Putri Regina Prayoga, gadis berusia 28 tahun yang hendak menyerahkan diri kepada sang kekasih yang telah di pacari nya selama 3 tahun belakangan ini, harus menelan pahitnya pengkhianatan.
Tepat di hari jadi mereka yang ke 3, Regina yang akan memberi kejutan kepada sang kekasih, justru mendapatkan kejutan yang lebih besar. Ia mendapati Alvino, sang kekasih, tengah bergelut dengan sekretarisnya di ruang tamu apartemen pria itu.
Membanting pintu dengan kasar, gadis itu berlari meninggalkan dua manusia yang tengah sibuk berbagi peluh. Hari masih sore, Regina memutuskan mengunjungi salah satu klub malam di pusat kota untuk menenangkan dirinya.
Dan, hidup Regina pun berubah dari sini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Five Vee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 28. Thanks, Babe.
Keesokan harinya di apartemen William.
“Ada apa, Hon?” Tanya William yang melihat sang sekretaris mematung di depan meja rias di ruang ganti kamarnya. Tangan wanita itu tengah menggenggam ponsel.
“Ini.” Regina menyerahkan benda pintar itu kepada William. Bibir pria tampan itu perlahan terbuka, menganga dengan lebar. Setelah melihat gambar di layar ponsel.
“Siapa yang mengirimnya, Hon?”
Regina mengedikan bahunya, tanda tidak tau.
“Aku yakin, yang mengirim ini, pasti sekretaris si rahwana.”
“Kenapa kamu seyakin itu?”
William menghela nafasnya pelan. Ia kemudian sedikit memutar tubuh Regina agar menatapnya.
“Hon.. selingkuhan si rahwana yang tau kamu kekasih dia, hanya wanita itu. Aku tidak yakin, jika ini ulah seorang wanita bayaran, mereka tidak pernah perduli dengan kehidupan para penyewanya, yang mereka pikirkan hanya mendapat uang.”
“Hanya orang yang memiliki tujuan tertentu, yang akan melakukan hal seperti ini.” Imbuh pria itu lagi.
“Apa itu artinya Tamara memiliki tujuan tertentu?”
William menganggukkan kepalanya.
“Hubungan mereka sudah berjalan selama dua tahun di belakang mu, tidak menutup kemungkinan jika wanita itu memiliki perasaan kepada si rahwana.”
Regina menganggukkan kepalanya. Mungkin ada benarnya juga yang William katakan.
“Apa kamu ingin menjadikan ini sebagai bukti, untuk melabrak mereka?”
William berharap Regina berkata iya, dan mengajaknya melabrak Alvino saat ini juga. Namun gelengan kepala wanita itu, membuat William merasa kecewa.
“Sampai kapan, Hon? Anak buahku memang sulit mendapatkan bukti keintiman mereka, dan sekarang, saat bukti itu datang dengan sendirinya, kamu masih diam saja?”
William menggelengkan kepalanya tak percaya.
“Bukannya tidak mau, aku ingin melihat seberapa keras usaha dia. Aku yakin, jika sekarang aku tidak menanggapi ini, beberapa hari kedepan, dia pasti akan mengirimi ku bukti yang lebih banyak lagi.”
Regina mengusap lengan William, ia tau pria itu sedang menahan amarahnya.
“Aku ingin melabrak mereka secara elegan. Biarkan dia sendiri yang membuka perselingkuhannya.”
William menatap wajah cantik sang sekretaris. Kemudian mendekap erat tubuh wanita itu.
“Apapun yang kamu lakukan. Aku akan mendukungmu.”
“Thanks, babe.”
William seketika melepaskan pelukannya, ia menggaruk telinganya dengan telunjuk tangan kanan, berharap indera pendengarannya tak salah mendengar.
“Ulangi sekali lagi.” Ucapnya dengan mata berbinar.
Regina tersenyum. Ia kemudian mengulangi apa yang telah di ucapkannya.
“Thanks, babe.”
Mendengar itu, William kembali meraih tubuh Regina dan memeluknya erat.
“I love you, Honey.”
Namun kali ini, Regina tak membalas ucapannya itu.
******
“Minumlah, Al.”
Tamara meletakan segelas air lemon di hadapan Alvino yang sedang duduk di kursi meja makan.
Alis pria mengerenyit, menatap Tamara dan gelas itu secara bergantian.
“Semalam kamu mabuk berat, minum air lemon katanya dapat meredakan rasa mabuk.” Jelas Tamara sambil mendaratkan bokongnya di atas kursi di sebelah Alvino.
“Thanks, Ta.”
“Kalau tidak bisa minum, tidak usah minumlah. Apa nona Regina belum memaafkanmu? Sampai kamu mabuk berat begitu?”
Alvino menatap ke arah sang sekretaris.
“Dia sudah memaafkan aku.”
Deg!!
Tamara seketika mengangkat wajahnya yang sejak menunduk menatap makanan di hadapannya.
