Dina, seorang pelajar dari kota kecil dengan mimpi besar, memiliki hasrat yang kuat untuk menjelajahi dunia dan mengembangkan diri. Ketika sekolahnya mengadakan lomba sains tingkat provinsi, Dina melihat ini sebagai kesempatan emas untuk meraih impian terbesarnya: mendapatkan beasiswa dan melanjutkan studi ke luar negeri. Meskipun berasal dari keluarga sederhana dan di hadapkan pada saingan-saingan dari sekolah sekolah-sekolah elit, Dina tak gentar. Dengan proyek ilmiah tentang energi terbarukan yang dia kembangkan dengan penuh dedikasi, Dina berjuang keras melampaui batas kemampuannya
Namun, perjalanan menuju kemenangan tidaklah mudah. Dina Harus menghadapi keraguan, kegugupan, dan ketidakpastian tentang masa depannya. Dengan dukungan penuh dari keluarganya yang sederhana namun penuh kasih sayang, Dina berusaha membuktikan bahwa kerja keras dan tekad mampu membuka pintu ke peluang yang tak terbayangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon avocado lush, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Langkah Baru yang Mengguncang
Pagi itu, Dina berdiri di teras rumahnya yang sederhana, memandang kincir angin yang kini menjadi simbol kebanggaan bagi seluruh desa. Suara gemerisik baling-baling seakan menyambut hari baru yang penuh tantangan. Semua itu berkat usaha kerasnya, namun entah mengapa, perasaan kosong tetap menggelayuti hatinya.
“Ini belum berakhir, Din,” bisik Dina pada dirinya sendiri, mencoba mengusir keraguan yang mulai muncul. “Ada sesuatu yang lebih besar menanti.”
Aditya datang membawa secangkir kopi panas. “Pagi, Din. Kau tampak merenung.”
Dina tersenyum tipis. “Pagi, Dit. Rasanya seperti ada sesuatu yang hilang. Aku tahu ini belum selesai, tapi aku merasa ada sesuatu yang lebih besar yang sedang menunggu kita.”
Aditya duduk di sampingnya, memandang kincir angin yang berputar perlahan. “Kamu benar. Proyek ini mungkin sudah selesai, tapi perjalanan kita ke depan justru baru dimulai. Tidak ada yang tahu apa yang akan datang selanjutnya, tapi kamu sudah membuktikan bahwa kita bisa melewati segala tantangan.”
Dina mengangguk, matanya menatap kincir angin yang semakin menjulang tinggi. “Benar. Tapi, aku merasa, ada sesuatu yang harus kita jaga—sesuatu yang lebih dari sekadar proyek ini. Aku tidak ingin semuanya berhenti di sini.”
---
Beberapa hari kemudian, kabar mengejutkan datang. Sebuah surat resmi dari lembaga donor datang ke meja Dina, dan isi surat itu membuatnya terperanjat.
“Dina, kami dengan sangat menyesal menginformasikan bahwa meskipun proyek ini telah mencapai kemajuan yang luar biasa, kami memutuskan untuk menghentikan pendanaan lebih lanjut. Faktor-faktor eksternal, termasuk ketidakpastian pasar energi, telah membuat kami harus meninjau kembali prioritas kami. Terima kasih atas kerja keras Anda, dan kami berharap ada kesempatan lain di masa depan.”
Dina melemparkan surat itu ke meja dengan penuh kekecewaan. Rasa frustasi yang tadi disembunyikan kini menyeruak.
Mira yang kebetulan datang ke kantor kecil itu, melihat ekspresi Dina yang berubah drastis. “Ada apa, Din?”
Dina menggelengkan kepala, tidak tahu harus berkata apa. “Mereka berhenti memberi dana, Mira. Seluruh proyek ini, semua yang telah kita bangun, bisa berhenti begitu saja.”
Mira duduk di sampingnya, menggenggam tangannya. “Dina, kamu sudah berjuang keras. Ini bukan akhir dari segalanya. Kalau mereka berhenti mendukung, bukan berarti kita harus berhenti.”
Dina menghela napas. “Tapi bagaimana kita bisa melanjutkan tanpa dukungan finansial? Ini bukan hanya tentang tenaga, kita juga butuh dana untuk memelihara dan mengembangkan sistem ini.”
Mira menatap Dina dengan tekad. “Ada cara lain. Kita sudah membuktikan bahwa kita bisa bekerja bersama. Kalau perlu, kita galang dana dari masyarakat atau kerjasama dengan perusahaan lokal. Jangan biarkan ini menjadi akhir, Din.”
---
Malam itu, Dina duduk bersama Pak Karim dan beberapa perwakilan warga lainnya di balai desa. Mereka mendiskusikan langkah-langkah berikutnya setelah kabar mengejutkan itu. Dina menyadari bahwa tidak ada lagi jalan kembali. Semua yang telah mereka capai bergantung pada tekad mereka untuk bertahan.
