Duku Mateng(Duda Kuat Mapan Dan Ganteng)

Lora terus saja, mendongakkan wajahnya saat dia berada di atas pangkuan Berliana. Balita yang masih berusia satu tahun itu, terlihat tersenyum sembari menyedot empeng yang menempel di mulutnya.

Cia bahkan gemas untuk menyubit pipinya, hingga kedua mata balita itu berkaca kaca.

"Tante Cia emang suka kayak gitu, jangan nangis oke, nanti dibeliin es krim mau?" Berliana menepuk nepuk punggung Lora, agar balita itu tidak menangis, dan ternyata caranya berhasil.

Sedangkan Cia dan yang lainnya, hanya menatap heran pada Berliana yang terlihat begitu sangat dekat, dengan balita cantik itu. Bahkan Lora tertawa kencang saat Berliana mengangkat tubuhnya ketas, tawa Lora mengundang rasa penasaran Radja, yang baru selesai membuatkan susu untuk putri kecilnya.

Radja begitu menyayangi Lora, dia tidak pernah peduli kalau balita itu anak kandungnya atau bukan. Yang terpenting untuknya adalah Saradha Lora Dewangga Malik adalah putri kecilnya, yang selalu menjadi pelepas lelah setelah bekerja. Tawa lepas balita cantik itu, membuat Radja tersenyum tipis, selama Lora bersama Disha dulu, Lora tidak pernah tertawa selepas itu.

Bahkan hanya diajak bermain seperti itu, Loranya tertawa amat lepas, kedua netra hazel bening itu terus saja memperhatikan kedua wanita beda usia, yang tengah tertawa lepas tanpa beban sedikit pun.

Senyuman Radja semakin melebar, bahkan saat ini dia sudah bersandar santai diambang pintu, sembari memperhatikan Berliana yang tengah membawa Lora bermain, ditaman samping rumahnya.

Soraya yang melihat senyuman Radja sedikit termenung, sudah lama dia tidak melihat senyuman putranya. Terakhir Soraya melihatnya saat Radja masih bersekolah, sesudah Rohid sang Kakek mengatur hidupnya dan hidup keluarganya, Radja jarang sekali tersenyum, bahkan tidak pernah menunjukan senyuman lebar itu pada siapa pun.

Dan sekarang, hanya melihat interaksi antara Lora, dan wanita yang menjadi atasan Ambar putrinya itu, senyuman Radja kembali hadir.

'Siapa kamu sebenarnya Nak Berliana, kenapa kehadiran kamu yang tiba tiba ini mampu membuat senyuman putraku kembali. Apa kamu penawar yang dikirimkan Tuhan untuk Radja putraku? kalau memang benar, aku mohon padamu Tuhan satukan mereka dalam cinta, walaupun secara perlahan.'

Doa tulus seorang Ibu membuat seisi langit bergetar, wanita paruh baya itu memalingkan wajahnya kearah lain, untuk menyeka air matanya yang tiba tiba saja mengalir.

"Ibu mau ke dapur sebentar ya, kalian ngobrolnya santai aja." Soraya tersenyum tipis, pada ketiga gadis yang masih terlihat tidak ingin, mengakhiri obrolan mereka yang tidak dimengerti olehnya.

Soraya sebenarnya bukan menuju dapur, melainkan menuju Radja, yang tidak henti hentinya memandang kearah Berliana dan Lora, yang tengah duduk di kursi taman. Bahkan Radja kembali mendengar tawa lepas Lora, saat Berliana menciumi pipi gembulnya dengan gemas. Interaksi keduanya terlihat sangat natural sekali, tidak ada keterpaksaan atau pun drama.

"Kamu masih yakin tidak mau membuka hati Dja, ya walaupun Ibu tahu selama ini hati kamu tidak terbuka untuk gadis mana pun, termasuk Disha. Tapi lihatlah, masih banyak gadis baik, Ibu yakin kamu bisa menemukan salah satu dari mereka nanti."

Soraya menepuk punggung putranya, sedangkan Radja mengalihkan pandangannya kepada sang Ibu. Wanita paruh baya itu tersenyum tipis pada Radja yang tengah menatapnya sendu.

"Ibu bahkan bisa melihat senyuman yang selama ini hilang dari kamu Dja, ayo hilangkan pikiran buruk kamu tentang ucapan mantan ibu mertuamu itu. Buka lembaran baru untuk hidup kamu, Ibu yakin kebahagian kamu sudah ada didepan sana." Pandangan Soraya tertuju pada Berliana yang tengah memasangkan bando bunga dikepala Lora cucunya.

Soraya dan Rajasa tidak pernah mempermasalahkan, kalau Lora bukan cucu kandung mereka. Apa lagi Rajasa, si pria angkuh dan arogan itu begitu menyayangi Lora. Biarpun para saingan bisnis bahkan adik tirinya menganggap dia pria kejam di luaran sana, namun bagi Soraya suaminya adalah Ayah, kakek serta suami yang baik untuknya, kedua anak mereka dan cucunya Lora. Bahkan Rajasa tidak ingin Lora merasakan apa yang dia rasakan dulu, rasanya tidak dianggap oleh keluarganya sendiri. Maka dari itu dari mana pun asal usul Lora, Rajasa dan Radja tidak peduli.

"Apa mungkin ada Bu?" Ucap Radja lirih