"Aku ingin kau menjadi orang yang menyusuinya."
Sienna menatap pria di hadapannya dengan mata membelalak, yakin bahwa ia pasti salah dengar. “Maaf, apa?”
Arsen Ludwig, pria yang baru diperkenalkan sebagai sponsor klub ice skatingnya, menatapnya tanpa ekspresi, seolah yang baru saja ia katakan adalah hal paling wajar di dunia.
“Anakku, Nathan. Dia menolak dot bayi. Satu-satunya cara agar dia mau minum susu adalah langsung dari sumbernya.”
Jantung Sienna berdebar kencang.
“Aku bukan seorang ibu. Aku bahkan belum pernah hamil. Bagaimana bisa—”
“Aku tahu,” potong Arsen cepat. “Tapi kau hanya perlu memberikan dadamu. Bukan menyusuinya secara alami, hanya membiarkan dia merasa nyaman.”
Ini adalah permintaan paling aneh yang pernah ia terima. Namun, mengapa ia tidak langsung menolaknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alensvy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
...****************...
Pagi itu, aku terbangun karena suara ketukan pelan di pintu kamar. Masih setengah sadar, aku mengusap wajah dan mengerjapkan mata beberapa kali. Nathan masih tertidur pulas di tempat tidurnya, jadi aku berusaha tidak bergerak terlalu banyak agar tidak membangunkannya.
Ketukan itu terdengar lagi. Aku menghela napas, lalu bangkit dari ranjang. Begitu pintu terbuka, sosok Arsen sudah berdiri di sana dengan ekspresi serius. Tangannya memegang sebuah map cokelat tebal.
"Kau baru bangun?" tanyanya, melirik ke arah rambutku yang masih berantakan.
"Iya, terus? Kau datang pagi-pagi bawa map itu buat apa?"
"Aku bawa kontrak pernikahan kita."
"Tunggu… apa?" kagetku.
Arsen melangkah masuk tanpa menunggu izin, berjalan ke meja kecil di dekat sofa, lalu meletakkan map itu di sana. Tatapannya serius saat menoleh ke arahku.
"Duduklah, kita perlu bicara," ucapnya, suaranya tenang tapi tegas.
Aku menelan ludah, lalu berjalan pelan ke sofa dan duduk di seberangnya. Tanganku melipat di dada, mencoba menutupi kegugupan yang mulai merayap.
"Kenapa tiba-tiba kau bawa kontrak pernikahan?" tanyaku akhirnya, menatapnya waspada.
Arsen membuka map itu, memperlihatkan beberapa lembar dokumen dengan tulisan kecil yang terlihat resmi.
"Karena pernyataanku kemarin soal kau istriku sudah terlanjur tersebar. Sekarang, kita harus memastikan semuanya berjalan sesuai rencana," jelasnya sambil menyelipkan satu lembar kertas ke hadapanku.
Jantungku berdebar. "Apa maksudmu ‘sesuai rencana’?"
"Aku ingin kau menikah denganku secara hukum."
"Kau gila?!" seruku spontan, hampir lupa kalau Nathan masih tidur. Aku buru-buru mengecilkan suara. "Arsen, kita bahkan belum lama kenal!"
Dia tetap tenang, seolah sudah mengantisipasi reaksiku.
"Aku tahu ini mendadak, tapi kau harus lihat ini dari sudut pandang yang lebih luas. Media sudah terlanjur heboh, dan satu-satunya cara untuk mengendalikan situasi adalah dengan mengesahkan hubungan kita," ujarnya sambil menyandarkan tubuh ke sofa, tatapannya menusuk.
"Tidak! Aku nggak bisa tiba-tiba menikah hanya karena alasan itu!"
Arsen mengusap wajahnya, lalu mengembuskan napas panjang.
"Dengar, aku nggak memaksa. Aku cuma mau kau pertimbangkan ini," katanya, suaranya lebih lembut. "Aku nggak mau kau terus diserang oleh media atau orang-orang yang mencoba menyudutkanmu. Aku ingin melindungimu, Sienna."
Aku menggigit bibir, pikiranku penuh dengan berbagai kemungkinan. Ini terlalu mendadak. Ini gila. Tapi di sisi lain, aku tahu Arsen punya maksud baik.
Aku menatap dokumen itu dengan campuran emosi. "Aku butuh waktu," gumamku akhirnya, jemariku menggenggam ujung sofa dengan erat.
