Tak ingin lagi diremehkan oleh teman-temannya, seorang bocah berusia enam tahun nekad mencari 'Ayah Darurat' sempurna; tampan, cerdas, dan penyayang.
Ia menargetkan pria dewasa yang memenuhi kriteria untuk menjadi ayah daruratnya. Menggunakan kecerdasan serta keluguannya untuk memanipulisi sang pria.
Misi pun berjalan lancar. Sang bocah merasa bangga, tetapi ia ternyata tidak siap dengan perasaan yang tumbuh di hatinya. Terlebih setelah tabir di masa lalu yang terbuka dan membawa luka. Keduanya harus menghadapi kenyataan pahit.
Bagaimana kisah mereka? Akankah kebahagiaan dan cinta bisa datang dari tempat yang tidak terduga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Diana Putri Aritonang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Emergancy Daddy 11.
Pagi baru menyapa, sinar matahari begitu hangat terasa, selaras dengan suasana yang kini ada di kediaman mewah keluarga Galang Abraham.
Meski sempat mengalami hal yang cukup mengejutkan semalam, keluarga itu pagi ini berkumpul di meja makan untuk melakukan sarapan bersama sebelum memulai aktivitas mereka masing-masing.
"Cucu tampan Nenek mau tambah lagi?" tawar Sekar karena melihat Elvano yang begitu lahap menikmati serapan paginya dengan nasi goreng tanpa tambahan kecap yang Sekar buat sendiri.
Elvano menggeleng pada Sekar. "Ini sudah cukup, Nek." Elvano memasukkan suapan terakhir ke dalam mulutnya. Bocah itu terlihat bersemangat sekali pagi ini, ia juga segera meraih susu hangat coklat dan menikmatinya sebagai penutup sarapan pagi.
"Come on, El. Mommy yang akan mengantarmu sebelum pergi ke galeri."
Bocah itu segera beranjak, meraih tas ranselnya dan terlebih dahulu mencium takzim tangan Galang serta Sekar sebelum sedikit berlari untuk mengejar Anggita.
"Hati-hati Cucu tampan Nenek. Jangan nakal!!"
Elvano melambaikan tangannya dengan sedikit berbalik di sela-sela larinya untuk menoleh pada Sekar dan Galang.
"Doakan aku sukses hari ini, Kek, Nek," ucap bocah itu yang membuat Sekar heran bercampur takut melihatnya, bagaimana jika Elvano terjatuh. Sekar menggeleng tersenyum, cucunya itu betul-betul tidak bisa tenang dan diam. Selalu saja ingin berlari atau pun melompat.
Tanpa Sekar tahu, sang cucu begitu pelit pada eksperi riangnya di luar sana, Elvano lebih memilih akan memasang mode kulkas dan stelan cuek.
Elvano masuk ke dalam mobil sang ibu. Bocah itu meletakkan tas ranselnya di kursi penumpang bagian belakang, ia juga tidak lupa memasang sabuk pengaman. Dirinya kini sudah siap untuk berangkat ke sekolah.
Akan tetapi, mobil itu sama sekali tidak bergerak. Elvano menoleh pada ibunya. Dan melihat raut wajah sang ibu, bocah itu seakan tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
"El, Mommy mau mengatakan sesuatu."
Elvano diam. Ia menunggu ibunya untuk kembali bersuara. Elvano tahu, sang ibu pasti akan menasehatinya karena telah berani memanggil seseorang dengan sebutan Daddy.
"Tentang kamu yang memanggil seseorang dengan sebutan Daddy."
Kan...benar seperti dugaannya.
"Itu salah, El," pelan Anggita bersuara. "Tidak semua orang nyaman dengan panggilan itu."
Elvano tetap diam tak berniat mencela ucapan sang ibu. Ia mendengar semua perkataan Anggita dengan baik. Netra polos bocah itu juga langsung menatap netra ibunya.
Tatapan polos yang semakin membuat Anggita rasanya tercekat. Mommy pasti akan memberi tahu mu semuanya, El, tapi bukan sekarang, benak Anggita terenyuh.
"Tidak semua orang bisa dipanggil Daddy, Son." Anggita mengerjapkan mata dan mengalihkan pandangan ke depan. Menghalau sesuatu yang hampir menyeruak keluar. Kilasan balik di masa lalu, berputar dalam kepalanya.
