NovelToon NovelToon
Sebuah Puisi Untuk Dila

Sebuah Puisi Untuk Dila

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Naik Kelas / Romansa
Popularitas:4.9k
Nilai: 5
Nama Author: Deni A. Arafah

Semua berawal saat pertama kali berkenalan dan berjabat tangan. Aku selalu berharap bahwa waktu berhenti bergerak supaya aku bisa menikmati waktuku bersamamu. Dan senja, adalah saksi bisu dari cintaku saat aku mengadu rindu kepada semesta yang tak pernah lelah mendengarkan curhatan ku tentang dirimu. Sebuah Puisi untuk Dila adalah bagian pertama dari cerita ku dalam mendapatkan hati Dila, Wanita yang biasa saja tetapi segalanya dan istimewa dalam hidup ku. terima kasih Dila jika kamu sudah membaca novelku ini, aku ingin mengucapkan sesuatu yang belum pernah aku ucapkan sebelumnya. Bahwa aku mencintaimu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Deni A. Arafah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Menggantungkan sebuah kebahagiaan

Satu bulan setelah selesainya drama pagelaran dan ujian akhir semester, semester satu pada tahun ketiga, aku disibukan dengan adanya try out dan ujian Nasional yang akan di laksanakan dua bulan lagi dari sekarang yang membuat masa SMA ku hanya tinggal setengah tahun lagi. Pagi ini tepat tanggal 28 januari aku, Bintang dan Hendrik berkumpul di ruko sebelum berangkat ke sekolah aku pun pergi ke minimarket untuk membeli buku karena bukuku sudah habis.

“Oi nge, gua ke minimarket dulu ya! Mau beli buku.”

Bintang mengejar ku. “Oi bentar gua ikut, mau beli pembalut juga buat Windi.”

Aku menahan tawa saat Bintang bilang pembalut. “Tang lu nggak malu beli pembalut?”

“Gua kira lu yang bakal pake tuh pembalut.” Ucap Hendrik yang tiba-tiba menghampiriku dan Bintang.

“Mata lu.” Kata Bintang dengan nada ngegas.

“Ya udah gua ikut juga ke minimarketnya.”

“Lah elu mau ngapain ikut nge?” Aku bertanya kepada Hendrik. “Gua ke minimarket mau belanja ege, bukan mau ke warteg?”

“Gua sekalian mau ketemu mbak-mbak kasirnya, soalnya cakep.” Hendrik menimpali perkataanku.

Sesampai di minimarket aku pun mengambil buku dan berjalan menuju kasir dan meletakan buku yang tadi aku beli di atas meja kasir.

“Jadi 40.000 mas totalnya, ada lagi mas?”

“Udah itu doang.”

“Masnya butuh apa lagi?” Kata mbak kasir itu kembali bertanya lagi kepadaku.

“Mbak, mbak jujur deh mbak, mbak naksir sama saya kan mbak?” Tanya Hendrik kepada mbak kasir yang berada dihadapan kita.

Mbak kasir tersenyum. “Enggak mas.”

“Mbak, jangan dipendam mbak, mbak itu selalu senyum, selalu ramah ke saya setiap saya datang kesini mbak.”

“Hmmm, mas temannya gimana ini?” Tanya mbak kasir kepada aku dan Bintang.

“Mbak dia gila, obat penenangnya abis.” Ucapku men-jawab perkataan mbak kasir.

“Mata mbak, mata mbak ketika melihat saya tuh seakan-akan penuh makna mbak.” Ucap Hendrik kembali kepada mbak kasir.

“Udah ege, ngapain lagi lo?” Ucapku bertanya kepada Hendrik.

“Mbak, saya juga suka ke mbak, mbak itu tinggal conffes ke saya tinggal conffes, toh saya juga bakal terima jangan di pendam gini.” Ucap Hendrik yang berpikir kalau mbak kasir mempunyai perasaan kepadanya.

Aku menenangkan Hendrik. “Udah taik serius lagi lo.”

“Anjing gua pikir gimmick nge.” Kata Bintang kepada Hendrik.

“Mas temannya tolong bawa pergi ya mas yang lain soalnya mau bayar, maaf banget ya mas ya.” Mbak kasir memintaku untuk membawa Hendrik keluar.

“Iya iya mbak.” Ucapku sambil memegangi tubuh Hendrik bersama Bintang untuk dibawa keluar.

