Dunia Elea jungkir-balik di saat dirinya tahu, ia adalah anak yang diculik. Menemukan keluarga aslinya yang bukan orang sembarangan, tidak mudah untuk Elea beradaptasi. Meskipun ia adalah darah keturunan dari Baskara, Elea harus membuktikan diri jika ia pantas menjadi bagian dari Baskara. Lantas bagaimana jika Elea merasa tempat itu terlalu tinggi untuk ia raih, terlalu terjal untuk ia daki.
"Lo cuma punya darah Baskara doang tapi, gue yang layak jadi bagian dari Baskara," ujar Rania lantang.
Senyum sinis terbit di bibir Elea. "Ya, udah ambil aja. Tapi, jangan nangis jika gue bakalan rebut cowo yang lo suka."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhanvi Hrieya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24| Penyesalan
Beberapa maid tampak mondar-mandir, suasana mansion terlihat agak aneh bagi Elea. Elea sama sekali tidak bertanya, kedua tungkai kakinya melangkah menaiki satu persatu anak tangga. Langkah kakinya berhenti di kala manik matanya mendapati kehadiran pria di depan pintu kamarnya, kepalanya tertunduk sementara punggung lebarnya bersandar di pintu masuk.
'Ada apa dengan dia?'
Elea kembali melanjutkan langkah kakinya sempat terhenti, merasa kehadiran sang pemilik kamar. Kepala Zion yang tertunduk langsung terangkat, netra hitam legamnya fokus pada Elea.
"Minggir, gue mau masuk kamar," titah Elea dengan ekspresi wajah datar dan intonasi nada suara dingin.
Zion menghela napas kasar, di rumah ini kacau seharian. Setelah Elea dijemput oleh supir keluarga Bumimg, ibunya bertengkar hebat dengan ayahnya Elea. Ah, benar hanya ayahnya Elea bukan lagi ayahnya Zion.
"Lo bahkan nggak mau lagi memanggil gue 'Abang'," monolog Zion nyaris berbisik.
Elea menarik dan menyentak kasar tubuh Zion ke depan, hingga pemuda itu berdiri dengan tegak dan beranjak posisi. Elea tidak ingin ada drama apapun untuk malam ini, ia lelah.
"Dek," panggil Zion serak.
Pintu kamar terbuka lebar, Elea menghela napas kasar. Ia berbalik menghadap ke arah Zion, kakak satu ibu beda ayah.
"Abang yang salah," aku Zion parau, "semuanya karena Abang ngerasa bersalah. Abang pengecut, demi ngilangin rasa bersalah selama bertahun-tahun. Rasa rendah diri karena nggak dianggap, Abang melepaskan semuanya sama lo, El. Abang ..., maafin Abang."
Kenapa baru sekarang.
Elea tersenyum getir, semuanya sudah sangat berantakan. Tidak ada yang bisa disatukan kembali, baik itu hubungan antara Zion dan Elea. Atau mungkin hubungan antara Elea dan sang ibu, kekecewaan yang terlanjur mengakar.
"Sebelas tahun," kata Elea, ia merasa kerongkongannya tercekik, "gue balik ke sini, cuma pingin disambut dengan pelukan hangat dari lo dan Nyokap. Gue cuma mau dicintai, gue cuma mau diakui, gue cuma mau punya keluarga yang hangat. Gue terluka secara fisik dan batin di luar sana, keluarga di benak gue mereka yang siap mengulurkan tangan buat gue. Permintaan gue sesederhana itu tapi, apa? Lo dan Nyokap nyakitin gue dengan cara yang amat luar biasa."
Suara Elea melengking keras, membuat gema di mansion. Zion tertunduk, kedua sisi bahu Elea naik-turun. Napasnya memburu, orang lain boleh saja tidak mengerti Elea. Orang lain boleh saja menjudge Elea, asalkan bukan keluarganya.
Bibir Elea bergetar, kedua matanya memanas. Ditariknya napas perlahan, anehnya hatinya berdenyut pedih. Sekarang tidak ada lagi yang ia harapkan, ia lelah dengan harapan.
"Maaf," gumam Zion.
Elea mengusap kasar bulir bening yang turun, mengembuskan napas kasar. Tangannya bergerak menutup kasar pintu kamarnya, meninggalkan Zion yang memejamkan kedua kelopak matanya.
Kepala Elea menengadah, bibirnya digigit. Perlahan kelopak matanya terpejam, ia mencoba mengontrol gejolak emosi dan menekannya.
...***...
Rania membeku, di saat ia berada di rumah sederhana jauh dari kata megah. Kepalanya menoleh ke samping, di mana Diana tersenyum lembut.
"Nah, sekarang ini rumah kita bertiga. Ini cuma buat sementara doang, nanti kalo Mami udah dapatin pekerjaan dan duit kita bisa beli yang lebih bagus dari ini," tutur Diana melirik Rania dan Zion.
"Mami serius, kita tinggal di sini?" Rania tidak percaya.
Kepala Diana mengangguk, Diana dalam proses perceraian. Diana memang memiliki beberapa aset, hanya saja ia ingin hidup sederhana. Tidak menyentuh aset warisan dari ayahnya, ia ingin membuktikan pada ayahnya. Jika kesederhanaan bisa membuat Diana bahagia, dan menikah dengan pria yang dia cintai bisa membuat ia bahagia.