Arsen mengangguk pelan. "Ambil waktu sebanyak yang kau butuhkan," ucapnya sambil menyandarkan kepala ke sandaran sofa, seolah memberi ruang untuk pikiranku.
Tapi entah kenapa, aku merasa waktu yang kumiliki tidak akan banyak…
"Aku nggak yakin, Arsen," ucapku lirih.
"Kau ragu karena karirmu?"
"Aku sudah sejauh ini, Arsen. Aku nggak mau semua yang aku bangun hancur hanya karena berita bodoh ini," keluhku sambil meremas jemari di pangkuan.
"Siapa bilang karirmu akan hancur?" tanyanya, menatapku dalam.
"Kau tahu dunia olahraga seperti apa. Begitu rumor ini makin besar, orang-orang akan mulai mempertanyakan loyalitasku. Mereka akan bertanya-tanya, apakah aku akan tetap fokus atau justru sibuk dengan urusan pribadiku," jelasku sambil mengembuskan napas pelan.
"Jadi yang kau takutkan adalah kehilangan kesempatan untuk mencapai level yang lebih tinggi?" tanyanya, tubuhnya sedikit condong ke depan.
"Aku nggak mau impianku runtuh begitu saja," gumamku, menundukkan kepala.
"Bagaimana kalau aku bisa memastikan itu nggak akan terjadi?" ucapnya, mengusap dagu dengan ekspresi berpikir.
"Apa maksudmu?" tanyaku, memandangnya curiga.
"Kalau aku bisa menjamin karirmu tetap aman, tetap berkembang, dan tidak akan terganggu oleh pernikahan ini, apakah kau masih akan menolaknya?" tanyanya serius.
"Kau bicara seolah itu semudah membalikkan telapak tangan." jawabku sambil mendengus.
"Aku punya koneksi, Sienna. Aku bisa membuat dunia tetap berpihak padamu."
Aku tertawa kecil, sarkas. "Oh, jadi aku harus menikah denganmu dulu supaya aku bisa tetap sukses? Terdengar seperti ancaman, kau tahu?"
Dia menggeleng. "Bukan ancaman. Aku hanya ingin kau mempertimbangkan kemungkinan bahwa ini bisa bekerja untuk kita berdua."
Aku masih diam, menatap dokumen itu dengan campuran emosi yang sulit dijelaskan. Di satu sisi, aku benci fakta bahwa aku harus mempertimbangkan ini. Tapi di sisi lain… apakah benar menikah dengannya akan menghancurkan karirku? Atau justru membukakan jalan baru yang lebih besar?
Aku benar-benar bimbang.
Aku masih menatap dokumen itu, ujung jariku menyentuh lembaran kertas dengan ragu.
"Apa keuntungan yang kau dapat kalau aku menyetujuinya?" tanyaku akhirnya, menatap Arsen tajam.
Dia tersenyum miring. "Kau tahu jawabannya."
Aku mendengus. "Kau mau bilang ini demi Nathan?"
"Bukan cuma Nathan," balasnya cepat. "Aku juga butuh kau."
Jantungku mencelos. Cara dia mengatakannya terdengar terlalu serius, terlalu tulus.
"Kau butuh aku? Untuk apa?" tanyaku, mengalihkan pandangan, mencoba mencerna kata-katanya.
"Aku tidak bisa menjelaskannya sekarang. Tapi… aku nggak mau kehilangan kau, Sienna," ucapnya, menghela napas pelan sebelum bersandar di sofa dengan ekspresi lelah.
"Kita bahkan baru kenal, Arsen. Jangan bicara seolah kita sudah melewati banyak hal bersama," tukasku, buru-buru menyembunyikan reaksi saat mendengar ucapannya tadi.
"Kau yakin? Setelah semua yang terjadi?" tanyanya, menatapku dalam lalu mengangkat satu alis.
Aku menggigit bibir, tidak bisa menyangkal bahwa kami memang sudah melewati banyak hal dalam waktu singkat. Tapi… menikah?
"Berikan aku waktu," bisikku akhirnya.
Arsen menatapku lama sebelum mengangguk pelan. "Baiklah. Aku akan menunggu."
Tapi aku tahu, aku tidak bisa membuatnya menunggu terlalu lama.
.
.
.
Next 👉🏻