“Mbak, jangan karena saya masih SMA mbak khawatir saya nggak bisa menafkahi mbak ya, mbak conffes mbak conffes.” Kata Hendrik sambil ngegas pada mbak kasir itu.

“Apa si Den lu?” Ucap Hendrik bertanya kenapa aku menghentikannya tadi sambil berjalan menuju sekolah.

“Lu gila kali ya, baper sama kasir? Dia ramah emang tuntutan pekerjaan anying.”

“Senyum dia ke gua itu beda Den, kek ada pandang-pandangan cinta-cintanya gitu.” Hendrik mencoba mem-benarkan perkataannya.

“Lu pikir senyum dia ke gua itu senyum psikopat? Bego banget punya teman ya tang ya.”

“Teman lu tuh.” Kata Bintang kepadaku.

“Teman  lu.” Kataku menyangkal perkataan Bintang.

“Gua tau lu jomblo tapi nggak gitu juga ege, lu malah meresahkan anying.” Kata Bintang kepada Hendrik.

“Peduli bangsat gua.” Kata Hendrik sambil memasuki gerbang sekolah.

Sesampai disekolah aku, Bintang dan Hendrik pun duduk diparkiran sambil menunggu anak-anak yang lain datang, dan setelah semua berkumpul kami pun berangkat menuju kelas.

“Bentar ya gua mau ke si Windi dulu.” Kata Bintang sambil meninggalkanku dan anak-anak lainnya.

Bintang memberikan pembalut yang tadi dia beli di minimarket. “Buat lu nih Win.”

“Apa maksud lu ngasih pembalut ke gua?” Tanya Windi kepada Bintang yang memberikannya pembalut.

“Ini akhir bulan kan Win.”

“Terus?”

“Emang bulan lu belum dateng?” Tanya Bintang kepada Windi.

“Bulan-bulan gua lu yang sibuk.”

“Bulan lu tanggung jawab gua Win.”

“Gausah lu pedulikan bulan gua.”

“Antisipasi Win.”

“Bulan gua belum datang.” Windi memberitahu Bintang.

“Datengin dong.” Ucap Bintang sambil cengengesan.

“Minta di hajar lu ya.” Ucap Windi sambil menarik kerah baju Bintang.

“Iya iya maaf.” Bintang memberikan pembalut itu kepada Windi.

Aku dan anak-anak yang lainnya memasuki kelas, dari kejauhan aku melihat sosok Dila yang sedang duduk di kursinya bersama dengan Jey yang merupakan sahabat dekatnya setelah Windi. Karena tempat duduk kami yang bersebelahan di belakang aku pun jadi sering memperhatikannya, bagaimana dia berbicara dengan lembut dan pelan, bagaimana dia menutup mulutnya saat tertawa, dan bagaimana saat dia tersenyum. Itu adalah hal-hal indah yang selalu membuat aku semangat untuk sekolah.

Waktu berlalu begitu cepat, dan sekarang kami telah memasuki bulan Mey, bulan yang menandai akhir dari musim hujan dan juga akhir dari perjalanan SMA ku. Aku duduk tegak di kursi berwarna coklatku, memegang pulpen dengan erat sambil bersiap untuk mencatat materi-materi penting untuk Ujian Nasional yang akan datang. Saat pembelajaran dimulai, pandanganku terbagi antara dua arah yang berbeda. Pertama, aku menatap ke arah papan tulis yang dipenuhi oleh coretan-coretan rumus fisika yang terlihat seperti labirin rumit yang membuat otakku men-didih dalam upaya memahaminya.

Namun, pandanganku yang tak terbendung selalu tertuju pada sosok wanita yang berada di sampingku. Dia adalah Dila, wanita yang senyumnya seperti langit senja yang berwarna jingga, memancarkan kehangatan dan keindahan. Setiap kali dia tersenyum, seolah-olah sinar matahari terbenam di balik matanya, menciptakan aura yang menenangkan dan mempesona. Saat mataku terpaku padanya, aku tak bisa menahan pikiran yang terus menghantui. Aku selalu berpikir, bagaimana jika dia memiliki perasaan yang sama? Bagaimana jika dia melihatku bukan hanya sebagai teman atau pengganggu yang selalu membuatnya kesal? Tentu saja aku ingin dia melihatku sebagai seseorang yang tak terpisahkan dari hidupnya, sebagai orang yang selalu dia butuhkan dan inginkan. Aku ingin menjadi rumah bagi hatinya yang terdalam, tempat dia merasa aman dan berdiam untuk selamanya.