“Lalu, untuk apa mabuk?”
Alvino meminum air lemon yang di berikan oleh Tamara. Matanya menyipit ketika rasa asam melintasi kerongkongan.
“Ada salah satu temanku yang mengundang untuk minum. Aku terlalu larut, hingga tidak sadar minum terlalu banyak.”
Pria itu kemudian menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Ia kembali menatap wajah Tamara. Wajah yang sering terlihat ceria, kini berubah sendu.
“Apa semalam aku berbuat kasar?” Tanya Alvino, ia yakin semalam, ia dan Tamara pasti sudah menghabiskan malam yang panas. Karena tadi ia terbangun dengan tubuh yang masih polos.
“Maksudmu apa?”
“Semalam kita melakukannya, bukan? Apa aku berbuat kasar?”
Tamara menggelengkan kepalanya. Alvino tidak berbuat kasar. Tetapi, pria itu menyakitinya dengan menyebut nama wanita lain saat ia mencapai puncaknya.
“Tidak.” Jawab wanita itu singkat.
Setelah menikmati sarapannya, Tamara kembali ke kamar. Sementara, Alvino sudah lebih dulu pergi ke kantor.
Wanita itu mengecek ponsel lain yang ia gunakan untuk mengirim pesan bergambar kepada Regina. Namun ia tak mendapatkan balasan dari wanita itu.Hanya terlihat tanda jika pesan itu telah terbaca.
“Jadi kamu tidak perduli?” Wanita itu berdecak sebal.
“Baiklah, sekarang kamu boleh tidak perduli. Tetapi kita lihat nanti. Aku akan membuat kamu melihat secara nyata, kekasihmu bersama ku di atas ranjang.”
*****
“Apa suasana hatimu berubah buruk setelah melihat foto itu, Hon?” William bertanya kepada Regina yang ia lihat termenung di meja kerjanya.
“Tidak.”
“Lalu? Aku lihat kamu tidak bersemangat setelah mendapat pesan itu.”
William mendekat. Pria itu berdiri di depan Regina, menyandarkan pantatnya di sisi meja sang sekretaris.
Regina mendongak, menatap sang atasan.
“Boleh peluk?” Tanyanya kepada pria yang sedang bersedekap itu.
“Sini.” William membuka kedua tangannya.
Regina kemudian mendekap pinggang pria itu, dengan posisinya yang masih duduk di kursi, dan William di pinggiran meja.
Tangan pria itu mengusap lembut kepala bagian belakang sang sekretaris.
“Menangis lah, Honey. Aku ijinkan kamu menangisi pria itu untuk yang terakhir kalinya.”
“Siapa yang memikirkan pria itu?” Ucap Regina di pinggang William.
“Lalu?”
“Aku memikirkan ayah, dia mengirim pesan, memintaku meminjam uang kepada atasanku.”
William mengerenyitkan dahinya.
“Jadi kamu tidak memikirkan si rahwana?” Tanyanya memastikan.
“Tidak. Babe.”
Regina melepas pelukannya, ia kembali mendongak menatap wajah tampan milik William.
“Katanya, ayah mau merenovasi toko mebelnya. Dia memintaku meminjam uang.” Jelas Regina kembali.
“Kenapa sampai berpikir keras begitu? Bukannya kamu sudah membawa kartu yang aku berikan? Gunakan itu saja.” Ucap William sembari menangkup kedua pipi wanita cantik itu.
“Apa boleh? Ayah meminta 50 juta. Itu terlalu banyak.”
“50 juta? Bukannya itu terlalu sedikit untuk merenovasi toko mebel? Apa toko mebel ayahmu hanya sebesar rumah kurcaci?”
Regina mencebikan bibirnya.
“Ayah hanya meminta untuk menutupi kekurangannya saja. Sisanya ayah sudah punya.”
William menganggukkan kepalanya paham.
“Kirimkan 100 juta.”
“Jangan, kasian ayah jika terlalu banyak membayar hutang.”
William menyeringai.
“Kan ada kamu yang menjadi jaminan hutangnya, jika ayahmu tidak bisa membayarnya, aku akan menjadikan kamu tahanan seumur hidup.” Ucap pria itu terkekeh. Ia menjadi gemas. Kemudian mencubit hidung milik Regina.
“Bagaimana bisa begitu?”
“Bisa lah, Honey. Apapun yang William Antony inginkan, pasti bisa.”
Regina berdecak kesal.
“Sudahlah, Honey. Aku hanya bercanda. Kirimkan berapapun yang ayahmu inginkan katakan padanya, jangan terlalu memikirkan masalah hutang.”
Regina tersenyum, kemudian mengangguk.
“Thanks, babe. Kamu selalu menjadi penyelamat untukku.”
“You’re welcome, Honey.”
William siap membenturkan bibir mereka, namun suara dentingan lift, membuat pria itu segera melompat. Dan berdiri tegak di sisi Regina.
.
.
.
Bersambung