NovelToon NovelToon
Cinta Suci Aerra

Cinta Suci Aerra

Status: sedang berlangsung
Genre:Percintaan Konglomerat / Crazy Rich/Konglomerat / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:698
Nilai: 5
Nama Author: manda80

Aerra adalah seorang wanita yang tulus terhadap pasangannya. Namun, sayang sekali pacarnya terlambat untuk melamarnya sehingga dirinya di jodohkan oleh pria yang lebih kaya oleh ibunya. Tapi, apakah Aerra merasakan kebahagiaan di dalam pernikahan itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon manda80, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

13 Seruni?

Panggilan telepon itu berakhir begitu saja, menyisakan bunyi ‘tut-tut-tut’ yang monoton dan memekakkan telinga. Aku menjauhkan ponsel dari telingaku seolah benda itu baru saja menyetrumku. Ruangan itu kembali senyap, tetapi keheningan kali ini terasa lebih berat, lebih menindas, seolah dinding-dinding arsip ini merapat untuk menghimpitku.

“Cari wanita yang tidak ada di dalam foto…”

Kalimat Aldo menggema di benakku, berputar-putar seperti kaset rusak. Sebuah petunjuk palsu. Sebuah jebakan yang dirancang untuk menguji cara berpikirku, atau lebih tepatnya, untuk mempermainkanku. Rasa frustrasi yang tadi membakar kini berganti menjadi amarah dingin yang merayap di pembuluh darahku. Dia menikmati ini. Dia menikmati melihatku tersiksa di dalam labirin yang ia ciptakan.

Aku menatap berkeliling. Album-album foto itu kini tampak seperti kebohongan yang dijilid rapi. Clara, dengan senyum Eropanya yang memesona, sebuah cerita indah yang sengaja ditampilkan untuk dunia. Cinta sejati kakeknya, wanita yang paling ia cintai, tersembunyi. Tidak dipamerkan, melainkan dijaga rapat-rapat.

“Di antara baris-baris tulisan tangan…” bisikku mengulangi petunjuknya. “Saat ia pikir tidak ada seorang pun yang akan membacanya.”

Di mana seorang pria tua dari generasinya akan menulis sesuatu yang begitu pribadi? Sesuatu yang tidak ingin diketahui bahkan oleh istrinya sendiri? Bukan di surat bisnis. Bukan di undangan pesta. Jawabannya hanya satu, sebuah buku harian.

Dengan semangat baru yang dipicu oleh amarah, aku kembali bergerak. Targetku sekarang berbeda. Aku mengabaikan tumpukan surat resmi dan album foto. Mataku menyapu rak-rak buku yang menjulang tinggi, mencari sesuatu yang tampak berbeda. Sebuah buku bersampul kulit tanpa judul, mungkin? Atau sebuah buku catatan kecil yang terselip di antaranya.

Aku mulai dari meja kerja besar di tengah ruangan. Aku menarik setiap laci dengan kasar, tidak peduli dengan debu yang beterbangan. Laci pertama berisi alat tulis antik,pena bulu, botol-botol tinta kering, dan stempel lilin dengan inisial ‘HW’. Laci kedua berisi tumpukan kertas surat kosong yang sudah menguning di bagian tepinya. Laci ketiga, terkunci. Aku mencoba menggoyangnya, tetapi sia-sia.

“Sial!” umpatku tertahan.

Aku meninggalkan meja itu dan beralih ke rak buku. Aku menarik sebuah tangga geser dari sudut ruangan dan mulai menyisir dari rak teratas. Satu per satu buku-buku tebal itu kuambil, kuguncang sedikit, berharap ada lembaran kertas yang jatuh, atau kubuka dan kuperiksa isinya, mencari sisipan atau catatan. Sejarah dunia, filsafat, novel-novel klasik dalam bahasa Inggris dan Belanda. Semuanya bersih, hanya ada aroma kertas tua.

Satu jam berlalu. Kemudian dua jam. Perutku mulai berbunyi, kerongkonganku kering, dan kepalaku pening. Debu membuat mataku perih dan napasku sedikit sesak. Aku hampir menyerah ketika mataku menangkap keberadaan interkom yang disebutkan Bi Asih tadi, terpasang di dinding dekat pintu.

Dengan langkah gontai aku mendekatinya dan menekan tombol bicara. “Bi Asih?” suaraku terdengar parau.

Terdengar bunyi kresek sesaat sebelum suara lembut itu menjawab. “Iya, Nyonya? Ada yang bisa saya bantu?”

Aku ragu sejenak, malu karena harus meminta. “Bi… maaf merepotkan. Bisa tolong bawakan saya segelas air putih?”

“Tentu saja, Nyonya. Tidak merepotkan sama sekali. Nyonya belum makan dari pagi. Perut Nyonya pasti sudah kosong. Saya bawakan roti isi sekalian, ya? Tuan Aldo berpesan agar saya memastikan Nyonya tidak kelaparan.”

Perutku seketika mual mendengar nama Aldo disebut. Perhatian palsu itu terasa lebih menyakitkan daripada hardikan. “Nggak usah, Bi. Air saja cukup.”

“Jangan begitu, Nyonya. Nanti Nyonya sakit. Sebentar saya antarkan, ya.” Suara Bi Asih terdengar tulus, tanpa dibuat-buat. Ada sedikit kehangatan dalam hatiku, setitik cahaya di tengah kegelapan ini.

“Makasih banyak, Bi.”

Beberapa menit kemudian, terdengar ketukan pelan di pintu. Aku membukanya dan mendapati Bi Asih berdiri di sana dengan nampan berisi segelas besar air, dua tangkup roti isi, dan sepotong buah apel. Senyumnya teduh.

“Ini, Nyonya. Dimakan, ya. Biar ada tenaga.”