“Den, Den... Jangan ngelamun.” Bisik Dila padaku, menghentikan lamunanku yang tenggelam dalam pikiran tentangnya.

“Eh iya, iya.” Aku berusaha kembali fokus mem-perhatikan guru yang sedang mengajar di depan kelas.

“Oke anak-anak, karena hari senin kalian sudah mulai Ujian Nasional, bapak harap kalian bisa melakukan yang terbaik untuk Ujian tersebut, dan juga karena masa SMA kalian hanya tinggal menghitung bulan saja sebelum lulus, bapak berpesan agar saat dewasa nanti kalian tidak kecewa atas keputusan yang kalian buat saat ini.” Ucap guru itu sambil meninggalkan kelasku karena mata pelajarannya sudah selesai.

Aku yang mendengar kata-kata dari guru itu langsung melihat ke arah Dila yang berada tak jauh dariku.

“Dila” Ucapku memanggilnya dengan nada lembut.

“Iya den, ada apa?” Jawab Dila sambil menghadap ke arahku.

Tak lama setelah aku memanggil Dila, Bintang dan Hendrik menghampiriku untuk mengajakku ke kantin.

“Oi Deni, kantin nggak?”

“Nanti gua nyusul.”

“Serius lu kagak ikut? Awas aja kalau nanti sebelum lu ke kantin udah keburu bel, jangan nyalahin gua dan bilang gua kagak ngajak lu ya.” Ucap Bintang sambil berjalan menuju kantin bersama Hendrik, Yomi, Robi, dan Zahid.

“Eh barusan kamu mau bilang apa?” Tanya Dila sambil melanjutkan perkataan yang tadi.

Aku tersenyum kepada Dila. “Nggak papa ko.”

“Dil, lu mu ke kantin nggak?” Tanya Windi yang ingin ke kantin bersama Jey.

Dila berdiri dari tempat duduknya. “Iya ayo.”

“Den, kamu mau ke kantin nggak? Kalau mau sekalian barengan ayo.” Ajak Dila kepadaku yang berjalan di depan ku. Aku hanya tersenyum dan berdiri mengikuti langkah Dila untuk ke kantin.

Windi menggerutu. “Lu bukannya bareng sama anak cowoknya malah ngikut kita.”

“Nggak ada hak buat lu ngomong gitu kegua, gua mau jalan sama siapa pun juga itu hak gua.” Ucapku sambil ber-jalan di samping Dila.

“Ini bocah songong bet.” Windi langsung menendang belakang kakiku yang membuat aku jatuh.

“Lu ngapain si anjir? Nggak bisa diam jadi cewek, si Bintang kayaknya nggak normal pacarin lu.” Ucapku dengan nada ngegas.

Windi kembali memukulku. “Berisik.”

Windi berjalan terlebih dahulu bersama Jey, Dila yang melihatku yang belum berdiri menghampiriku untuk membantuku berdiri. “Makannya jangan ngeselin, kan kena batunya sendiri.”

“Iya iya maaf.” Ucapku sambil memegang tangan Dila dan berdiri.

Setelah sampai di kantin aku berjalan bersama Dila menuju ibu kantin yang sedang sibuk-sibuknya mengurusi orang yang membeli makanan.

“Bu, bu.” Ucapku sambil memanggil ibu kantin.

“Oh Deni sama neng geulis kebetulan kalian dateng kesini, tolong bantuin ibu ya soalnya ini rame banget yang beli.” Ucap Ibu kantin meminta bantuan kepadaku dan Dila.

Aku dan Dila berjalan menuju tempat ibu kantin. “Boleh bu, tapi hutang-hutang Deni lunas ya.”

“Kalau itu beda lagi.”

“Bercanda kok bu.” Aku tersenyum sambil berjalan menuju siswa laki-laki yang ingin membeli makanan.

“Kak saya mau beli kak.” Kata siswa itu yang ingin membeli makanan di sini.

“Mau beli apa dek, mau beli bakso? Mie ayam? somay? Atau si kakak ini?” Ucapku sambil menunjuk ke arah Dila.

Siswa itu tersenyum sambil menunjuk ke arah Dila. “Ya udah kak saya beli si kakaknya aja.”

“Eh yang ini nggak di jual dek, soalnya stoknya terbatas, kebetulan kakak juga dapetnya lewat gacha.” Ucapku sambil sambil tersenyum.

