrina cukup terkejut karena Niken membutuhkan banyak sekali darah. Keduanya saling beradu pandang.
"Kenapa tidak minta anak-anaknya untuk donor darah. Bukannya si Niken masih punya keluarga? Adik-adiknya yang dulu kamu biayai sekolah. Masa sekarang si Niken kesusahan mereka tidak mau bantu," ujar Bu Maryam dengan sinis dan Sabrina hanya mengangguk karena sependapat dengannya.
Ibunya Zidan itu sangat kesal kepada Pak Yadi. Ketika ada kesulitan selalu saja datang kepadanya. Namun, ketika sedang senang tidak pernah ingat.
"Eh, mereka ... tinggal jauh di luar kota," balas Pak Yadi lirih.
"Memangnya kemarin-kemarin kamu tidak memberi tahu mereka kalau si Niken mau dioperasi?" tanya Bu Maryam dengan nada meninggi karena terlau kesal.
"Tenang, Ma, tenang!" Sabrina mengelus-elus punggung Bu Maryam. Dia takut penyakit darah tinggi ibu mertuanya kambuh.
Wanita paruh baya itu punmenarik napas dengan kasar. Bu Maryam selalu naik tekanan darahnya, jika sudah berhubungan dengan Niken dan Pak Yadi.
Pak Yadi mengangguk dan berkata lirih, "Sudah."
"Sudah tahu kalau operasi besar itu butuh stok darah. Masa mereka tidak mau bantu." Kali ini nada bicara Bu Maryam lebih pelan.
Pak Yadi terdiam. Dia bingung dan kalut pikirannya.
"Sini, mana hp kamu! Biar aku hubungi mereka semua! Jangan pas lagi kamu jaya mereka nempel kayak tai ikan, begitu kamu bangkrut pura-pura tidak kenal."
Pak Yadi memberikan handphone miliknya kepada Bu Maryam. Dia lupa kalau tidak ada kouta apalagi pulsa.
"Kok, tidak nyambung?" Bu Maryam merasa heran dan bingung.
"Apa HP-nya rusak?" tanya Sabrina.
"E ... sepertinya kehabisan Kouta," jawab Pak Yadi malu-malu.
Mendengar itu Bu Maryam rasanya ingin melempar handphone yang ada di tangannya. Mau tidak mau akhirnya diisi Kouta terlebih dahulu oleh Sabrina.
"Halo! Kamu anaknya Niken? Cepat datang ke sini! Mama kamu butuh darah yang banyak, kalau sampai terlambat bisa mati," ucap Bu Maryam nyerocos tanpa jeda, tidak memberikan kesempatan orang di sebrang sana untuk memotong pembicaraannya.
"Ini siapa, ya? Kenapa nomor papa bisa sama kamu?" tanya anak sulung Niken.
"Tidak perlu tahu siapa saya. Kalau kamu ingin mamamu bisa hidup lebih lama lagi di dunia ini, buruan datang ke sini! Ajak juga adik kamu. Kalian berdua harus mendonorkan darah!" jawab Bu Maryam, lalu mematikan panggilan itu.
Sabrina dan Pak Yadi menganga mendengar ucapan Bu Maryam bersama anaknya Niken barusan. Keduanya tidak menyangka kalau Bu Maryam akan bersikap dan berbicara seperti itu.
"Halo! Kamu adiknya Niken, kan?" tanya Bu Maryam to the points. "Cepat datang ke sini segara sekarang juga karena Niken butuh banyak darah! Jika terlambat maka dia akan mati. Kamu jangan lupa kalau dulu sudah dibiayai hidupnya oleh Yadi. Sekarang gantian saatnya kalian balas budi, jangan jadi orang yang lupa diri!"
Bu Maryam pun mematikan panggilan itu. Dia sengaja melakukan itu agar tidak ada pembicaraan basa-basi. Dia ingin melihat orang-orang yang sudah diberi penghidupan oleh Yadi. Apakah mereka tahu diri atau tidak.
Mulut Sabrina dan Pak Yadi menganga makin lebar. Bu Maryam terlalu barbar bicaranya kali ini.
"Nih! Sudah aku tolong. Jadi, jangan recokin aku terus. Punya otak buat mikir, punya mulut buat bicara," kata Bu Maryam sambil memberikan handphone milik Pak Yadi.
"Te-rima ka-sih, Maryam," balas Pak Yadi dengan kepala menunduk. Dia tidak berani mengangkat wajah untuk saat ini.
"Kalau boleh aku—"
"Tidak! Tidak! Tidak!" ucap Bu Maryam, "jangan bicara apa pun lagi sama aku saat ini! Kepalaku mendadak pusing dengar suara kamu."
"Ya, sudahlah! Tadinya aku mau bicara sesuatu sama kamu tentang tetangga barunya itu," batin Pak Yadi.
***
ya walaupun pak Yadi bapak kandung kamu
tapi setidaknya hargai perasaan ibu kamu
mau enaknya sendiri pingin ngulek mukanya 😡😡
becek2 ke mulut pak yadi & niken biar kapok