Sebuah surat undangan dari seorang penulis ternama di kabupaten T yang ditujukan kepada teman teman sekelasnya di masa SMA dulu.
Mereka diundang untuk berkunjung ke rumah sang penulis. Rumah unik, dua lantai, semacam villa yang terletak di tepi sungai jauh di dalam hutan di kecamatan K.
Akses ke rumah tersebut hanyalah jalan setapak, sekitar 10 kilometer dari jalan utama. Siapapun yang memenuhi undangan akan mendapatkan imbalan sebesar 300 juta rupiah.
Banyak keanehan dan misteri dibalik surat undangan tersebut. Dan semua itu terhubung dengan cerita kelam di masa lalu.
Seri ketiga dari RTS.
Setelah seri pertama Rumah di Tengah Sawah (RTS 1), kemudian disusul seri kedua Rumah Tusuk Sate (RTS 2), kini telah hadir seri ketiga Rumah Tepi Sungai (RTS 3).
Masih tetap mencoba membawa kengerian dalam setiap kata dan kalimat yang tersusun. Semoga suka, dan selamat membaca.
Follow Instagram @bung_engkus
FB Bung Kus Nul
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bung Kus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26. Tia
Norita telah menyelesaikan makan siangnya sendirian saat Hendra datang dan mengambil tempat duduk di sebelahnya. Wajah Hendra tampak masam dan kusut.
"Kamu kenapa? Wajahmu kayak baju yang nggak di setrika," Norita mencibir.
"Nggak pa pa. Makanannya enak?" Tanya Hendra mengacuhkan pertanyaan dari Norita.
"Enak, semur dagingnya ini juara," ucap Norita sambil mengacungkan dua ibu jari tangannya.
"Oh ya?" Hendra tersenyum sekilas. Norita mengangguk meyakinkan.
Hendra pun juga sudah merasa lapar. Dia segera mengambil piring, nasi, beberapa jenis sayur, perkedel kentang dan sambal kacang. Dia tidak menyentuh daging yang direkomendasikan oleh Norita.
"Kuperhatikan kamu dari kemarin nggak makan daging Hen?" Norita bertanya heran.
"Oh ya? Kamu memperhatikanku?" Hendra menoleh, tatapan matanya terasa dingin.
"Hmm yaah, aku adalah orang yang suka mengamati. Aku kan penyanyi panggung. Sudah terbiasa mengamati orang orang di hadapanku," ucap Norita beralasan.
"Aku memang nggak makan daging," jawab Hendra pendek.
"Oh ya? Vegan? Sejak kapan? Bukankah waktu sekolah dulu kamu bukan seorang vegan? Aku masih ingat, ulang tahunmu yang ke 17 kamu menraktir semua orang makan beef steak."
"Bisa nggak sih kamu nggak kebanyakan bertanya?" Hendra menghentakkan sendok di tangan kanannya.
"Yaelah, biasa aja dong. Nggak usah nunjukin urat marahnya gitu," Norita meledek Hendra yang terlihat jengkel.
"Bisa diam nggak? Atau . . .," Hendra melotot pada Norita.
"Atau apa?" Norita menantang. Senyumnya terlihat benar benar menjengkelkan.
Hendra mendengus kesal. Entah apa yang membuatnya gampang marah dan uring uringan saat ini. Dia menggenggam garpu yang ada di tangan kirinya dengan erat. Menatap tajam pada Norita yang tersenyum meledek di hadapannya.
Dan pada saat itulah Denis, Ellie, Iva datang. Mereka ikut bergabung di meja makan. Denis duduk di sebelah kanan Norita. Kini Norita diapit oleh para laki laki. Sementara Ellie dan Iva duduk di seberang meja.
"Ada apa sih? Kalian kok seperti sedang berantem?" Ellie bertanya pada Hendra. Sedangkan Denis dan Iva tak memperhatikan. Mereka sibuk mengambil piring dan makanan yang telah tersaji.
"Berantem apanya? Kamu nggak lihat aku sedang makan," jawab Hendra ketus.
Denis tak mempedulikan Hendra. Dia sibuk menyuapkan nasi hangat dengan semur daging berwarna cokelat kemerahan ke dalam mulutnya. Detik berikutnya dia melotot dan terdiam.
"Hmmmm. . .ini enak banget, bangkee!" Denis sedikit berteriak. Mulutnya penuh dengan makanan sehingga suaranya terdengar kurang jelas.
"Makan yang sopan ah," Norita menepuk bahu Denis.
Sementara itu Iva masih terlihat enggan memasukkan makanan ke dalam mulutnya. Dia masih teringat dan terngiang kondisi mayat Dipta yang mulai membusuk. Indera pengecapnya ingin sekali menyicipi makanan yang tersaji, aroma harum masakan benar benar menggoda. Namun sayangnya perut terasa menolak, mual dan begah menyiksa Iva.
"Sialan! Aku menyesal tadi tak ikut saja denganmu Nori," ucap Iva sambil melempar sendoknya.
"Melihat mayat di depan mata nyatanya membuat nafsu makanku hilang," Iva terus menggerutu kesal.
"Ha ha ha, bagus lah. Jadi kamu bisa diet sekalian," Norita menimpali. Dia tertawa lepas dan terasa meledek.
"Maksudmu aku gendut gitu?" Iva tak terima.
"Lhoo, aku nggak ngomong gitu lho yaa," Norita berdalih.
