Maura, gadis lugu dari kampung dengan mimpi besar di kota, bekerja sebagai pengasuh nenek dari seorang milyader muda bernama Shaka Prawira. Tak disangka, Maura juga ternyata mahasiswi di universitas milik Shaka. Di balik sikap dinginnya, Shaka menyimpan perhatian mendalam dan mulai jatuh cinta pada Maura—meski ia sudah memiliki tunangan. Terjebak dalam cinta segitiga, Maura harus memilih antara impian dan perasaannya, sementara Shaka berkata,
"Aku sangat menyukaimu, Maura. Aku ingin kau ada saat aku membutuhkanku."
“ anda sudah bertunangan tuan ,saya tidak mau menyakiti hati wanita lain .”
“ Kau tidak akan menyakitinya sayang ,Thalita urusanku ”.
Namun, apakah cinta mampu mengalahkan janji dan status?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mira j, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 23
Suasana kampus sore itu begitu ramai. Mahasiswa berlalu-lalang di koridor, sebagian berjalan cepat menuju gerbang utama, sementara yang lain masih sempat mengobrol di bawah rindangnya pepohonan taman kampus. Maura dan Laila berjalan beriringan di tengah keramaian, sesekali tertawa kecil mendengar lelucon satu sama lain.
“Hei, kamu lihat tadi ekspresi dosen Pak Indra pas kamu salah sebut ‘quantum’ jadi ‘quarantine’?” Laila menggoda, terkekeh.
Maura memukul pelan lengan Laila. “Dih, jangan diungkit! Malu tahu!”
Tawa mereka mengalir ringan hingga tanpa terasa mereka sudah sampai di depan gerbang kampus. Maura langsung celingukan, mencari sosok mobil hitam yang biasa menjemputnya.
“Eh, Shaka parkirnya di mana, ya?” gumam Maura, memicingkan mata.
Tak lama, ia melihat mobil Shaka terparkir agak jauh di sisi kanan gerbang. Sementara itu, Laila baru saja melihat mobil pribadinya berhenti di sisi kiri gerbang. Ia melangkah kecil menuju mobil itu, tapi langkahnya terhenti saat Maura menarik pergelangan tangannya.
“Laila! Naik mobil Shaka aja yuk.”
“Hah?” Laila bingung. “Terus sopirku gimana?”
“Suruh aja dia ikuti dari belakang. Nanti pulangnya kamu tinggal pindah ke mobil kamu. Aku malas naik mobil itu sendirian. Please~” rengek Maura sambil memonyongkan bibir.
Laila mendesah, antara malas dan tak tega. “Ya udah deh, kamu ini kalau udah kayak gini susah ditolak.”
Dengan langkah mantap, mereka berdua berjalan menuju mobil Shaka. Maura mengetuk kaca depan sambil tersenyum manja. Dari dalam, Shaka yang duduk dibalik kemudi langsung menurunkan kaca.
“Ada apa?” tanyanya singkat.
“Ayo, buka pintunya. Kita barengan, ya?” ucap Maura.
Shaka mengangguk, dan menoleh sekilas ke arah Laila yang berdiri di samping Maura. “Tapi Laila ikut juga?”
Maura cepat-cepat menyela, “Plis, Shaka. Sekalian aja, ya. Biar rame.”
Shaka sempat berpikir sejenak, tapi akhirnya menyerah. “Oke. Cepat masuk. Bilang sopirmu supaya ikutin dari belakang aja,” ujarnya pada Laila.
Laila pun segera memberi isyarat pada sopirnya, lalu masuk ke dalam mobil. Maura duduk di kursi depan, sedangkan Laila di kursi belakang. Begitu pintu tertutup, suasana mobil terasa tenang, tapi di antara mereka mengalir percik-percik rasa penasaran, khususnya dari Laila yang mulai memperhatikan Shaka secara diam-diam lewat kaca spion.
Mobil pun melaju perlahan meninggalkan kampus, membelah jalanan kota dengan kesan sore yang perlahan beranjak gelap.
Di dalam mobil, suasana terasa hangat. Sinar matahari sore menelusup dari balik kaca, memantulkan kilau lembut di dashboard. Musik instrumental pelan mengalun, menambah kenyamanan perjalanan.
Maura menyender santai di kursinya, menoleh pada Shaka yang serius mengemudi. “Tumben, kamu pulang awal. Emang nggak ada kerjaan hari ini?”
Shaka melirik sebentar, lalu kembali fokus ke jalan. “Kebetulan ada rapat yang dibatalkan. Jadi ya, bisa pulang lebih cepat. Sekalian jemput kamu.”
Laila yang duduk di belakang ikut nimbrung. “Wah, beruntung banget ya Maura punya sopir pribadi yang fleksibel begini,” ujarnya dengan nada menggoda.
Maura menoleh ke belakang, tersenyum. “Iya dong. Shaka itu nggak cuma majikan,tapi juga bodyguard, penasihat,sopir sekaligus pengingat tugas kuliah.”
Shaka terkekeh pelan. “Wah, tugas makin banyak aja nih.”
Laila tertawa. “Jangan-jangan, sebentar lagi diminta bantuin ngerjain tugas juga?”