Dila yang mendengar perkataanku langsung mencubit perutku dengan kuat. “Jangan mengusili adik kelas, Deni.”

“Ayam.” Ucapku secara refleks karena tersentak oleh cubitan tajam dari Dila, lalu dia menarik ku ke belakang untuk menggantikan ku dalam melayani pelanggan lain.

“Iya dek, jadinya beli apa?” Tanya Dila kepada siswa itu.

“Tadinya mau beli kakak, tapi karena kakak udah dimiliki sama si kakak itu, ya udah beli somaynya aja kak 5.000 nggak pake sambel ya.” Ucap siswa itu sambil mengusili Dila dan menunjuk ke arahku.

“Ehh.” Dila terkejut karena siswa itu beranggapan kalau aku berpacaran dengannya .

“Bu somaynya 5.000 nggak pake sambel.” Ucapku kepada Ibu kantin.

Ibu kantin langsung menghampiriku dan memberikan nampan makan kepadaku dan nampan minuman kepada Dila. “Den kamu sama si neng geulis tolong anterin ini ke meja nomor  tiga sama nomor enam ya, ini pesanannya tiga bakso, sama empat mie ayam, terus teh tawarnya tiga dan air mineralnya 4.”

Aku dan Dila berjalan menuju meja nomor tiga dan nomor enam, dan ternyata meja nomor tiga diisi oleh Windi, Jey dan Bintang, sedangkan meja nomor empat diisi oleh Hendrik, Robi, Yomi dan Zahid.

“Ini kak, makanannya tiga bakso sama—”  Ucapku, dan di lanjutkan oleh Dila. “Tiga teh tawar.” Sambil memberikan bakso dan teh tawar itu kepada Windi, Jey dan Bintang.

“Kalian berdua lagi ngapain?” Tanya Jey kepada Dila yang sedang mengantar minuman.

Aku tersenyum. “Kita lagi simulasi rumah tangga.”

“Gua kagak nanya sama lu.” Ucap Jey kepadaku yang menimpali perkataannya.

Dila tertawa kecil. “Aku sama Deni disuruh bantuin ibu kantin katanya lagi rame, jadi minta bantuan kita berdua.” Ucap Dila menjawab perkataan Jey, dan kembali berjalan mengikuti ku untuk mengantar makanan dan minuman kepada meja Hendrik.

“Ini pesanan untuk bapak Hendrik dan kawan-kawan, empat mie ayam sama empat air mineral.” Ucapku sambil meletakan makanannya di meja makan mereka.

“Oi ege, lu ngapain nganter makanan? Makannya lu jangan ngutang mulu, jadi romusa kan lu sekarang.” Ucap Hendrik sambil tertawa bersama mereka berempat.

“Sialan, ya udah kalau lu banyak omong gua bawa balik lagi ni mie ayam.” Ucapku sambil mengangkat kembali makanan mereka.

“Eh... eh... eh... bercanda ege, nggak usah dianggap serius juga kali.” Hendrik manahan makanan yang mau aku angkat.

Aku dan Dila kembali ke tempat ibu kantin untuk membantunya kembali, setelah beberapa pesanan di antar-kan akhirnya selesai juga pekerjaanku, dan aku pun langsung memesan makan kepada ibu kantin untuk makan bersama Dila.

“Bu, mie ayamnya dua sama air mineralnya dua ya.” Ucapku kepada Ibu kantin sambil duduk di kursi bersama Dila.

“Sebentar ya ibu cek dulu.” ibu kantin mengecek makanannya apakah masih ada atau sudah habis. “Aduh ibu minta maaf nih, mie ayamnya cuma sisa satu porsi lagi.”

“Kalau bakso atau somay bu?”

“Bakso sama somay juga udah abis semua, sisa tinggal mie ayam doang.”

“Yah gimana dong?” Ucap Dila kepadaku.

Ternyata semua makanan yang di kantin sudah habis, hanya menyisakan satu porsi mie ayam saja dan tak ada lagi yang lain.

“Ya udah gini aja, ibu kasih mie ayam ini gratis sebagai tanda terima kasih dan minta maaf ibu ke kalian, gimana?” Kata ibu kantin kepadaku dan Dila.

“Ya udah bu, nggak papa buatin aja mie ayam buat Dila.”

“Kok buat aku doang?” Tanya Dila kepadaku.

“Yakan tinggal satu porsi lagi, kalau kamu nggak makan nanti kamu laper.” Jawabku kepada Dila.

