NovelToon NovelToon
Maaf Yang Terlambat

Maaf Yang Terlambat

Status: sedang berlangsung
Genre:Konflik etika / Anak Kembar / Masalah Pertumbuhan / Keluarga / Persahabatan / Teman lama bertemu kembali
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Rianti Marena

Konon tak ada ibu yang tega 'membuang' anaknya. Tapi untuk wanita seperti Ida, itu sah-sah saja.
Lalu tidak ada yang salah dengan jadi anak adopsi. Hanya, menjadi salah bagi orang tua angkat ketika menyembunyikan kenyataan itu. Masalah merumit ketika anak yang diadopsi tahu rahasia adopsinya dan sulit memaafkan ibu yang telah membuang dan menolaknya. Ketika maaf adalah sesuatu yang hilang dan terlambat didapatkan, yang tersisa hanyalah penyesalan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rianti Marena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bersiap Diri

"Kamu jadi mau ikut studi tur yang ke galangan kapal itu, Dik?" tanya Nuri kepada si bungsu. Ia langsung mendudukkan dirinya di tempat tidur, persis di samping Rani yang sibuk menata isi tas untuk dibawa esok paginya.

"Jadi, dong, Mbak. Ini lagi siap-siap." Rani menjawab sambil meraut pensil. Beberapa barang pensil dengan label ketebalan berbeda masih menanti giliran diraut oleh Rani.

Nuri melongok. Di bawah tempat tidur ada sebuah tas jalan bergambar kapal pesiar dengan dominasi warna biru laut. Di dalamnya ada beberapa alat tulis dan buku sketsa. Hanya Rani yang setiap kali pergi selalu membawa buku sketsa. Itu yang kemudian menjadi ciri khas adik bungsunya.

"Emang dibolehin sama Ibu, sama Bapak?" tanya Nuri lagi.

"Boleh, kok, Mbak. Kemarin Bapak yang tanda tangan surat izinku," terang si bungsu.

"Tapi Ibu udah dikasih tahu, dong, salah satu tujuan tur sekolahmu adalah galangan kapal?" Nuri bertanya lagi, sangsi.

"Hehe..., yang penting sama Bapak boleh," kata Rani sambil tersenyum iseng.

"Hadehhh, tepok jidat deh gue!" Nuri geleng-geleng sambil menepuk dahinya. Kalau Ibu mereka tahu Rani akan mengunjungi tempat berisiko itu, belum tentulah izin akan keluar dengan mudah.

Terkait kesukaan Rani terhadap aneka jenis kapal saja sang Ibu masih belum bisa sepenuhnya menerima. Sebab untuk alasan yang masih belum bisa dipahami Nuri, Ibu mereka jelas sekali menghindari yang namanya pantai, perahu, kapal, dan segala yang berbau itu. Maka, aneh rasanya saat si bungsu justru punya minat yang berkebalikan dengan Ibu mereka.

"Nanti kalau ada apa-apa di lokasi, gimana, Ran?"

"Umm, ya nggak gimana-gimana, Mbak. Biasa aja. Santai aja. Emang mau gimana?"

"Ya maksudku kalau di sana kamu tiba-tiba lihat percikan api dari mesin las atau tungku kapal, 'kan berarti ada potensi terjadi hal-hal yang tidak diharapkan. Fobiamu itu, lho, Dik, yang mengkhawatirkan. Nanti jadi pikiran Ibu, lho!"

Apa yang diungkapkan Nuri memang wajar. Hal-hal biasa bagi orang lain semacam itu bisa menjadi pemicu kecemasan bagi orang-orang di sekitar Rani. Fobia si bungsu terhadap api masih belum bisa ditangani. Padahal Rani rutin ikut terapi dari psikiater.

Terakhir kali fobianya kambuh adalah sekitar dua bulan yang lalu. Waktu itu Rani tidak sengaja melihat api bakaran di dekat rumah. Ada salah seorang tetangga membakar sampah rangka mebel yang telah lapuk karena rayap dan usia. Rani diboncengkan pulang oleh salah satu teman sekelasnya.

Ketika lewat, api bakaran berkobar besar dan langsung tertangkap mata Rani. Saat itu juga Rani pingsan di boncengan lalu terjatuh ke sisi jalan. Rani hilang keseimbangan karena pingsan mendadak. Motor pun oleng tanpa mampu dikendalikan. Jatuhlah Rani dan teman yang memboncengkannya. Rani terpaksa dirawat seminggu di rumah sakit karena cidera di kepala, bahu, dan punggung.

"Pokoknya, kamu hati-hati. Jaga diri sendiri. Nggak ada aku, Ibu, Bapak, Senja atau Fajar yang bisa jagain kamu di situ."

"Iya, Mbak. Beres."

"Jangan 'beres-beres' aja! Beneran, kamu yang bisa melindungi diri sendiri. Hanya kamu yang paling paham gimana caranya mengatasi fobiamu itu, bukan orang lain. Ngerti?"