Kebahagiaan yang sudah sangat lama akan terwujud sekarang, anehnya hati Diana mulai mendua. Mempertahankan konsep kebahagiaan yang sesungguhnya, dan benarkah wanita satu ini menginginkan hal ini.
"Ayo, masuk, Mi!" Zion bersuara menarik tangan sang ibu.
Diana mengangguk, keduanya melangkah mendekati teras rumah. Sementara Rania menatap tak percaya, enggan rasanya ia hidup di rumah seperti ini.
'Oh, my God. Yang bener aja, gue bakalan idup miskin kek dulu. Gue seorang Rania yang udah berusaha keras buat dapetin keluarga konglomerat mendadak jadi kolongmelarat. What the hell!'
"Ran! Ayo, masuk!" Diana berdiri di ambang pintu yang terbuka, memanggil Rania untuk masuk.
Rania tersenyum meringis, mengayunkan kedua tungkai kakinya mendekat Diana. Untuk saat ini Rania harus bertahan di sini, sembari memikirkan cara agar kembali bisa hidup mewah.
"Ini kamarnya Rania, dan ini kamarnya Zion. Mami udah minta ruangan kamarnya didekor sesuai sama selera putra dan putri Mami," ucap Diana terdengar ceria.
Rania menghela napas berat, rasanya Diana sudah mulai tidak waras.
"Mami yakin mau cerai sama Papi? Mami nggak akan menyesali keputusan Mami saat ini?" Rania bertanya pelan sekali.
Diana mengangguk, "Iya, Mami yakin. Mami mau hidup bebas bersama ayahmu."
Pupil mata Rania melebar. "Maksud Mami, apa?"
Diana menarik tangan Rania menuju sofa di ruangan tamu, keduanya duduk di sana. Diana mengulas senyum tipis, sesekali terdengar mengembuskan napas kasar.
"Ini mungkin cerita yang cukup panjang, Rania nggak tau. Kalo sebenernya Rania ini adalah putri dari lelaki yang Kami cintai. Kami berdua saling cinta tapi, sama-sama memiliki pasangan. Mami tau ini kedengaran kayak orang nggak punya malu. Tapi, perasan kami satu sama lain bukanlah sebuah dosa besar. Ibu kandungnya Rania meninggal setelah melahirkan Rania, singkat cerita. Di saat Mami kehilangan Elea di masa lalu, ayahnya Rania mengusulkan untuk mengadopsi Rania."
Cerita ini sudah sangat lama Rania ketahuan, perselingkuhan dua orang. Yang mengakibatkan kematian untuk ibunya, ia yang diasuh oleh pihak keluarga ayahnya. Sebelum diadopsi oleh Diana dan Guntur, Rania hanya berpura-pura tidak mengetahui semuanya.
"Jadi, Mami mau nikahi lelaki itu?" tanya Rania tak percaya, "daripada lelaki itu, bukankah sangat jauh lebih baik Papi. Papi yang bisa kasih kebahagiaan buat Mami, Bang Zion, dan Rania. Mami malah dengan bodohnya mau dinikahi sama lelaki kayak ayahnya Rania. Dia itu pria pengecut yang cuma mau enaknya doang, Mi! Mami sadar nggak sih."
Diana terkejut, ekspresi wajah serta perkataan Rania tidak ada keterkejutan sama sekali. Seakan-akan gadis remaja ini tahu betul cerita ini dan seperti apa ayah kandungnya, dahi Diana berlipat.
"Rania tau kal—"
"Ya, Rania tau betul. Semuanya Rania tau, Mami. Rania nggak benci sama Mami, Rania cuma benci pria itu. Karena udah godain Mami dan bikin Mami berakhir menyedihkan kayak gini," potong Rania menggebu-gebu.
Diana bodoh sekali, bagaimana bisa memperjuangkan lelaki seperti ayahnya. Lelaki yang baik tidak akan berselingkuh, bahkan menjadi yang kedua.
Sementara Diana terdiam seribu bahasa, ia tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Rania.
...***...
"Ngadep depan, gue nggak mau mati konyol!" Elea melipat kedua tangannya di dada.
Saka menghela napas kasar, ia kembali menghadap ke depan. Di sekolah susah sekali bertemu dengan gadis bermata tajam satu ini, akhirnya ia memutuskan menjemput Elea di mansion. Meskipun gadis satu ini mau ikut dengan Saka, malah memilih kursi belakang untuk ia tempati.
"Eh, loh. Kok lo belok kiri? Bukannya jalan ke rumah lo itu belok kanan?"
Saka mengulum bibirnya, menghela napas kasar. "Siapa juga yang ngomong kalo kita bakalan ke rumah gue."
"Terus lo mau bawa gue kemana?" tanya Elea, "jangan bilang lo mau bawa gue kencan keluar."
Saka mengerutkan dahinya, "Emang bener, gue bawa lo kencan malam ini."
Elea sontak saja tersedak air liurnya, menepuk-nepuk dadanya. Saka menggeleng kecil, dari kaca spion depan ia dapat melihat bagaimana merahnya wajah Elea.
"Lo kesambet apaan," gumam Elea parau.
"Anggep aja ini sebagai penebus kesalahan gue kemarin." Saka merasa bersalah mendengar perkataan sang ayah.
Pria ini keras kepala namun, bukan lantas hatinya pun ikut keras. Elea mengulum senyum, membawa atensinya ke arah jalanan yang dilewati. Suasana mobil mendadak senyap, Saka memutar radio setidaknya bisa mengusir kesunyian yang melanda.
Bersambung...