Firnika, ataupun biasa di panggil Nika, dia dipaksakan harus menerima kenyataan, jika orang tuanya meninggal tepat, sehari sebelum lamarannya. Dan dihari itu juga, orang tua pasangannya membatalkan rencana tersebut.
Yuk ikuti kisah Firnika, dan ke tiga saudara-saudaranya ...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muliana95, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bertemu Kembali
Setelah mengetahui kabar tentang Abrar, seharian ini hati Nika gelisah. Dia cemburu, namun sadar, jika Abrar bukan lagi siapa-siapa baginya. Atau lebih tepatnya, dia yang bukan siapa-siapa bagi Abrar.
Beruntung, Fardi ada di hidupnya, setidaknya Fardi menjadi obat kala hatinya terluka.
Tak lama kemudian, Amar kembali dari rumah temannya. Sekarang, Amar sudah menduduki kelas tiga menengah pertama. Dan disana, dia termasuk cowok yang disukai oleh banyak wanita. Akan tetapi, prinsip Amar adalah menyenangkan kedua kakaknya. Dia ingin memberikan nilai terbaiknya untuk kedua kakaknya, terutama Nika.
Kanaya pun begitu, dia enggan berpacaran. Karena kuliah merupakan impiannya, dan dia juga tidak ingin membuat Nika kecewa, dia akan membuktikan pada Kakaknya, jika nanti dia bisa lulus dengan nilai terbaik.
Makanya, sampai sekarang Kanaya jomblo, padahal banyak cowok yang mendekatinya. Namun, dia menolak tegas. Dengan mengatakan tidak minat berpacaran, selama masa kuliah.
"Dari mana Amar?" tanya Kanaya.
"Tadi, ketempat Husin." sahut Amar.
"Husin mana?" tanya Kanaya mengernyit dahi.
"Alah, itu loh, kak Bobbi, kan nama kerennya Husin." balas Amar.
"Eh, kok gak nyambung? Itu nama bapaknya?"
"Bukan, nama Ayahnya mah Jamal. Itu nama kerennya." ujar Amar.
"Entahlah ..." Kanaya menggelengkan kepalanya.
Kemudian Amar mencari keberadaan Nika. Sekarang, Nika sudah membangun sebuah ruangan khusus di samping rumahnya, itu digunakan untuk menyetrika. Sedangkan mencuci, di lakukan di area belakang sana.
"Wak, kak Nika mana?" tanya Amar pada orang yang membantu Nika di loudry.
"Sepertinya, lagi di kamar, karena tadi ngelonin Fardi." sahut wanita yang dipanggil Wak oleh Amar.
"Makasih Wak." ujar Amar berjalan ke arah kamar.
Di kamar, Amar melihat Nika yang sedang melamun. Sedangkan Fardi sudah pulas, karena terdengar dengkuran halus dari mulutnya.
"Kak ..." panggil Amar. Akan tetapi, Nika masih saja melamun.
"Sepertinya lagi ada masalah." batin Amar. Kemudian pergi meninggalkan Nika.
Amar menuju dapur guna menemui Kanaya, karena Amar mendengar suara piring, makanya sudah dipastikan, jika Kanaya berada disana.
"Kak, sepertinya kak Nika lagi ada masalah, tadi kaku lihat dia melamun, padahal udah aku panggilin." lapor Amar.
"Iya kah? Perasaan tadi baik-baik aja, apa jangan-jangan, karena ..." Kanaya menghentikan ucapannya.
"Karena apa?" tanya Amar penasaran.
"Ah ,,, lupakan." ujar Kanaya malah semakin membuat Amar penasaran. Dia sampai memicing matanya.
"Kenapa kak?" ulang Amar.
"Sepertinya, dia rindu kak Safa, karena tadi, Fardi memanggil Kak Nika dengan sebutan Ibu ..." ujar Naya berbohong.
"Wah benarkah? Seharusnya, kak Nika senang dong, karena Fardi udah bisa ngomong." ujar Amar.
"Seharusnya, tapi ini bukan masalah Fardi." batin Naya.
Keesokan harinya, Abrar memberanikan diri mendatangi rumah Samsul. Setelah membeli beberapa macam buah, untuk buah tangan. Abrar melajukan sepeda motornya ke arah rumah Samsul.
Beruntung, saat kedatangannya, terlihat Ismi yang sedang menyapu teras. Sedangkan Samsul, berada di warungnya.
"Wak ..." sapa Abrar, membuat Samsul terkejut. Begitu juga dengan Ismi.
"Nak ,,, Abrar?" tanya Samsul agak ragu. Apalagi, penampilan yang sangat berbeda.
"Iya Wak, saya senang, kalian tidak melupakan aku." ujar Abrar.
"Masuk nak, istirahat dulu." ujar Samsul mempersilahkan. Namun, Abrar memilih duduk di teras. Dengan alasan lebih dingin.
"Kenapa sampai bisa kesini?" tanya Samsul saat mereka berada di teras. Sedangkan Ismi sudah masuk kedalam, sesaat setelah menerima buah tangan dari Abrar.