Maura pura-pura berpikir. “Hmm… ide bagus juga tuh.”
Shaka menggeleng pelan, tapi senyumnya tidak bisa disembunyikan. “wah itu sih harus ada hitungan nya Lo.. . belum termasuk bonus nya .”
Obrolan ringan itu terus mengalir. Mereka mulai membicarakan kelas hari ini, dosen yang menyebalkan, dan tugas presentasi yang hampir membuat Maura pingsan karena grogi.
“Untung aku bareng Laila tadi, kalau nggak, aku sudah kabur duluan dari kelas,” ucap Maura, mengingat kejadian pagi tadi.
“Iya, kamu tuh jangan panikan. Santai aja. Lagian tadi kamu lumayan kok,” sahut Laila.
Shaka menyimak percakapan mereka wes saat ia merajuk dengan manja.
Perjalanan pun terasa singkat karena obrolan yang menyenangkan. Tak ada kecanggungan, hanya canda yang menyatu dalam kehangatan kecil di dalam mobil hitam yang terus melaju menyusuri jalanan kota.
Tak terasa, mobil berhenti dengan lembut di depan salah satu pusat perbelanjaan mewah di tengah kota. Shaka mematikan mesin, lalu turun terlebih dahulu untuk membukakan pintu bagi Maura dan Laila.
“Yuk,” ujar Maura ceria sambil meraih tangan Laila. “Akhirnya bisa belanja juga.”
Mereka bertiga melangkah masuk ke dalam mal yang penuh dengan lampu gemerlap dan deretan butik eksklusif. Aroma parfum dan interior berkelas langsung menyambut mereka. Langkah Maura cepat, tujuannya sudah jelas.
“Aku cari sepatu dulu, ya. Buat Kirana,” katanya sambil menoleh ke Laila. “Aku janji mau beliin dia hadiah.”
“Biar aku bantu,” sahut Laila antusias.
Mereka masuk ke sebuah toko sepatu premium. Laila sibuk melihat-lihat rak yang penuh dengan sepatu anak, sementara Maura membandingkan model dan ukuran kaki adiknya.
Shaka hanya duduk tenang di kursi kulit elegan yang tersedia di sudut toko. Tatapannya mengikuti gerak-gerik Maura, lalu sesekali berpindah ke rak sepatu wanita dewasa. Sesuatu menarik perhatiannya—sepasang sepatu flat berwarna krem muda dengan detail simpel, tapi terlihat sangat anggun dan sesuai dengan gaya Maura.
Tanpa pikir panjang, ia memanggil pelayan dengan isyarat halus. “Tolong, sepatu itu. Ukurannya... 38.”
“Dibungkus, Pak?” bisik pelayan sopan.
Shaka hanya mengangguk kecil “Untuk hadiah.”
Sementara itu, Maura dan Laila sudah mendapatkan pilihan terbaik. Sepatu warna merah muda dengan hiasan simpel untuk Kirana. “Ini lucu banget, Ra,” kata Laila sambil menunjukkan kotaknya.
Maura mengangguk senang. “Pas banget! Yuk, bayar.”
Setelah selesai di kasir, Maura menghampiri Shaka. “Ayo, udah dapat,” ucapnya, senyum puas mengembang di wajahnya.
Saat mereka berjalan keluar dari toko, pelayan mendekati Shaka dan menyerahkan tas belanjaan berlogo mewah. “Ini, Pak. Terima kasih.”
“Terima kasih,” sahut Shaka tenang, menerima tas itu tanpa ekspresi mencolok.
Maura menoleh cepat. “Hah? Kak Shaka belanja juga?” tanyanya heran.
“Hanya sepatu,” jawab Shaka pendek.
“Buat siapa?” Laila langsung menggoda dengan nada tinggi.
Shaka hanya menaikkan alis. “Rahasia.”
Maura mencibir manja. “Pasti buat pacarnya, ya...”
Shaka tak menanggapi. Tapi ada senyum tipis yang sulit ditebak artinya di sudut bibirnya.
Maura buru-buru mengalihkan topik. “Laila, kamu aja yang pilih restoran yang sesuai dengan selera kamu .”
Laila tertawa kecil. “Baiklah, kalau begitu. Aku tahu satu tempat baru yang cozy dan makanannya enak. Ayo, ikut aku!”
Mereka pun melangkah meninggalkan toko, masing-masing dengan perasaan berbeda—Maura penuh senyum karena belanja untuk adiknya, Shaka menyimpan rahasia kecil di tangannya, dan Laila sibuk berpikir apakah ia akan memesan dessert dulu atau langsung ke main course.
Akhirnya, setelah berkeliling sebentar, pilihan Laila jatuh pada sebuah restoran seafood yang terletak di lantai dua pusat perbelanjaan. Aroma gurih bumbu laut menggoda dari kejauhan.
“Seafood aja, ya? Ini menggoda banget,” kata Laila sambil menunjuk papan menu digital yang terpajang di depan restoran.
Maura melirik Shaka, “Gimana, Kak? Kamu suka seafood, kan?”
Shaka hanya mengangguk pelan, memberikan isyarat setuju. “Ayo.”