“Kalau kita harus mencari pendanaan lain, mari kita lakukan itu bersama-sama,” kata Pak Karim dengan suara penuh semangat. “Ini bukan hanya proyek kamu, Dina. Ini milik kita semua.”
Warga yang lain menyuarakan hal yang sama. Mereka siap untuk berjuang lebih keras. Dengan semangat gotong royong yang semakin tumbuh, Dina merasa sedikit lega. Setidaknya, mereka tidak sendirian.
---
Namun, tantangan baru muncul. Di tengah upaya mereka untuk mencari sumber dana alternatif, sebuah perusahaan besar energi yang baru saja masuk ke wilayah tersebut mulai menawarkan solusi yang tampaknya menggiurkan.
Perusahaan tersebut, yang dipimpin oleh seorang eksekutif bernama Richard, menawarkan bantuan finansial besar dengan syarat tertentu. Mereka mengusulkan untuk mengganti kincir angin yang ada dengan teknologi baru yang lebih efisien, namun dengan imbalan hak kendali atas pengelolaan energi di seluruh desa.
Dina, yang mendengar hal ini dari Mira, merasa terombang-ambing. “Aku tidak bisa membiarkan kita jatuh ke dalam pengaruh mereka,” kata Dina, menyendokkan nasi ke dalam mangkuknya dengan geram. “Ini bukan hanya soal teknologi. Ini soal siapa yang akan mengontrol desa kita.”
Mira menghela napas, menatap sahabatnya dengan cemas. “Aku tahu kamu tidak ingin menyerah pada siapa pun, Din. Tapi kita perlu memikirkan masa depan desa ini. Jika kita menolak, kita bisa kehilangan kesempatan besar.”
Dina menatap langit di luar jendela, merenung. “Aku tidak bisa mengorbankan kebebasan desa ini, Ra. Kita sudah berjuang terlalu keras untuk ini. Aku ingin kita berkembang, tapi bukan dengan cara yang merampas hak kita.”
---
Keesokan harinya, Dina memutuskan untuk mengadakan pertemuan dengan warga, membahas tawaran perusahaan tersebut. Ia ingin mendengar pendapat mereka, mengetahui apakah mereka siap untuk mengambil risiko dan melangkah maju dengan cara yang benar-benar mereka pilih.
Di tengah pertemuan itu, Pak Karim berdiri, suaranya penuh wibawa. “Kita sudah membuktikan bahwa kita bisa mengelola ini sendiri. Kincir angin ini bukan hanya tentang listrik, ini tentang kebebasan kita, tentang masa depan kita. Kalau kita menyerah pada tawaran mereka, kita tidak akan lagi punya kontrol atas hidup kita sendiri.”
Warga yang hadir terdiam, merenung. Perlahan, mereka mulai angkat bicara, menyatakan kesiapan mereka untuk menghadapi tantangan ini sendiri.
Dina tersenyum, rasa haru mengalir di dadanya. “Terima kasih, semua. Kita akan terus berjalan bersama. Tidak ada yang akan menghentikan langkah kita.”
---
Hari-hari berikutnya, Dina bekerja keras untuk membangun jaringan pendanaan alternatif. Ia mulai menghubungi berbagai lembaga yang peduli dengan energi terbarukan, mengajukan proposal yang lebih berfokus pada keberlanjutan dan pengelolaan energi lokal. Sementara itu, warga terus mendukungnya, ikut terlibat dalam setiap langkah yang diambil.
Saat pagi datang, Dina tahu bahwa perjalanan ini belum selesai. Mereka baru saja memulai sebuah babak baru dalam perjuangan mereka. Dan kali ini, mereka akan melangkah dengan lebih kuat—tanpa menoleh ke belakang. ***
Dina menghela napas panjang, matanya menatap layar ponsel yang menampilkan pesan dari lembaga pendanaan. Kabar baik yang datang beberapa hari lalu memang membawa kelegaan, namun rasa tanggung jawab yang lebih besar kini semakin berat dipikulnya.
Beberapa langkah di luar ruang kerjanya, angin bertiup kencang, membawa desau suara pepohonan yang melambai di kejauhan. Kincir-kincir angin yang sudah berdiri kokoh, meskipun hanya tiga, tetap memberikan harapan besar bagi Jatiroto. Tetapi Dina tahu bahwa segala sesuatu tidak akan berjalan mulus. Pembaruan teknologi, proses administrasi yang terus bergulir, serta tantangan pendanaan yang selalu datang menanti—semua itu masih harus dihadapi.
Mira yang tiba-tiba masuk ke ruangan, menggoyangkan cangkir teh di tangan, mengingatkan Dina bahwa hidup bukan hanya tentang proyek ini. “Din, kamu harus keluar sebentar. Berjalan-jalan, hirup udara segar. Ini terlalu berat untuk ditanggung sendirian, dan kamu butuh istirahat.”