Rani mengangguk-angguk patuh. "Ngertiii."

"Dan jangan lupa, selalu sedia ini di tas." Nuri mengulungkan sebuah kacamata hitam. Ray bend. Rani menerimanya dan meletakkannya di atas baju seragam yang sedianya akan ia pakai besok pagi untuk tur studi. "Kalau perlu dicantelin di baju aja. Biar kalau ada apa-apa bisa cepat kamu pakai," kata Nuri lagi.

"Iya, oke, Mbak."

"Jangan lupa, selalu berkomunikasi dengan guru pendamping yang ikut besok," kata Nuri lagi, mengingatkan. Bagaimana pun setiap ada tugas sekolah atau kegiatan keluar rumah yang mana tidak satu pun anggota keluarga bisa ikut mendampingi si bungsu, pasti seluruh keluarga termasuk Budhe Suryani ikut merasa cemas. Fobia Rani membawa dampak yang cukup merepotkan, khususnya terhadap Rani sendiri.

"Mbak, tenang aja to. Nggak usah kepikiran yang macam-macam. Lagian aku itu perginya cuma sehari, Mbak. Nggak pakai nginap. Aman, wis, aman. Yakin. Beneran," ujar Rani meyakinkan kakak sulungnya.

"Ya udah. Tapi kamu kalau ada apa-apa langsung telepon Bapak lo, ya!"

"Iya, Mbaaak."

...*...

Deru mobil melaju membawa Yones dan ayahnya membaur dalam lalu-lintas malam dari daerah kabupaten menuju pusat kota. Lampu-lampu hias dari aneka toko dan kedua kuliner malam menandai kesibukan malam di luar sana. Meski tak seramai pusat kota, jalanan antar-kabupaten terbilang sibuk untuk jam itu.

Yones dan ayahnya terpaksa kembali pulang. Ini menyalahi rencana Yones. Semula ia berniat mengajak ayahnya menginap di panti asuhan. Di sana Dion sudah menyediakan kamar sendiri untuk mereka. Kamar lama Yunus. Sengaja kamar itu dibiarkan kosong, kalau-kalau suatu saat entah Yones maupun ayahnya ingin menginap di panti atau sekadar beristirahat siang tanpa terganggu aktivitas lainnya di panti itu.

"Ayah kenapa baru bilang kalau besok harus ke galangan pagi-pagi?" Yones bertanya dengan nada santai yang akrab dari balik kemudi.

"Yones juga tadi nggak bilang mau bawa Ayah ke panti asuhan hari ini," jawab sang ayah, juga dengan nada santai yang akrab, mengimbangi anaknya.

"Ya 'kan ceritanya kejutan tak terencana. Habisnya Ayah belakangan ini kelihatan cemas melulu. Ayah mikirin apa, sih?"

Yunus mendesah, membuang nafas ke arah kaca jendela, lalu berpaling seraya memandang Yones. "Kamu tahu, ayah selalu berusaha terbuka denganmu. Karena ayah juga ingin kamu melakukan hal yang sama terhadap ayah. Jujur, ayah belakangan ini memang sering gelisah."

"Iya, aku tahu ayah sering banget melamun, mimpi buruk, dan nggak tenang. Ayah mikirin masa lalu yang belum bisa ayah ingat?"

"Iya, Nak. Kecemasan ayah bertambah setelah dapat info bahwa ada orang yang mengaku merasa mengenal ayah setidaknya dua puluh tahun lalu. Dari orang itu ada informasi bahwa ayah sepertinya punya putri kandung yang usianya lebih muda dari kamu, Nak."

"Oh ya? Itu beneran, Ayah?" Yones kaget.

'Putri kandung, katanya? Ayah punya anak perempuan? Anak kandung?'

Untuk sesaat Yones merasa gundah tanpa tahu alasan pasti kenapa "Info dari mana? Bisa dipercaya, nggak?" tanya Yones.

"Baru mau Ayah cek kebenarannya. Om Dion bilang kamu sudah dikasih nomornya. Itu lho, perempuan yang ayah lihat keluar dari gerbang panti lalu cepat-cepat pergi, ya g ayah tanyakan juga ke Om Dion."

"Ooo, iya, iya. Om Dion udah kasih nomor kontak ibu itu ke aku, Yah. Kenapa emangnya? Ibu itu pernah kenal ayah? Atau Beliaunya tahu soal masa lalu ayah?"

"Itulah yang mau ayah cari tahu. Ayah juga penasaran. Dia-lah yang dibilang Om Dion sebagai orang yang kenal dengan ayah dua puluh tahun yang lalu."

Yones terdiam. Dalam hati ia bimbang. Jika benar ayahnya punya anak kandung,arti ya ayahnya punya keluarga sendiri. Lalu bagaimana dengan dirinya nanti saat ayahnya mengetahui semua itu? Akankah ia dilepaskan? Akankah dirinya ditelantarkan dan dibuang untuk kedua kalinya?