Dengan langkah ringan, mereka bertiga masuk ke dalam restoran. Interior bernuansa biru laut dan ornamen kerang-kerang mempercantik suasana. Meja mereka berada dekat jendela besar yang menghadap ke taman buatan di dalam mal.
Obrolan ringan mengalir di antara mereka—tentang kampus, tentang gaya belanja Maura yang menurut Shaka terlalu impulsif, dan tentang rekomendasi makanan terbaik versi Laila.
Hidangan pun datang satu per satu. Udang saus padang, cumi goreng tepung, dan kerang hijau dengan saus keju. Mereka menyantap dengan lahap dan penuh tawa, hingga sebuah kejadian kecil menghentikan kehangatan itu.
BRUK!
Seseorang dari meja sebelah tanpa sengaja menjatuhkan gelas, dan pecahan kacanya meluncur hingga menghantam kaki Maura.
“Aduh!” Maura memekik pelan, refleks memegang pergelangan kakinya.
“Maaf! Maaf banget!” kata perempuan muda yang menjatuhkan gelas itu, tampak gugup.
Shaka langsung berdiri. “Kena parah?” tanyanya cepat.
“Anda tolong hati hati jangan …..” ucapan shaka tertahan ketika Shaka hendak memarahi wanita muda itu.
“ Sudah Shaka aku tidak apa apa ... cuma nyerempet, mungkin kena kaki ku saja. Aku ke kamar kecil dulu, mau bersihin.”
“Perlu diantar?” tanya Shaka.
Maura menggeleng. “Gak usah, Cuma bentar kok.”
Maura pun berdiri dan berjalan ke arah kamar kecil di ujung lorong restoran. Ia berjalan biasa, mencoba menahan rasa ngilu di kaki, tapi ia tetap tersenyum—tak ingin merusak suasana.
Maura masuk kedalam kamar kecil dan membersihkan kaki nya .setelah selesai ia berjalan keluar dari ruangan tersebut. Namun, tepat saat ia hendak keluar dari kamar kecil, suasana berubah.
Seseorang tiba-tiba muncul dari arah samping dan dengan cepat menutup mulutnya dengan kain. Kedua tangan pria itu kuat, membekap Maura sambil menyeretnya ke lorong kecil dekat ruang penyimpanan.
“Jangan teriak,” desis suara berat dan dingin di telinganya.
Mata Maura membelalak, tubuhnya berontak, namun cengkeraman orang itu terlalu kuat. Napasnya memburu. Ia tak mengenali siapa pria bertopeng itu. Semua terjadi terlalu cepat.
Sementara itu, di dalam restoran, Shaka yang tadinya tenang mulai merasa gelisah. Sudah lebih dari lima menit, dan Maura belum kembali. Ia menoleh ke Laila.
“Kayaknya kelamaan,” gumamnya, berdiri dari kursinya. “Aku cek dulu.”
Langkah Shaka cepat, tatapannya tajam. Naluri dingin seorang pria yang terbiasa hidup dalam ketegangan membuatnya langsung siaga. Ia menuju lorong kamar kecil, namun begitu melihatnya kosong, matanya menyipit.
Dan saat ia menyusuri sudut belakang lorong itu, samar-samar ia mendengar suara sesuatu jatuh—suara tubuh bergesek dengan dinding.
Shaka segera siaga. Tangan kanannya bersiap di balik jaket, berjaga-jaga.
“Maura?” panggilnya pelan.
Tak ada jawaban.
Dengan cepat ia menapaki lorong sempit dan berhenti saat melihat sepatu Maura tergeletak di ujung lorong. Kelihatannya memang sengaja maura tinggalkan. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena panik, tetapi karena rasa curiga yang mulai menjadi kemarahan. Matanya menajam, dan ia tahu—Maura tidak sedang baik-baik saja.
Shaka memicingkan mata, lalu mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya. Jarinya cepat menekan tombol panggilan ke anak buahnya.
“Lacak posisi Maura lewat sinyal ponselnya. Kirim titiknya ke aku secepatnya!” perintahnya tegas, nada suaranya tegang dan dingin.
“Iya, Tuan. Tunggu beberapa detik,” jawab suara di seberang.
Tanpa buang waktu, Shaka berbalik dan segera berlari menuju area parkir. Nafasnya tertahan, langkahnya mantap namun tergesa. Sesampainya di mobil sebelum masuk ia memerintah sopir Laila .
“Cepat jemput Laila di dalam restoran, sekarang juga.bilang pada nya ada keadaan darurat !” perintah Shaka kepada sopirnya Laila yang duduk di mobil.
Sopir mengangguk dan segera keluar dari mobil untuk menjemput majikanya.
Sementara itu, notifikasi di ponsel Shaka berbunyi—titik merah lokasi Maura muncul di layar.
“Dapat! Dia sedang bergerak... ke area keluar dari area mol.” gumam Shaka.
Tanpa pikir panjang, ia langsung menyalakan mesin mobil dan menekan pedal gas dalam-dalam. Mobil melesat meninggalkan decit ban di aspal parkiran, menuju lokasi yang ditunjukkan.