"Jangan bertengkar di meja makan!" Bentak Hendra. Dia menjejalkan makanan yang ada di piringnya ke dalam mulut, mengunyahnya dengan kasar, kemudian berdiri dari duduknya.
"Mau kemana Hen?" Tanya Ellie.
"Cari angin, disini gerah," jawab Hendra dan segera pergi meninggalkan ruang makan.
Meskipun teman temannya nampak berseteru, Denis tak mempedulikannya. Tangan kanannya sibuk menjejalkan semur daging ke dalam mulut, sementara tangan kirinya dengan nakal mengger*yangi paha Norita yang duduk di sebelahnya.
Iva terlihat menyerah, dia tak jadi makan. Sedangkan Ellie hanya menyantap buah buahan saja.
"Sekarang apa yang harus kita lakukan? Menurutku bergerak sendiri sendiri itu berbahaya. Sebaiknya kita tetap berpasangan atau sebisa mungkin berkelompok," ucap Ellie setelah Denis menyelesaikan makannya.
"Aku mungkin akan ikut Hendra saja," Jawab Iva.
Setelah berkata demikian, Iva berdiri dan segera pergi berlalu meninggalkan tiga temannya yang masih berada di meja makan.
"Kalian gimana?" Tanya Ellie pada Denis dan Norita.
Denis dan Norita terlihat senyum senyum tak jelas. Mereka tidak memperhatikan pertanyaan dari Ellie. Denis sebenarnya masih sibuk memegangi paha sintal Norita.
"Hei!" Ellie menghardik sambil melotot. Ellie sebenarnya sangat mematuhi tata krama saat berada di meja makan. Tapi tingkah dua orang di hadapannya itu benar benar membuat Ellie gagal menahan emosi.
"Oh iya Ell. Gimana gimana?" Denis bertanya.
"Tak usah dipikirkan," ucap Ellie sambil tersenyum masam. Akhirnya Ellie pun memutuskan untuk pergi dari ruang makan, meninggalkan Denis dan Norita yang masih ketawa ketiwi nggak jelas.
Ellie berjalan ke ruang tamu. Tidak ada siapapun disana. Saat dia sendirian entah kenapa ruang tamu terasa begitu luas.
Ellie mondar mandir di ruang tamu. Dia merasa gundah, langkah apa yang sebaiknya dia lakukan saat ini. Menyusul Bayu ke hutan untuk mencari Galang? Terlalu berbahaya, begitu pikirnya.
Beberapa saat lamanya, akhirnya Ellie membuat sebuah keputusan. Dia beranjak menapaki anak tangga menuju lantai dua. Dia bukan hendak ke kamarnya, melainkan menuju kamar Tia.
Dok dok dok
Ellie mengetuk kamar Tia perlahan. Beberapa saat kemudian pintu terbuka sebagian. Tia terlihat berdiri berpegangan pada pintu. Wajahnya tampak pucat dengan tatapan mata yang sayu.
"Ada apa Ell?" Tia bertanya lirih. Suaranya nyaris tak terdengar.
Ellie menaruh curiga pada keadaan Tia. Dia merasa ada yang tak beres dan sedang ditutup tutupi.
"Kamu kenapa Ti? Sakit?" Tanya Ellie.
"Nggak kok," Tia menggeleng pelan.
"Kalau nggak ada yang penting, biarkan aku istirahat," ucap Tia hendak menutup pintu kamarnya. Dengan sigap Ellie meletakkan tangannya di daun pintu dan mendorongnya. Tia terdorong mundur, dan pintu kamar terbuka sepenuhnya.
Ellie masuk ke dalam kamar dan sangat terkejut melihat kondisi tempat tidur Tia. Terlihat tissue berserakan dimana mana. Ada beberapa noda merah darah di lembaran lembaran tissue tersebut. Ellie menoleh dan menatap Tia yang masih berdiri berpegangan pada daun pintu.
"Kamu kenapa Tiii?" Ellie bertanya, suaranya bergetar penuh kekhawatiran.
Tia tak menjawab, malah menutup pintu kamarnya. Tia berjalan tertatih kemudian duduk di sudut ranjang tempat tidurnya. Tia mengangkat rok yang dia pakai. Menunjukkan betis kanannya yang terlihat sebuah luka menganga.
"Itu. . .," Ellie memekik tertahan.
Ellie teringat, Tia kemarin sempat diserang oleh anjing liar. Semua orang tak menyadari, anjing liar itu telah melukai kaki Tia.
"Kenapa kamu kemarin nggak ngomong Ti?" Ellie kembali bertanya.
"Aku nggak mau karena lukaku ini, kalian memulangkanku," jawab Tia.
"Kenapa?"
"Karena aku butuh uang itu Ell, aku butuh 200 juta yang Zainul janjikan. Makanya aku sekuat tenaga akan tetap bertahan disini sampai besok. Aku butuh uang itu," suara Tia terdengar sendu.
Bersambung___
semoga karya ini hanya akan dipandang sebagai cerita semata. jujur saja saya pribadi agak khawatir karena mungkin bagi sebagian orang yang terganggu mentalnya dan membaca novel ini, akan ada kecenderungan untuk mengidolakan tokoh Bayu lalu membenarkan segala tindakannya.
lebih tepat menggunakan kata terbenam atau turun atau menghilang.
Matahari mulai terbenam ke arah barat daya.
Matahari mulai turun ke arah barat daya.
Matahari mulai menghilang ke arah barat daya.