Virus itu menyebar seperti isu murahan: cepat, tak jelas sumbernya, dan mendadak membuat semua orang kehilangan arah.
Hanya saja, kali ini, yang tersebar bukan skandal... melainkan kematian.
Zean, 18 tahun, tidak pernah ingin jadi pahlawan. Ia lebih ahli menghindari tanggung jawab daripada menghadapi bahaya. Tapi saat virus menyebar tanpa asal usul yang jelas mengubah manusia menjadi zombie dan mengunci seluruh kota,Zean tak punya pilihan. Ia harus bertahan. Bukan demi dunia. Hanya demi adiknya,Dan ia bersumpah, meski dunia runtuh, adiknya tidak akan jadi angka statistik di presentasi BNPB.
ini bukanlah hal dapat di selesaikan hanya dengan video cara bertahan hidup estetik,vaksin atau status WA.
___
Like or die adalah kisah bertahan hidup penuh ironi, horor, dan humor kelam, tentang dunia yang tenggelam dalam kegilaan.
(update max 2 kali sehari,jika baru 1 kali berarti lagi scroll fesnuk cari inspirasi, beneran,jika pengen lebih beliin dulu kopi 😌)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zeeda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumah Dini
Pagar besi dibuka perlahan. Johan yang sedang berjaga sambil bersembunyi langsung berdiri menegang saat melihat sosok berkerudung selimut di antara Zean dan Lira.
“Dia?” tanya Johan singkat, matanya belum yakin.
“Ayu,” jawab Zean pelan.”
Dini muncul dari pintu lain,tidak jauh dari pintu utama,napasnya tercekat,saat tidak sengaja melihat Zean “Oh Tuhan... Ayu?”
Ayu menurunkan selimut dari kepalanya. Wajahnya pucat, matanya merah, tapi jelas itu dia,masih Ayu. Dalam bentuk yang lebih sunyi dan lebih tua dari seharusnya.
Dini memeluknya tanpa bicara, erat, seperti berusaha menariknya kembali dari jurang dunia lain. Ayu tidak menangis, hanya memejamkan mata, sejenak merasa berat tubuhnya bisa ditopang oleh sesuatu selain dirinya sendiri.
"Gimana?,kalian aman?"tanya Zean.
"Aman,namun... akan ku jelaskan nanti saja"
jawab Dini,dan langsung membawa Ayu masuk.
Zean dan Lira saling memandang sebentar,dan segera ikut masuk.
Mereka duduk bersama di ruang tengah. Johan menyodorkan sebotol air dan setengah bungkus roti kering.
Ayu mengambilnya pelan. “Terima kasih,” gumamnya, suara nyaris tak terdengar.
Tak ada yang langsung bertanya. Atmosfer rumah Dini kini berubah. Ada ketegangan lembut, seperti semua sedang menunggu ledakan yang tidak mereka pahami bentuknya.
Zean akhirnya membuka suara. “Kita lihat ibunya. Dia berubah... tapi lambat. Seperti menahan diri. Kayak... masih sadar.”
“Dan dia mati, tiba-tiba,” tambah Lira pelan. “Kayak... habis.”
“Habis?” tanya Johan.
Lira mengangguk. “Kayak nyawa terakhirnya di pakai agar bisa melihat Ayu pergi untuk terakhir kalinya.”
Hening.
Dini mengusap rambut Ayu. “Kamu aman sekarang. Di sini, aman.”
Tapi Ayu menatap ke lantai, matanya kosong. “Nggak ada tempat aman lagi. Kita cuma... lebih lambat aja dibunuhnya.”
Tak ada yang menyangkal.
Johan berdiri, mencoba mengalihkan. “Aku dan Dini tadi lihat sesuatu juga. Di pos jaga dekat jalur selokan. Ada... pesan. Cat merah. Atau darah.”
“Pesan?” tanya Zean.
“Mereka belajar meniru. Jangan percaya yang diam,” jawab Dini datar.
Lira menegang. “Mereka... siapa?”
Johan menggeleng. “Nggak tahu. Tapi bukan zombie biasa. Ada... boneka yang dimainkan. Enam jari di cetakan tangan anak. Dan baju-baju... kosong.”
Suasana menegang. Mata Ayu perlahan mengangkat, mendengar detail itu. Seolah ada sesuatu yang ia tahu, tapi belum siap untuk dikatakan.
Dini sadar. “Ayu... kamu pernah lihat yang seperti itu?”
Ayu diam lama.
Lalu akhirnya menjawab, nyaris seperti bisikan:
“Yang kayak gitu... mereka bukan datang dari luar. Mereka lahir dari kita.”
mereka cuma saling pandang, bingung tidak tau maksudnya. Tak ada yang bicara setelah itu.