“Ya udah, kita makan setengah-setengah aja.” Ucap Dila memberikan solusi atas masalah yang terjadi.

“Nanti kamu nggak kenyang. Jadi mie ayamnya buat kamu aja.” Aku mencoba menolak solusi dari Dila.

“Ya udah kalau kamu nggak makan, aku juga nggak akan makan.” Ucap Dila dengan muka cemberut dan mengancam ku.

“Iya deh iya aku makan juga.” Aku menghela nafas dan mengalah atas egoku sendiri.

Dila kembali tersenyum. “Nah gitu dong, harus nurut.”

“Ini buat kalian mie ayam sama dua air mineralnya.” ibu kantin memberikan mie ayam itu kepadaku dan Dila.

Dila meraih dengan lembut mangkuk mie ayam itu.. “Makasih ya bu.”

Kami duduk berseberangan, saling berhadapan di meja kecil di sudut kantin yang ramai. Dila mengambil sepasang sumpit dengan anggun, siap untuk menikmati mie ayam yang baru saja ibu kantin buat. Aku tersenyum padanya, terpesona oleh senyuman indahnya.

“Selamat makan.” Ucap Dila sambil memegang sumpit untuk memakan mie ayam tersebut. Aku yang melihat Dila yang sedang makan di hadapanku hanya tersenyum ke arahnya, melihat bagaimana cara dia makan, bagaimana dia tersenyum, dan bagaimana dia selalu cemberut saat aku mengusilinya.

“Kamu ngapain senyum-senyum, ayo makan.” Dila menyuruhku untuk makan juga bersamanya.

“Iya deh iya, selamat makan.” Ucapku sambil mengambil sumpit dan memakan mie ayam itu semangkuk berdua.

“Pelan-pelan makannya ntar tersedak lagi.” Dila yang menegurku yang makan cepet-cepet barusan.

“Enggak kok, kan aku kuat.” Ucapku sambil kembali memakan mie ayam itu dengan cepat-cepat, tiba-tiba aku tersedek saat memasukan mie ayam itu ke mulutku yang membuatku batuk-batuk.

Dila mengambil air mineral tadi dan memberikannya kepadaku. “Baru dibilangin ntar tersedak udah kejadian aja, makannya kalau di kasih tau itu nurut, jangan ngeyel.”

“Hehehe, maaf-maaf.” Ucapku yang baru saja selesai meminum air mineral yang baru saja Dila berikan kepadaku.

Setelah selesai makan aku dan Dila meninggalkan kantin dan berangkat menuju kelas untuk kembali belajar mata pelajaran terakhir hari ini, dan juga ini adalah hari terakhir kegiatan belajar mengajar berakhir untuk kelas 12, karena minggu depan akan diadakan ujian akhir atau biasa disebut Ujian Nasional. Sesampai di kelas aku kembali ketempat duduk ku begitu juga Dila yang kembali ketempat duduknya yang berdekatan denganku.

Aku tak pernah tahu hatimu untuk siapa, dan juga aku tak pernah merasa sebahagia ini dalam mencintai seorang manusia. Bagiku, dirimu adalah kebahagian itu sendiri, menggantung kan kebahagiaanku padamu merupakan caraku untuk mencintaimu. Kamu adalah satu warna yang menghiasi hatiku yang tak berwarna, aku tak menginginkan warna-warni pelangi untuk menghiasi hatiku, yang aku inginkan hanya satu warna, yaitu jingga dan itu ada di kamu.

Entah aku akan memilikimu atau tidak di akhir nanti, tapi aku senang bisa mencintaimu setulus ini.

...****************...

1
dean
Semangat tor, kami tunggu Volume 2nya
•Rifa_Fizka
Hallo kakak mampir juga dong di novel aku ,yang berjudul kekuatan hati wanita ceritanya seruuu
dean
Sad banget, udah mengungkapkan tapi nggak kedenger
calliga
Yah jadi sadboyy
calliga
Malu" kucing
calliga
Kyaaa so sweet
calliga
Guru nya dendam pribadi kah
dean
Alurnya bagus, apalagi pad prolognya dibuat dari sudut pandang cowok yang tidak bisa moveon dan belum pernah mengungkapkan perasaannya
calliga
Lanjut thor!,bantu mampir ya Ke novelku "dragon lord system", xD
calliga
Guru killer
calliga
Ngantri sembako dong
calliga
Apes sekali yah xD
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!