"Seperti biasa Wak, saya masih mencari belahan hati yang hilang." ujar Abrar tersenyum pahit.
"Wak, tahu keberadaan Nika?" lanjut Abrar.
"Emm itu ... Maafkan Wak, wak memang tahu keberadaannya, namun wak tidak bisa memberitahukan padamu, karena wak belum mendapatkan izin darinya." ujar Samsul.
"Tak apa, tapi tolong sampaikan, permintaan maaf dari Ibuku, karena sekarang beliau sedang sakit. Selain lumpuh, sekarang Ibu juga menderita penyakit komplikasi lainnya." ujar Abrar.
"Ibu sangat yakin, jika penyakitnya ialah karma, karma karena dia telah menyakiti hati Nika dan adik-adiknya." jelas Abrar.
"Minumlah dulu ..." ujar Ismi meletakkan kopi dan juga teh untuk tamunya.
"Makasih ..." ucap Abrar.
"Iya, akan Wak sampaikan. Kamu tenang aja, wak yakin jika Nika sudah memaafkan kesalahan juga kesilapan Ibumu. Jika tentang karma, wak pun tidak tahu harus ngomong apa." balas Samsul.
"Bagaimana keadaan Nika?" tanya Abrar setelah menyesap sedikit kopinya.
"Baik, bahkan sekarang kehidupannya jauh lebih baik dari dulu." ujar Samsul.
Deg ... "Jadi benar? Jika Nika sudah bahagia? Bahkan Wak Samsul membenarkan itu." batin Abrar.
Abrar berpikir, jika Nika sudah menikah, makanya kehidupannya bisa jauh lebih baik.
"Kalo gitu, aku pamit dulu. Karena ada beberapa kerjaan yang harus aku selesaikan. Oya, sesekali, datanglah, ke kedaiku Wak. Ini alamatnya." ujar Abrar menyerahkan selembar kartu kecil.
"Jadi, kamu berada di kota ini juga? Kapan-kapan, Wak pasti datang, untuk membawa istri ngedate." kekeh Samsul, di sambut tawa oleh Abrar.
Abrar pun pamit pada Ismi yang sejak tadi berada di warungnya. Setelahnya, dia kembali melajukan sepeda motornya, dengan perasaan yang berkecamuk.
Padahal, sebelumnya Abrar sudah menyakinkan hatinya untuk kuat, saat mendengar kabar Nika. Nyatanya, dia masih rapuh, dan tidak rela Nika bahagia.
Karena sedih juga kecewa. Abrar melajukan sepeda motornya dengan tinggi. Namun, betapa terkejutnya dia, saat Abrar melihat seorang remaja lelaki yang menyeberang tanpa hati-hati. Beruntung, Abrar bisa menguasai dirinya, dan sempat menekan rem. Alhasil, dia sendiri yang jatuh, akibat menekan rem depan.
Nika yang mendengar suara teriakan dan kegaduhan di luar rumahnya, buru-buru keluar. Begitu juga Kanaya.
"Maaf Bang, maaf karena aku nyebrang tanpa lihat-lihat." ujar Amar pada Abrar.
Amar memang lupa tentang wajah dari Abrar. Begitu juga dengan Abrar, dia tidak mengenali Amar yang sudah berubah. Dia berubah dari raut wajah, dan juga tubuhnya yang tinggi.
"Tidak apa dik, aku juga kurang fokus ..." ujar Abrar sembari meringis.
"Baiknya, dia ajak ke dalam dulu Mar, siapa tahu kakaknya ada obat." ujar temannya Amar.
"Amar ,,, kenapa?" tanya Nika dengan napas ngos-ngosan, karena dia baru saja berlari. Begitu juga dengan Kanaya, dia sampai sedikit lebih lambat, karena ada Fardi di gendongannya.
Abrar yang mendengar suara itu menelan ludah. Dia masih sangat mengenali suara yang membuatnya jatuh cinta.
"Maafkan Amar kak, tadi Amar nyebrang tanpa hati-hati, dan orang ini menekan rem depan, alhasil dia jatuh karena gak bisa menjaga keseimbangan sepeda motornya." jelas Amar dengan wajah yang masih pucat, akibat ketakutan.
"Astaga ,,, Bang, maafkan adik saya. Atau, lebih baik singgah dulu ke rumah kami. Nanti akan kita bicarakan bagaimana baiknya. Kami, janji akan bertanggung-jawab." ujar Nika dari arah belakang tubuh Abrar. Karena sekarang, posisinya Abrar sedang duduk di pinggir jalanan.
"Iya dik, baiknya juga bicara secara kekeluargaan. Lagian, kami lihat adik juga gak parah-parah amat, hanya sedikit lecet-lecet." ujar seorang Ibu yang berada di sana.
Abrar pun mengangguk, dan di bantu Amar untuk bangkit. Sedangkan, Nika berjalan lebih dulu bersama dengan Kanaya.
tapi ini beneran udah selesai, kak... ?
padahal baru beberapa bab, kak...
saking bucinnya, Nisa sampe nda bisa bedain yang benar dan yang salah