Dan di tengah rumah yang penuh kabel CCTV, lemari penuh makanan kaleng, dan harapan yang perlahan mengering, mereka semua mulai menyadari:
Ancaman yang sesungguhnya mungkin baru saja mengetuk pintu dari dalam.
...
___
Malam turun seperti noda tinta di kain putih perlahan tapi tak bisa dibersihkan.Rumah Dini tenggelam dalam keheningan yang tak sepenuhnya nyaman. Lampu gantung menyala redup, dijalankan oleh baterai cadangan dari sistem ayah Dini. CCTV masih bekerja, satu-satunya yang terasa seperti pengawas dari dunia lama.
Ayu duduk di pojok ruangan, selimut masih melilit tubuhnya. Ia belum banyak bicara sejak mereka kembali. Lira menyiapkan air hangat, Dini duduk tak jauh, sesekali memandang ke arah ayahnya di ruangan sebelah.Johan... entah apa yang dia lakukan, headphone yang tak terhubung ke apa pun, mungkin hanya ingin mendengar sesuatu yang bukan dari dunia ini.
Zean duduk di dekat jendela, memandang ke luar, lalu menoleh perlahan ke Ayu. “Kalo butuh sesuatu, bilang, ya?”
Ayu mengangguk pelan. “Cuma.... Pengen nggak mikir apapun.”
Zean menarik napas pelan. Ia tidak tahu bagaimana cara menghadapi duka yang diam. Ia bisa menghadapi zombie, menghadapi kelaparan, menghadapi kelelahan. Tapi duka yang diam... tidak bisa dilawan,apalagi pemerintahan.
Beberapa menit berlalu sebelum Ayu berbicara lagi. Suaranya nyaris tak terdengar. “Dia nggak makan aku. Mama. Dia... cuma diem. Hari-hari terakhir, dia suka nyanyi. Pelan. Lagu pengantar tidur waktu kecil.”
Zean menunduk. “Dia masih ingat kamu.”
Ayu menggigit bibirnya. “Kalau dia bisa nahan... kenapa orang lain nggak?”
Zean mengangkat bahu lelah. “Mungkin karena dia masih punya sesuatu yang ditunggu.”
Ayu tertawa kecil,suara pahit. “Tunggu aku keluar?”
“Bukan. Tunggu kamu selamat.”
Hening.
Biar perutmu tahu dunia belum sepenuhnya hancur.”
Dari dapur, terdengar suara air mendidih. Dini muncul dengan dua gelas kecil. Bubur instan larut dalam air panas,makanan yang dulu hanya untuk anak sakit, kini jadi kemewahan langka.
Ia meletakkan satu gelas di samping Ayu.
“Kamu makan dulu.” Biar perutmu tahu dunia belum sepenuhnya hancur.”
Ayu tersenyum samar. Untuk pertama kalinya sejak siang, senyuman itu menyerupai dirinya yang dulu.
Setelah Ayu tertidur di kasur darurat, Zean masih terjaga. Ia duduk di lantai, bersandar ke dinding. Rumah itu tenang, tapi tidak nyaman. Sunyi, tapi penuh napas tertahan.
Lira duduk di dekatnya, berbicara pelan. “Kamu tahu? Aku sempat mikir dia bakal berubah di depan kita.”
Zean mengangguk. “Aku juga. Tapi... dia nggak.”
Mereka menoleh ke arah Ayu yang tidur meringkuk, bonekanya masih di pelukan.
Zean menarik napas dalam. “Kadang yang paling bikin takut itu bukan zombienya.”
“Apa?”
“Harapan.”.
Ia berdiri, berjalan perlahan ke ruang kerja di sisi kanan rumah. Ruangan itu gelap, tapi ia tahu di dalamnya ada peta, alat komunikasi rusak, dan jendela kecil yang menghadap ke pagar belakang.
Ia hanya ingin menyendiri sebentar.
Tapi suara langkah kecil mengikuti.
“Zean,” panggil Lira. “Kamu nggak apa-apa?”
“Aku cuma butuh... sebentar.”
“Kita semua butuh sebentar,” balas Lira.
Zean tersenyum kecil. “Kamu udah jadi puitis sekarang?”
Lira mengangkat bahu. “Dunia udah kebalik. Mungkin sekarang aku yang bijak, kamu yang meledak-ledak.”
Zean mengangguk. Tapi yang ia pikirkan kata kata Ayu.wajah ibunya yang roboh di ujung tangga. Dan kata-kata terakhir Ayu: Dia tahan. Sampai sekarang. Membuat pikirannya kemana mana,Ia bertanya-tanya... siapa lagi yang sedang menahan sekarang? Dan berapa lama sebelum mereka juga jatuh?,dan berharap semoga Ibunya juga masih selamat.