Di Era Kolonial, keinginan memiliki keturunan bagi keluarga ningrat bukan lagi sekadar harapan—melainkan tuntutan yang mencekik.
~
Ketika doa-doa tak kunjung dijawab dan pandangan sekitar berubah jadi tekanan tak kasat mata, Raden Ayu Sumi Prawiratama mengambil jalan yang tak seharusnya dibuka: sebuah perjanjian gelap yang menuntut lebih dari sekadar kesuburan.
~
Sementara itu, Martin Van der Spoel, kembali ke sendang setelah bertahun-tahun dibayangi mimpi-mimpi mengerikan, mencoba menggali rahasia keluarga dan dosa-dosa masa lalu yang menunggu untuk dipertanggungjawabkan.
~
Takdir mempertemukan Sumi dan Martin di tengah pergolakan batin masing-masing. Dua jiwa dari dunia berbeda yang tanpa sadar terikat oleh kutukan kuno yang sama.
~
Visual tokoh dan tempat bisa dilihat di ig/fb @hayisaaaroon. Dilarang menjiplak, mengambil sebagian scene ataupun membuatnya dalam bentuk tulisan lain ataupun video tanpa izin penulis. Jika melihat novel ini di
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayisa Aaroon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4. Hierarki Dalem Prawirataman
"Diajeng tahu Kangmas tidak suka dibantah,” bisik Soedarsono dengan mengecup lembut pipi sang istri, lalu mengeluarkan amplop cokelat tebal dari tas kulitnya. “Ini jatah untuk bulan ini. Kangmas pergi dulu. Hati-hati di jalan nanti."
Sumi mengangguk dan mengiringi suaminya hingga ke halaman depan, di mana kereta kuda sudah menunggu.
Begitu kereta berlalu, sosok anggunnya berubah tegas. Ia berbalik, memanggil Mbok Sinem yang sejak tadi menunggu di emperan.
“Mbok … kumpulkan semua orang …!”
Sebagai garwo padmi, ia bertanggung jawab mengatur seluruh urusan rumah tangga Dalem Prawirataman, termasuk pembagian uang bulanan untuk para garwo ampil dan pengelolaan para abdi.
Hari ini adalah tanggal lima, hari pembagian uang bulanan. Seluruh istri dan para kepala abdi sudah menunggu di ruangan tengah.
Pariyem duduk dengan anggun di sudut ruangan, mengenakan kebaya merah muda yang terlalu ketat untuk tubuhnya yang gemuk.
Di sampingnya duduk Lastri, istri kedua yang lebih senior—perempuan berusia dua puluh lima tahun yang lebih pendiam dan tahu diri.
Saat Sumi memasuki ruangan, semua orang membungkuk dengan dua tangan membentuk sembah.
Bahkan Pariyem yang biasanya kurang ajar pun terpaksa menunjukkan kesopanan, meski matanya memperlihatkan ketidaksukaan.
"Selamat pagi," sapa Sumi tenang, duduk di kursi utama. "Mari kita mulai pembagian bulanan."
Sumi mengeluarkan buku catatan kecil dan mulai membacakan pembagian uang untuk berbagai keperluan rumah tangga.
Sebagai garwo padmi, ia memiliki wewenang penuh atas keuangan keluarga, termasuk mengatur berapa banyak uang yang boleh diterima oleh para garwo ampil.
"Untuk Lastri, uang belanja bulan ini sama seperti bulan lalu, lima puluh gulden," ucap Sumi, menyerahkan uang pada Lastri yang menerimanya dengan sopan dan terima kasih.
"Untuk Pariyem," Sumi menatap perempuan muda itu, "uang belanja bulan ini empat puluh gulden, turun sepuluh gulden dari bulan lalu."
Wajah Pariyem seketika berubah merah. "Ngampunten, Ndoro Ayu … tapi kenapa turun?" tanyanya dengan nada protes yang ditahan.
"Karena bulan lalu kau banyak melanggar aturan dalem," jawab Sumi tenang. "Padahal sudah diajarkan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh seorang garwo ampil di dalem."
Pariyem menunduk, ingin membantah tapi tidak berani. Sebagai garwo ampil–istri selir, posisinya dalam hierarki rumah tangga jelas di bawah garwo padmi.
Meski mendapat perhatian lebih dari suami, secara hukum adat Jawa ia tetap tidak memiliki hak yang sama dengan istri utama.
"Saya tidak akan melanggar lagi, Ndoro Ayu," ucapnya dengan suara manis yang dipaksakan. "Bulan depan tolong kembalikan seperti semula."
"Kita lihat dulu perilakumu bulan ini," jawab Sumi, tegas namun tetap tenang. "Dan satu hal lagi, mulai hari ini saya tidak mengizinkan siapa pun menggunakan abdi dalem untuk keperluan pribadi tanpa izin saya. Semua jadwal abdi harus melalui saya."
Peraturan baru ini jelas ditujukan untuk Pariyem yang sering memerintah para abdi seenaknya, membuat beberapa pekerjaan rumah terabaikan. Wajah istri muda itu kembali memerah, tapi ia hanya bisa mengangguk patuh.