"Nak? Yoooneees!"

"Eh, iya, apa Ayah? Baru konsen nyetir, nih!" Yones berkilah.

"Konsen nyetir apa melamun? Hati-hati, lho."

"Iya. Tadi Ayah manggil Yones kenapa?"

"Kamu 'kan sudah punya nomor ibu itu dari Om Dion. Bisa tolong kamu telepon dia, Nak?"

"Sekarang?"

"Nanti, dong. Kamu 'kan lagi nyetir," kata Yunus.

Mobil mereka mendekati lampu lalu-lintas. Merah. Yones pun melambatkan mobil.

"Sekarang aja, deh. Sebentar," Yones mencari nama Ida. "Bu Ida. Nah, ini nomornya. Aku coba telepon, ya," kata Yones. Dering tunggu panggilan keluar terus terdengar beberapa saat hingga putus. Yones mengaktifkan pengeras suara ponselnya agar sang ayah bisa ikut mendengarkan. Yones mencoba lagi menelepon,namun hasilnya sama, usai nada tunggu panggilan putus karena tidak direspon oleh penerima.

"Nggak diangkat, Ayah. Mungkin Bu Ida sibuk. Nanti aku coba lagi."

"Ya sudah. Lagian ini sudah malam. Tidak enaklah, mengganggu waktu istirahat orang. Besok sajalah."

"Baru juga jam delapan, Yah. Belum malam banget lah. Atau nanti kalau udah di rumah kita coba telepon lagi, ya?" Yones menawarkan.

"Ya," jawab sang ayah.

Lampu berubah hijau. Mobil merambat, lakunya bertambah seiring kecepatan mobil di depannya. Yones dengan keraguannya mencoba menenangkan diri.

"Emm, Ayah, kenapa dulu Ayah memutuskan mengadopsi aku?"

Yunus berpaling heran. Ia tertawa. "Setelah sekian belas tahun baru sekarang kamu menanyakan ini kepada Ayah? Hehehe. Kenapa? Ayah galak, ya? Atau, egois?"

"Biasa aja. Nggak egois juga." Yones menjawab tanpa menoleh. "Tegas, iya. Galak, enggak. Penasaran aja, kenapa dulu Ayah memilih aku. Kata Om Dion, dulu aku anak yang ditinggalkan karena penyakitan. Jelek, lagi. Kok Ayah mau?"

"Masa Om Dion bilang begitu?" tanya Yunus lalu tertawa lagi. "Kamu dikerjain tuh sama Om Dion."

"Ya, habisnya Om Dion bilangnya begitu. Aku sih percaya aja. 'Kan yang paham kondisiku waktu itu hanya Ayah dan Om Dion."

"Yah, kondisimu dulu memang kurang baik. Kamu diserahkan warga sekitar yang menemukanmu pingsan lemas di pinggiran kali. Badanmu nyaris membiru, kurang nutrisi, dan yah, maaf kalau Ayah bilang dulu kamu mengenaskan. Saat itu Ayah belum lama ditemukan dan dirawat oleh Om Dion. Melihatmu membuat Ayah teringat pada seorang bayi yang sering muncul dalam mimpi Ayah."

DEG!

"Bayi? Anak kandung Ayah?" Yones bertanya.

"Mungkin ya, mungkin juga bukan. Entah itu bayi siapa. Kondisi bayi itu sekilas mirip denganmu. Ahh, kalau saja ada petunjuk soal itu...."

Susah payah Yones berusaha tidak terkesan gugup. Jari-jarinya yang memegang kemudi gemetaran meski tak begitu kentara. Sekali lagi ayahnya mengungkit soal anak kandung. Walau berat, hari seperti ini akan datang. Yones tahu, akan ada masanya ia berhadapan dengan keluarga Yunus, keluarga yang sesungguhnya. Meski kerap membayangkan, Yones masih saja gugup dan gagap, belum tahu bagaimana sebaiknya ia bersikap.

"Nak, nanti atau besok coba kamu hubungi lagi nomor perempuan itu, ya. Saat ini hanya dia satu-satunya petunjuk tentang masa lalu Ayah."

"Ya, Ayah."

Deru dalam dada Yones memburu. Apa yang akan terjadi setelah ayahnya mengetahui realita masa lalunya? Lalu soal anak dan keluarga, akankah itu berarti Yones harus siap kehilangan Yunus sebagai satu-satunya anggota keluarga? Akankah pertemuan Yunus dengan keluarganya menjadi awal dari perpisahannya dengan Yones di masa depan?

Yones galau.

...*...

1
Sabina Pristisari
Bagus... dibalik dinamika cerita yang alurnya maju mundur, kita juga bisa belajar nilai moral dari cerita nya.
Sabina Pristisari: sama-sama... terus menulis cerita yang dapat menjadi tuntunan tidak hanya hiburan ya kak...
Sabina Pristisari: sama-sama... terus menulis cerita yang dapat menjadi tuntunan tidak hanya hiburan ya kak...
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!