"Lalu orang seperti apa yang bisa aku panggil Daddy, Mom? Aku ingin sekali melakukannya." Perkataan yang hanya mampu Elvano suarakan di dalam hati. Bocah itu terus menatap ibunya, melihat kesedihan ada di sana, sungguh Elvano rasanya jauh lebih terluka.
"I'm sorry, Mom," ucap Elvano yang membuat Anggita kembali menoleh pada putranya. "Apa Uncle itu marah pada Mommy? El akan meminta maaf langsung nanti padanya."
Anggita menarik napas. Ia juga sebenarnya kesal dengan Nathan yang menurutnya terlalu berlebihan dalam menyikapi tindakan putranya. Padahal, bisa saja pria itu mengabaikan Elvano, bukannya malah datang ke rumah dan melakukan protes. Nathan terlalu lebay, pikir Anggita.
"Tidak perlu meminta maaf. Just don't do it again." Anggita tersenyum pada Elvano. Ia menyalakan mobil dan mulai melajukannya menuju sekolah sang putra, Build International School.
Sementara itu, di tempat lain, tepatnya di apartemen Nathan, pria itu juga tengah bersiap untuk berangkat bekerja. Mengenakan setelan eksekutif, Nathan menuju basement dan masuk ke dalam kendaraan mewahnya.
Pagi ini, wajah pria penuh karisma itu terlihat lelah. Semalaman ia menyibukan diri dengan pekerjaan hanya demi menghindari bayang-bayang yang menghantui pikiran liarnya.
Nathan bahkan tertidur di kursi kerja, karena matanya yang sudah tak sanggup lagi bertahan. Nathan segera menyalakan mobil dan melaju menuju perusahaan.
Namun, belum sempat mobil mewah itu keluar dari area basement, netra Nathan sudah menangkap sesuatu. Nathan memicing, memperhatikan benda berwarna biru yang terselip pada wiper kaca mobilnya. Menghentikan kendaraan, ia pun keluar, tangannya terulur meraih sesuatu yang ternyata adalah sebuah kertas origami, sebelum akhirnya masuk kembali ke dalam mobil.
Nathan memeriksanya, dan ia menemukan sebuah pesan di sana.
Kamu memiliki dua pilihan:
Jadilah ayah daruratku tanpa harus menghadapi resiko yang tidak kamu inginkan, atau;
Jadilah ayah daruratku sebelum aku menangis di depan umum!
^^^Your son☺️^^^
Netra Nathan seketika membulat sempurna saat membacanya. Apa-apaan ini? Apa maksud pesan yang tertulis di dalam kertas origami ini? Sebuah ancaman?
Astaga!
Nathan mendengus kasar, tangannya memukul setir kemudi. Berani sekali seorang bocah kecil mengancamnya.
Sekali lagi, Nathan membaca ancaman yang terdengar serius itu. Dan setelahnya ia malah terkekeh.
Menangis di depan umum?
Bocah bernama Elvano itu mengancam dirinya dengan mengatakan akan menangis di depan umum? Lucu sekali, dengus Nathan. Ia menyalakan mobil dan kembali melajukannya. Berusaha tak perduli dengan pesan yang Nathan yakin bocah bernama Elvano itulah yang melakukannya dan menyelipkan pada wiper kaca mobilnya.
Nathan mengemudi, kertas origami tadi sudah ia letakkan begitu saja ke atas dashboard, mendarat tepat di atas undangan milik Elvano. Sesekali netra Nathan meliriknya, ia tersenyum masam dengan gelengan ketika mengingat tingkah yang begitu berani dari bocah itu.
Memanggilnya dengan sebutan Daddy dan kini memberi dirinya sebuah surat ancaman. Benar-benar defenisi bocah pemberani...seperti ibunya.
Ibunya? Anggita?
Nathan mengerjap, tersadar karena pikirannya kembali mengingat Anggita, wanita yang begitu berani menghajarnya, setengah cantik dan juga cukup...sexy.
"Shitt!!" umpat Nathan. Sepertinya dia sudah gila. Pikirannya malah terus membayangkan sesuatu yang seharusnya tidak ia bayangkan.
Satu tangannya mengacak rambut perak itu kasar. Ia juga memukul kemudi, netranya kembali melirik dashboard. Dan entah setan apa yang merasuki Nathan, pria itu malah menginjak dalam pedal gasnya menyusuri jalanan yang sama sekali bukan mengarah ke perusahaan.
/Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/