Lastri, yang lebih mengerti tata krama, tetap menunduk sopan. Ia tahu betul posisinya sebagai garwo ampil dan selalu menghormati Sumi sebagai garwo padmi.
Tidak seperti Pariyem yang masih baru dan ambisius, Lastri lebih mementingkan keharmonisan rumah tangga.
Setelah pembagian uang selesai dan semua orang meninggalkan ruangan, Sumi memanggil Mbok Sinem.
"Mbok, siapkan kereta kecil. Panggil Pak Karto dan Mbah Joyo. Kita akan ke Kedung Wulan."
"Kedung Wulan?" mata tua Mbok Sinem membulat kaget. "Tempat angker itu, Ndoro?"
"Ya, Mbok. Ada yang harus saya lihat di sana."
Setengah jam kemudian, kereta melaju ke arah selatan kota. Mbok Sinem menemani di dalam kereta, sementara Pak Karto menunggang kuda di samping kereta dan Mbah Joyo duduk di samping kusir.
Perjalanan ke Kedung Wulan memakan waktu hampir satu jam, melewati jalan-jalan kampung yang sempit dan berbatu.
Semakin mereka mendekati tempat tujuan, semakin sunyi jalanan yang mereka lewati. Tidak ada rumah penduduk, hanya pepohonan lebat dan semak belukar.
Kereta berhenti di ujung jalan setapak yang tidak bisa dilalui kendaraan. Dari sini, mereka harus berjalan kaki sekitar lima ratus meter untuk mencapai area Kedung Wulan.
"Ndoro yakin ingin ke sana?" tanya Mbah Joyo ragu. "Tempat itu sudah lama tidak ada yang berani mendekati."
"Saya harus ke sana, Mbah," jawab Sumi tegas. "Saya ingin membelinya, untuk usaha ikan. Tempat itu paling cocok, katanya air tidak pernah kering di sana meski musim kemarau."
Dengan hati-hati, mereka menyusuri jalan setapak yang hampir tertutup semak. Pak Karto berjalan di depan, membawa golok untuk membuka jalan.
Mbah Joyo mengikuti dengan membawa tongkat, siap menghadapi binatang berbahaya. Sumi berjalan di tengah, diikuti Mbok Sinem yang terus merapalkan doa-doa dalam bisikan pelan.
Setelah berjalan cukup jauh, hutan mulai merapat. Pepohonan semakin tinggi dan rindang, menghalangi sinar matahari.
Suasana menjadi remang dan lembap. Entah kenapa, meski di luar panas terik, area ini terasa dingin dan basah. Tanah yang mereka pijak pun mulai terasa basah.
"Kita sudah dekat," ucap Mbah Joyo. "Saya masih ingat tempat ini, dulu orang-orang sering kemari."
Beberapa meter ke depan, pepohonan semakin jarang, membuka ke sebuah cekungan tanah yang lebih rendah.
Di sana, di antara semak belukar tinggi dan pohon-pohon yang merunduk, terlihat genangan air gelap yang cukup luas.
"Itu Kedung Wulan, Ndoro," bisik Pak Karto, suaranya terdengar gentar. "Sendang keramat."
Sumi melangkah lebih dekat, matanya memperhatikan sendang itu dengan seksama. Air berwarna kehitaman karena tertutup lebatnya bayangan pepohonan, namun tidak berbau busuk. Justru ada aroma aneh—seperti campuran tanah basah dan wangi bunga yang samar.
"Mbah Joyo," panggil Sumi pelan. "Apa Mbah tahu cerita tentang tempat ini?"
Mbah Joyo mengangguk perlahan. "Sedikit, Ndoro. Dulu tempat ini dikeramatkan. Orang-orang datang untuk meminta berkah kesuburan. Konon, air sendang ini bisa menyembuhkan berbagai penyakit, terutama yang berkaitan dengan keturunan."
"Tapi kemudian jadi angker?" tanya Sumi.
"Ya, Ndoro. Setelah gadis Belanda itu ditemukan tewas di sini. Ada yang bilang dia dibunuh, ada yang bilang dia bunuh diri karena patah hati. Tapi yang pasti, sejak saat itu banyak kejadian aneh di sekitar sendang."
Sumi mengedarkan pandangannya. Kedung Wulan sebenarnya tidak terlalu besar, mungkin hanya seluas sepertiga lapangan pendopo kadipaten. Tapi kedalamanya tidak terlihat jelas karena airnya yang hitam pekat.
"Saya akan membeli tanah ini," ucap Sumi tegas.
Ketiga abdinya saling pandang dengan tatapan cemas. Namun tidak ada yang berani membantah keputusan majikan mereka.
Tanpa disadari siapa pun, permukaan air sendang beriak pelan, seolah merespons ucapan Sumi. Di perutnya, sensasi bergerak itu kembali terasa—kini lebih kuat dan lebih pasti.
suami nya banyak istri
mungkin yg mandul Raden Soedarso sendiri
gapai kebahagiaanmu, jangan terus berkorban
dia kan istri ya pasti bgg lah mau gmg apa secara kan udh bersuami mana mgkin dia mau memanfaakan kmu itu oengaru dr sirep mbah dukun kali martin