Dina tersenyum kecil. “Aku tahu, Ra. Tapi setiap detik terasa begitu berharga. Aku harus memastikan semuanya berjalan lancar.”
Mira mendekat, duduk di sisi meja, dan menatap Dina dengan perhatian penuh. “Aku tahu kamu kuat, Din. Tapi ada kalanya kita butuh waktu untuk berhenti sejenak, untuk melihat lebih luas dari apa yang kita tangani setiap hari. Jika tidak, kamu bisa hilang arah.”
Dina menatap sahabatnya, hatinya tersentuh oleh perhatian Mira. “Aku akan coba, Ra. Mungkin kamu benar. Mungkin aku sudah terlalu larut dalam pekerjaan ini.”
Dengan perasaan campur aduk, Dina akhirnya mengikuti saran Mira untuk keluar dari ruangannya. Mereka berjalan menyusuri jalan setapak desa yang tenang, angin yang bertiup perlahan membawa aroma segar dari pepohonan yang melambai. Setiap langkah Dina terasa begitu berat, namun udara yang sejuk membawa sedikit ketenangan.
“Terkadang, aku merasa beban ini begitu besar, Ra,” kata Dina pelan. “Seperti aku harus melangkah dengan hati-hati di antara dua dunia—antara apa yang aku impikan dan apa yang harus aku hadapi. Dan kadang, aku takut, aku tidak cukup kuat untuk itu.”
Mira terdiam beberapa saat, menatap Dina dengan mata yang penuh pengertian. “Kamu lebih kuat dari yang kamu kira, Din. Ingat, banyak yang bergantung pada langkahmu, tapi mereka juga tahu kamu bukan superwoman. Mereka akan selalu ada di sini untukmu.”
Dina menggigit bibir, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang. “Aku ingin semuanya sempurna, Ra. Aku ingin desa ini mendapatkan yang terbaik.”
Mira meraih tangan Dina, menggenggamnya erat. “Kamu sudah memberikan yang terbaik, Din. Jangan biarkan rasa takut itu menghalangimu. Langkahmu sudah membawa perubahan, dan itu lebih dari cukup.”
Dina mengangguk, merasa sedikit lega. Keberadaan Mira, dukungannya yang tanpa syarat, mengingatkan Dina bahwa ia tidak berjalan sendirian dalam perjuangannya.
---
Beberapa hari setelah berjalan-jalan itu, Dina merasa lebih ringan. Ia kembali ke pekerjaan dengan semangat baru, dengan pemahaman bahwa setiap langkah kecil, meskipun terasa lambat, tetap membawa mereka lebih dekat pada tujuan.
Pagi yang cerah itu, Dina berdiri di atas bukit kecil yang menghadap ke desa, melihat kincir-kincir angin yang mulai berputar lebih cepat. Meskipun angin pagi masih sepoi-sepoi, setiap gerakan baling-baling itu mengingatkan Dina bahwa mereka sedang menuju sesuatu yang lebih besar.
Armand datang mendekat, membawa secangkir kopi. “Kincir pertama semakin baik, Dina. Saya rasa kita sudah di jalur yang tepat. Pendanaan untuk tahap berikutnya juga mulai mengalir lancar.”
Dina menatap Armand dengan tatapan penuh keyakinan. “Kita sudah melewati banyak rintangan, Armand. Ini bukan hanya tentang energi terbarukan atau infrastruktur, tapi juga tentang memberikan orang-orang di sini sebuah masa depan yang lebih cerah. Kita akan memastikan desa ini tidak hanya berkembang, tapi juga mandiri.”
Armand mengangguk setuju. “Kamu sudah memimpin ini dengan hati, Dina. Itulah yang membuat perbedaan.”
Dina mengalihkan pandangannya ke kincir-kincir angin yang berputar pelan. “Ini baru permulaan, Armand. Kita harus terus berusaha dan bekerja lebih keras. Jangan pernah berhenti bermimpi untuk lebih.”
---
Saat matahari terbenam di cakrawala, menandai akhir hari yang penuh pekerjaan dan harapan, Dina berdiri di luar rumahnya, merasakan angin yang lebih dingin. Tanpa sadar, ia menatap langit yang mulai dipenuhi bintang. Langkah-langkah mereka memang tak selalu mudah, tetapi setiap jejak yang mereka tinggalkan di tanah ini akan menjadi saksi bahwa impian besar bisa terwujud, satu langkah demi satu langkah.
“Apa pun yang terjadi, kita akan terus melangkah,” bisik Dina pada dirinya sendiri, yakin bahwa meskipun jalan ini penuh rintangan, mereka akan selalu menemukan jejak baru menuju harapan yang lebih terang.
---