“Addunya kulluhaa mata', wa khoyru mata’uddunya al mar’atushshalehah”
“Dunia seluruhnya adalah perhiasan. Dan sebaik-baik perhiasan adalah istri yang shalihah."
Kelanjutan cerita di Balik Cadar Aisha.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Almaira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kejutan
Menginjak usia kehamilannya yang ke delapan bulan, Aisha semakin terlihat kepayahan, perutnya yang semakin membesar membatasi semua aktivitasnya, beruntung dia mempunyai suami yang siaga, di trisemester akhir kehamilan istrinya, Alvian sudah mengurangi sedikit pekerjaannya agar bisa selalu menemani istrinya.
Untuk urusan pekerjaan rumah, sudah semenjak beberapa bulan ini Aisha dibantu oleh seorang ART yang sengaja dicari suaminya untuk membantu istrinya, selain itu Alvian juga ingin agar istrinya mempunyai teman di rumah sementara dia bekerja di Rumah Sakit.
Hari ini Alvian sedang libur bekerja, dia bersama istrinya sudah merencanakan dari jauh-jauh hari jika libur kali ini akan dihabiskan untuk pergi berbelanja semua perlengkapan bayi. Keduanya sudah tak sabar membeli semua kebutuhan dan pernak-pernik untuk sang buah hati yang kira-kira sebulan lagi akan lahir ke dunia. Antusiasme Alvian semakin bertambah ketika hasil USG memperkirakan jika calon anak pertamanya adalah perempuan, sesuai keinginannya dulu.
"Sayang. Bisakah hasil USG keliru?" tanya Aisha sambil merapikan diri di depan kaca.
"Tentu saja sayang. Hasil USG tidak selalu akurat seratus persen."
Aisha terdiam. Dia menyadari jika secanggih apapun mesin buatan manusia, tetap Allah yang Maha Kuasa. Manusia bisa memperkirakan namun tetap Allah SWT yang akan menentukan.
"Laki-laki atau perempuan sama saja sayang, yang terpenting anak kita lahir sehat dan selamat. Begitu juga dengan kamu ibunya." Alvian memeluk istrinya yang merenung dari belakang.
Keduanya lantas bersiap untuk pergi, namun tiba-tiba ponsel Alvian berdering.
Wajah suaminya tiba-tiba menjadi tegang setelah mengangkat telepon yang ternyata dari ibunya.
"Bagaimana keadaannya sekarang?" Alvian panik.
"Baiklah. Kabari aku lagi." Alvian menutup teleponnya.
Dia langsung melihat istrinya yang ikut panik.
"Apa ayah sakit?" tanya Aisha mendahului.
Alvian mengangguk.
"Cepatlah pulang sayang. Lihat keadaan ayah. Kasihan juga ibu yang pasti sedih dan kebingungan."
"Sudah ada Andre dan Kak Siti disana."
"Tapi kamu tetap harus pulang dan melihat keadaan ayah."
"Tapi kamu?" Alvian merasa berat meninggalkan istrinya.
"Aku tidak apa-apa disini. Ada Bi Yani yang menemaniku."
Alvian kebingungan. Dia tahu jika istrinya sudah sangat menantikan liburnya kali ini agar bisa pergi berbelanja peralatan bayi.
"Kita bisa berbelanja juga nanti saja. Insyaallah masih banyak waktu."
"Baiklah kalau begitu. Aku pergi dulu."
Aisha mengangguk.
"Maafkan aku sayang."
"Tidak apa-apa." Aisha tersenyum.
Alvian akhirnya pergi setelah menitipkan istrinya pada Bi Yani, ART yang bekerja di rumah mereka.
Sepeninggal suaminya, Aisha langsung menghubungi Kak Siti untuk menanyakan keadaan ayah mertuanya.
"Alhamdulillah sudah lebih baik. Kata dokter yang datang memeriksa barusan, tidak perlu dibawa ke Rumah Sakit, cukup dirawat di rumah saja."
"Syukur Alhamdulillah ya Allah." Aisha lega mendengarnya.
"Suamiku sedang dalam perjalanan kesana."
"Lalu kamu sendiri di rumah?"
"Tidak. Ada Bi Yani yang menemaniku."
"Syukurlah. Hati-hati ya dik. Jaga kandunganmu."
"Iya kak. Oh iya kabari aku terus juga tentang kesehatan ayah." Aisha menutup teleponnya setelah mengucapkan salam
Bi Yani yang memperhatikan sedari tadi menghampiri Aisha.
"Sakit apa neng mertuanya?"
"Alhamdulillah tidak parah bi, hanya sakit biasa saja."
"Saya pikir sakit parah neng, sampai bapak tega batalin rencana berbelanja baju-baju bayi sama ninggalin neng."
Aisha tersenyum.
"Bi. Terkadang ada istri yang lupa jika suaminya adalah seorang putra yang mempunyai tanggung jawab kepada orang tuanya sampai dia meninggal, bukan sampai orang tuanya yang meninggal."
"Dan salah satu ciri istri shalihah adalah istri yang tidak ridho jika suaminya lebih mengutamakan dirinya dibandingkan kedua orang tuanya terutama ibunya. Dan sebaik-baiknya istri ialah istri yang mendukung suaminya agar berbakti kepada ibunya, karena sebagaimana engkau memperlakukan, begitu juga engkau akan diperlakukan kelak oleh anak menantumu."