Aku mengambil nampan itu. “Makasih, Bi. Maaf sudah merepotkan.”

“Sama sekali tidak, Nyonya,” ujarnya, matanya menatapku dengan sorot yang sulit kuartikan. Campuran antara iba dan rasa hormat. “Kalau butuh apa-apa lagi, jangan sungkan panggil saya. Permisi, Nyonya.”

Bi Asih berbalik dan pergi, meninggalkanku dengan kebaikannya yang singkat. Aku meneguk air itu hingga habis dalam sekali napas, merasakan cairan dingin itu membasahi kerongkonganku yang kering. Aku memaksakan diri memakan setengah roti isi, tahu bahwa aku butuh energi untuk melanjutkan perburuan ini.

Setelah merasa sedikit lebih baik, aku kembali bekerja. Aku menatap rak buku di hadapanku dengan pandangan baru. Mungkin aku salah strategi. Aldo bilang ‘di antara baris-baris tulisan tangan’. Bisa jadi itu bukan berarti buku harian. Bisa jadi itu lebih harfiah dari yang kuduga.

Aku kembali ke tumpukan surat pribadi yang tadi kuabaikan. Aku membukanya satu per satu, bukan lagi untuk mencari nama Clara, tetapi untuk mengenali tulisan tangan Hendrawan Wiratama. Setelah membandingkan beberapa surat, aku mulai hafal gayanya yang khas; huruf ‘a’ yang bulat sempurna, dan huruf ‘t’ yang tiangnya menjulang tinggi. Ini dia sidik jarinya.

Dengan bekal ingatan itu, aku kembali menyisir rak-rak buku. Kali ini, aku tidak hanya memeriksa sampulnya, tetapi membuka setiap buku secara acak, mencari coretan di pinggir halaman. Sebuah anotasi. Sebuah pemikiran yang ditulis di sela-sela baris cetakan.

Matahari di luar mulai condong ke barat, cahayanya yang keemasan menembus jendela tinggi, menciptakan pilar-pilar cahaya di antara rak yang berdebu. Ruangan itu mulai temaram. Aku sudah memeriksa ratusan buku. Tanganku pegal, punggungku sakit. Aku hampir kehilangan harapan.

Lalu aku menemukan sesuatu.

Di rak paling bawah, tersembunyi di belakang setumpuk buku bisnis yang membosankan, ada sebuah buku tipis bersampul kain biru pudar. Judulnya tertulis dalam huruf emas yang hampir luntur, ‘Senja di Pelabuhan’, sebuah antologi puisi lokal. Entah kenapa, tanganku tergerak untuk mengambilnya. Buku ini terasa berbeda. Lebih sering disentuh, lebih personal.

Aku membukanya. Halamannya sudah rapuh dan menguning. Di beberapa puisi, ada garis bawah yang dibuat dengan pensil. Lalu, di sebuah halaman yang berisi puisi tentang cinta yang tak sampai, aku melihatnya. Sebuah tulisan tangan yang kini sangat kukenali.

Coretan itu kecil, nyaris tersembunyi di margin bawah halaman, seolah ditulis dengan ragu-ragu. Sebuah nama, dan sederet angka.

‘Seruni. 24-10-44’

Jantungku berhenti berdetak sejenak. Seruni. Nama yang begitu Indonesia, begitu sederhana, begitu berbeda dari ‘Clara’ yang agung. Angka di sebelahnya—pasti tanggal lahir. 24 Oktober 1944.

Inikah dia? Wanita yang tidak ada di dalam foto? Wanita yang namanya hanya berani ia tuliskan di sela-sela baris puisi tentang kerinduan?

Napasaku memburu. Aku tidak membuang waktu. Dengan buku puisi di genggamanku, aku berlari kecil ke arah brankas hitam itu. Tanganku gemetar hebat saat memegang putaran kombinasinya yang dingin. Aku menarik napas dalam-dalam, memohon dalam hati agar kali ini aku benar.

Aku memasukkan kombinasinya. 2-4… 1-0… 4-4.

Aku memutar tuas besinya dengan seluruh sisa tenagaku.

Hening. Tidak ada suara apa pun.

Lalu, terdengar bunyi yang paling kunantikan. Bukan bunyi tumpul dari logam yang buntu, melainkan bunyi ‘KLIK!’ yang tajam dan melegakan. Seolah sebuah mekanisme kuno baru saja terlepas dari belenggunya.

Jantungku serasa melompat ke tenggorokan. Berhasil. Aku berhasil!

Dengan tangan gemetar karena antisipasi, aku menarik pintu brankas yang berat itu. Pintu itu terbuka dengan decitan pelan, mengungkapkan bagian dalamnya yang gelap dan berdebu. Mataku segera menyesuaikan diri dengan cahaya remang di dalam.

Namun, isinya sama sekali bukan seperti yang kubayangkan. Tidak ada tumpukan dokumen, perhiasan, atau batangan emas. Di dalam brankas yang luas itu, di tengah-tengahnya, hanya ada sebuah kotak kayu kecil berukir. Dan di atas kotak itu, tergeletak secarik kertas yang dilipat rapi.

Perasaanku mendadak tidak enak. Ini terasa seperti babak selanjutnya dari permainannya, bukan akhir.

Dengan ragu, aku mengambil lipatan kertas itu. Itu adalah kertas surat modern, bukan kertas tua dari masa lalu. Aku membukanya perlahan. Di dalamnya, hanya ada satu kalimat, ditulis dengan tulisan tangan Aldo yang tegas dan elegan.

‘Selamat, Aerra. Kamu lulus tes pertama. Sekarang, buka kotak ini. Kuncinya? Tanyakan pada Ibumu tentang rahasia apa yang ia sembunyikan dariku pada malam perjodohan kita.’

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!