Olivia Caroline adalah seorang wanita matang dengan latar belakang kedua orang tua broken home. Meski memiliki segalanya, hatinya sangat kosong. Pertemuan dengan seorang gadis kecil di halte bis, membuatnya mengerti arti kejujuran dan kasih sayang.
"Bibi, mau kah kamu jadi Mamaku?"
"Ha? Tidak mungkin, sayang. Bibi akan menikah dengan pacar Bibi. Dimana rumahmu? Bibi akan bantu antarkan."
"Aku tidak mau pulang sebelum Bibi mau menikah dengan Papaku!"
Bagaimana kisah ini berlanjut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kumi Kimut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 10
Alesia tersenyum puas, sementara Aarav hanya bisa menghela napas berat. Setelah telepon berakhir, gadis kecil itu menatap ayahnya dengan tatapan jahil.
"Pa, jangan galak-galak sama Bibi Olive, ya. Kalau nggak, nanti aku kasih tahu nenek," ancamnya main-main. Aarav mengangkat alis, bingung sekaligus geli.
"Nenek? Apa hubungannya nenek dengan Olive?" Alesia mengedikkan bahu, wajahnya penuh kepolosan. "Kan nenek bilang Papa harus cari teman baru. Siapa tahu Bibi Olive bisa jadi Mama Baru."
Aarav terkesiap, tak menyangka putrinya bisa berkata seperti itu. "Alesia, kamu nggak bisa sembarangan bicara seperti itu!" protes Aarav.
"Tapi aku suka Bibi Olive, Pa. Dan aku tahu Papa juga suka," jawab Alesia sambil tersenyum penuh arti.
Aarav kehilangan kata-kata. Ia hanya bisa memfokuskan pandangannya ke jalan sambil mencoba menenangkan hati yang tiba-tiba berdetak lebih cepat.
•••
Sesampainya di kantor, Aarav memarkir mobilnya. Ia turun terlebih dahulu untuk membuka pintu bagi Alesia.
Gadis kecil itu langsung melompat turun dengan semangat, menggenggam erat tangan ayahnya.
Di saat yang sama, Olive juga baru datang. Wanita ini tampak memarkirkan motornya di tempat parkir karyawan.
"Pa, aku mau menemui Bibi Olive."
"Jangan, nanti saja Nak."
"Gak mau, aku mau ketemu Bibi!"
Alesia melepaskan genggaman tangan Aarav dan berlari kecil menuju Olive, yang baru saja melepas helmnya. Olive terkejut melihat gadis kecil itu mendekatinya dengan wajah penuh semangat.
“Alesia! Pagi-pagi sudah di sini? Ada apa, sayang?” Olive tersenyum, meletakkan helm di jok motornya.
“Bibi Olive, aku mau main sama Bibi hari ini. Papa juga nggak boleh galak-galak sama Bibi,” ucap Alesia dengan wajah polos, membuat Olive terkekeh.
Aarav yang berjalan mendekat hanya bisa mengusap wajahnya, merasa putrinya sudah terlalu banyak bicara. “Alesia, kamu tidak boleh mengganggu Bibi Olive. Dia ke sini untuk bekerja, bukan menemanimu bermain.”
“Tapi Bibi nggak keberatan, kan?” Alesia menatap Olive dengan mata berbinar.
Olive melirik Aarav sejenak, lalu menunduk ke arah Alesia. “Tentu saja Bibi senang kamu datang, tapi Bibi harus kerja dulu. Kalau kamu mau, nanti kita ngobrol sebentar, ya?”
Alesia mengangguk antusias. “Oke, Bibi. Janji, ya!”
“Janji,” Olive menjawab sambil mengacungkan kelingkingnya untuk disambut oleh Alesia. Mereka berdua tertawa kecil.
Aarav hanya bisa menghela napas. “Olive, maaf kalau Alesia mengganggumu. Dia memang agak keras kepala kalau sudah punya keinginan. Hari ini bahkan Alesia tidak mau bersekolah karena ingin bertemu denganmu."
“Tidak apa-apa, Pak Aarav. Alesia itu anak yang manis. Saya senang dia nyaman dengan saya. Hm, kalau soal itu. Biar aku yang mengurusnya. Aku akan membuat Alesia rajin berangkat sekolah," jawab Olive dengan senyum lembut.
"Benar kah? Apa tidak merepotkan?"
"Tidak pak, tenang saja. Bapak masuk saja dulu. Biar aku yang mengurus putrimu."
"Oh oke, terima kasih sekali lagi."
"Ya."
Selepas kepergian Aarav, Olive berjongkok sambil menatap wajah Alesia." Nak, kamu sayang sama bibi?"
"Ya Bibi, tentu saja."
"Kalau sayang, kenapa tidak berangkat sekolah?"
"Kan aku ingin bermain dengan bibi."
"Kalau bermain bisa nanti juga kan? Eh Papamu udah bilang belum kalau nanti malam mau ke rumah Bibi?"
"Ha? Mau ngapain ke rumah bibi? Mau ngelamar ya?"
"Haha gak lah. Ngelamar gimana orang kita cuma bos dan anak buah. Gak sejauh itu sayang. Gini lho, adik bibi, namanya paman Peter, hari ini ulang tahun. Bibi mau rayain bareng teman-teman Bibi dan keluarga. Katanya Pak Aarav mau datang, jadi kamu bakalan ketemu Bibi deh."