Yani tersenyum kecut. Langsung mengingat ketika dulu dirinya yang selalu tak akur dengan ibu mertuanya, hingga akhirnya sekarang dia-pun tak bisa akur dengan menantunya.
***
"Bagaimana keadaanmu?" Terapis melihat Lela yang sedikit sumringah hari ini.
"Alhamdulillah. Jauh lebih baik." Lela tersenyum.
Diah senang melihat perkembangan Lela yang semakin menunjukkan kemajuan yang berarti, apalagi semenjak Lela dan suaminya berbagi kamar, dia tak mendapatkan keluhan dari Lela jika dirinya merasa takut atau tertekan, baginya itu adalah kabar bagus yang menandakan jika Lela sudah mulai akan benar-benar pulih.
Setelah berbincang sejenak, menanyakan beberapa hal, Diah meyakini jika tinggal satu tahap lagi Lela akan sembuh sepenuhnya.
"Baiklah. Kita mulai yuk." Diah berdiri.
Seperti sudah paham, Lela lalu berpindah pada kursi santai di pojok ruangan.
Proses hipnoterapi dilakukan. Proses yang selama ini digunakan oleh terapis untuk membantu proses penyembuhan Lela dari traumanya. Hipnoterapi bekerja dengan cara memasuki alam bawah sadar seseorang, lalu memberikan sugesti tertentu untuk membantu proses penyembuhan. Tujuan dari hipnoterapi adalah untuk membantu seseorang mengontrol keadaan kesadaran dengan lebih baik. Pada kasus depresi dan trauma, terapi ini difokuskan untuk membantu pengidapnya agar lebih rileks sehingga bisa mengendalikan emosi dan perasaannya.
Lela mulai memasuki alam bawah sadarnya.
Terapis mulai mulai memberikan banyak pertanyaan seputar penyiksaan yang dulu dilakukan suaminya.
Terapis dan Zayn tersenyum melihat Lela yang kini sudah lebih tenang menceritakan semuanya, tidak ada lagi isak tangis, badan yang gemetar hingga keringat dingin yang yang keluar. Lela nampak semakin rileks dari sebelum-sebelumnya.
Setelah sesi terapi selesai, Diah mengajak Lela untuk berbicara hanya berdua saja. Sementara Zayn menunggu di luar.
"Alhamdulillah. Saya bisa nyatakan jika kamu sudah sembuh."
"Alhamdulillah ya Allah." Lela mengucapkan rasa syukurnya. Matanya berkaca-kaca.
"Mau tau kenapa saya bisa mengatakan itu?"
Lela menggelengkan kepalanya dengan penasaran.
"Mari kita lihat rekaman saat kamu di hipnoterapi barusan." Diah memutar layar laptopnya untuk diperlihatkan pada Lela.
Lela tersenyum malu melihat rekaman dirinya di bagian akhir, ketika terapisnya itu memberinya sugesti jika seakan-akan Zayn datang mendatanginya. Memegang dan menyentuh tubuhnya.
"Tak ada reaksi penolakan dan ketakutan darimu. Itu berarti kamu memang sudah sembuh dan siap menjalankan kewajibanmu."
Lela tersipu. Tak dapat dipungkiri jika memang semenjak dirinya dan suaminya berbagi kamar, membuatnya semakin merasa nyaman hingga rasa takut dan cemas yang selalu dia rasakan perlahan menghilang.
"Berilah suamimu kejutan malam ini. Beri dia hadiah atas cinta, dukungan dan kesabarannya selama ini padamu."
***
Dengan langkahnya yang ragu, Lela berjalan menuju kaca besar di depannya. Lingerie tipis dan menerawang yang dikenakannya membuat hampir seluruh tubuhnya terekspos dengan sempurna. Dia lantas tersenyum sendiri, membayangkan reaksi suaminya jika melihatnya nanti.
Walau ini akan menjadi kali kedua bagi suaminya melihatnya berpakaian seperti ini, namun berbeda dengan waktu itu yang Lela terpaksa melakukannya karena emosi dan kecemburuannya, kali ini dengan seluruh kesiapannya, secara lahir dan juga batinnya. Lela akan menyerahkan dirinya seutuhnya kepada sang suami.
Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Lela dengan sigap segera mengangkat teleponnya.
"Apa kamu sudah mengerjakan tugas yang aku berikan?" Suara berat di ujung telepon mengagetkannya.
Lela terhenyak. Seketika napasnya sesak. Jantungnya berdetak kencang. Ingatannya langsung kembali ke masa itu. Masa terkelam dalam hidupnya.
"Jawab aku!" Bentak suara itu lagi dengan keras.
"Be-Belum," jawab Lela gagap, takut dan gemetaran, keringat dingin bercucuran.
"Tunggu aku pulang dan rasakan akibatnya."
Lela langsung menjatuhkan ponselnya. Badannya semakin gemetar dan wajahnya pucat.
Dia lalu lari menuju pojokan kamar, menangis histeris sambil menutup telinganya karena suara Ammar mantan suaminya yang baru saja menelepon terus terngiang-ngiang di telinganya.
soalx jau dri suami😚😚
sy suka ceritax dan akan slalu menunggu kelanjutanx
smangat thor km hebat🙏🙏