"Serius? Nanti malam ke rumah Bibi?"
"Iya. Gimana? Kamu suka kan?"
"Suka banget bibi!"
Alesia langsung melompat kegirangan, wajahnya berseri-seri penuh semangat. Olive hanya bisa tersenyum melihat antusiasme gadis kecil itu. "Tapi, ada syaratnya, Alesia," lanjut Olive dengan nada lembut.
"Apa, Bibi? Aku akan lakukan apa saja!" jawab Alesia tanpa ragu.
"Kamu harus janji sama Bibi untuk berangkat sekolah besok, dan tidak boleh bolos lagi tanpa alasan yang penting."
Alesia terlihat berpikir sejenak, lalu mengangguk tegas. "Oke, aku janji, Bibi. Tapi Bibi harus main sama aku juga nanti malam."
Olive tertawa kecil. "Janji. Tapi sekarang, bagaimana kalau kamu ikut Bibi ke dalam? Biar kita ngobrol sebentar sebelum Bibi mulai kerja."
Alesia mengangguk semangat, lalu menggandeng tangan Olive. Mereka berdua berjalan ke arah kantor, meninggalkan Aarav yang memperhatikan dari kejauhan. Pria itu menghela napas sambil tersenyum tipis.
"Entah kenapa aku merasa, Olive benar-benar seperti Rachel. Mungkin, ini tanda aku harus memberi kesempatan," gumamnya pelan sebelum melangkah masuk.
•••
Di ruang kerjanya, Aarav sibuk memeriksa dokumen. Tapi pikirannya terus melayang pada percakapan singkat antara Olive dan Alesia tadi. Tatapan hangat Olive, cara dia berkomunikasi dengan Alesia, dan senyum lembutnya terus terbayang di benaknya.
"Kenapa aku tidak bisa berhenti memikirkannya? Padahal, hubungan kami hanya sebatas bos dan karyawan. Apa mungkin ini lebih dari itu?"
Sambil menggeleng pelan, Aarav mencoba memfokuskan diri kembali pada pekerjaannya. Namun, rasa penasaran dan perasaan aneh di dadanya tak kunjung hilang.
Sementara itu, di ruangan lain, Olive sedang menemani Alesia yang asyik menggambar. Gadis kecil itu dengan senyum lebar memperlihatkan hasil gambarnya—sebuah keluarga kecil yang terdiri dari seorang ayah, seorang ibu, dan seorang anak kecil.
"Lihat, Bibi! Ini aku, Papa, dan..." Alesia berhenti sejenak, lalu menunjuk sosok wanita dalam gambar itu. "...dan ini Bibi Olive."
Olive tertegun. Perasaan hangat menjalari hatinya saat mendengar kata-kata polos itu.
"Alesia... kenapa Bibi ada di sini?" tanyanya lembut.
"Karena aku ingin Bibi jadi bagian dari keluarga kami. Bibi baik, perhatian, dan aku suka Bibi."
Olive tersenyum kecil, meski hatinya sedikit tersentuh.
"Kamu manis sekali, sayang. Tapi, Bibi tidak bisa menggantikan posisi Mamamu. Kamu tahu itu, kan?"
Alesia mengangguk pelan. "Iya, tapi aku tahu Papa juga suka sama Bibi. Nanti kalau Papa mau, Bibi jangan nolak ya!"
"Alesia!" Olive tertawa kecil, mencoba menutupi rasa malu sekaligus bingungnya. "Kamu ini ada-ada saja."
Tapi jauh di dalam hatinya, ucapan Alesia tadi meninggalkan kesan mendalam. "Apa mungkin... ini takdir?" batinnya perlahan bertanya.
Olive begitu kerasan menemani Alesia menggambar, pikirannya sesekali melayang pada kejadian kemarin.
Hatinya masih terasa berat saat mengingat keputusan Mario yang tiba-tiba memutuskan hubungan mereka.
"Kenapa semuanya harus berakhir seperti ini?" batinnya merintih. Hatinya terbelah antara rasa kecewa dan keinginan untuk melupakan.
Namun, suara riang Alesia mengembalikannya ke kenyataan. Gadis kecil itu memamerkan gambar sederhana dengan senyum lebar yang tak tertahankan.
"Bibi Olive, lihat! Kamu cantik di sini!"
Olive tertawa kecil, meskipun senyumnya mengandung sedikit rasa perih. "Terima kasih, Alesia. Gambar kamu selalu indah," ujarnya lembut.
Melihat Alesia yang begitu polos dan penuh semangat mengingatkannya bahwa hidup tidak selalu tentang apa yang hilang. Terkadang, kebahagiaan kecil seperti ini bisa menjadi penyembuh bagi luka yang dalam.
Namun, di dalam hatinya, ia bertanya-tanya apakah mungkin Aarav, dengan semua perhatian kecil yang ia tunjukkan akhir-akhir ini, adalah jawabannya untuk melupakan Mario.
Tetapi pikiran itu segera ia tepis. Hubungannya dengan Aarav hanyalah sebatas bos dan bawahan—tidak lebih.
Alesia selesai menggambar, Olive mencoba mengalihkan pikirannya sepenuhnya pada pekerjaan. Di sudut hatinya, bayangan Mario dan senyum kecil Aarav yang ia tangkap pagi tadi silih berganti menghantui.
“Kenapa rasanya semuanya menjadi lebih rumit?”