NovelToon NovelToon
TINI SUKETI

TINI SUKETI

Status: tamat
Genre:Romantis / Komedi / Cintamanis / Tamat
Popularitas:13.7M
Nilai: 5
Nama Author: juskelapa

Tidak cantik, tidak menarik, tidak berdandan apik, tidak dalam keadaan ekonomi yang cukup baik. Namun, hidupnya penuh polemik. Lantas, apa yang membuat kisah hidupnya cukup menarik untuk diulik?

Tini Suketi, seorang wanita yang dijuluki sebagai legenda Desa Cokro yang melarikan diri. Kabur setelah mengacaukan pesta pernikahan kekasih dan sahabatnya.

Didorong oleh rasa sakit hati, Tini berjanji tak akan menginjak kampungnya lagi sampai ia dipersunting oleh pria yang bisa memberinya sebuah bukit. Nyaris mirip legenda, tapi sayangnya bukan.

Bisakah Tini memenuhi janjinya setelah terlena dengan ritme kehidupan kota dan menemukan keluarga barunya?

Ikuti perjalanan Tini Suketi meraih mimpi.

***

Sebuah spin off dari Novel PENGAKUAN DIJAH. Yang kembali mengangkat tentang perjuangan seorang perempuan dalam menjalani hidup dengan cara pandang dan tingkah yang tidak biasa.

***

Originally Story by juskelapa
Instagram : @juskelapa_
Facebook : Anda Juskelapa
Contact : uwicuwi@gmail.com

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

27. Pelajaran Hari Itu

Tini dan Dijah masih terkikik-kikik saat menyetop angkot dan pergi dari depan hotel melati. Mereka berdua duduk berhadapan di sudut belakang. Pembicaraan mereka terhenti. Namun, saat pandangan mereka bertemu, lagi-lagi mereka tertawa. Apalagi saat seorang pria gemuk lain naik ke angkot. Lagi-lagi mereka membayangkan kejadian yang baru saja dilewati.

“Kamu nggak jadi kerja, Tin? Udah sore,” tanya Dijah mengingatkan Tini.

Matahari sudah hilang, namun langit masih terang. Tini menoleh sesaat keluar. “Kayaknya aku jadi kepingin nyari kerja lain, Jah. Tapi, belum tau apa. Banyak tamu karaoke dari perusahaan-perusahaan. Nanti aku mulai tanya-tanya, siapa tau ada nyari tenaga untuk lulusan SMA.” Tini menoleh pada Dijah.

“Kamu lulusan SMA, Tin?” tanya Dijah.

“Menurut kamu? Apa mungkin aku lulusan magister hukum?” Tini balik bertanya.

“Bisa jadi, Tin. Bicara kamu itu meyakinkan. Muka aja yang nggak support. Kalau jadi pengacara, kamu pasti berhasil.” Dijah mengangguk yakin pada Tini.

“Oh, gitu.” Tini melengos mendengar perkataan Dijah. Lama-kelamaan Tini merasa khawatir kalau Dijah memujinya.

“Kita belanja di mini market depan gang rumahku, ya, Tin. Aku mau beli jajanan untuk anakku. Kamu nggak apa-apa?” tanya Dijah.

“Apa-apa, Jah,” jawab Tini.

“Kiri, Bang!” teriak Dijah.

“Rumahmu Polsek ini?” tanya Tini saat Dijah beranjak dari kursinya. Mereka berhenti tepat di depan pintu masuk sebuah kantor polisi.

“Aku kelewatan sedikit, Tin. Rumahku di gang sebelahnya.” Dijah mengangsurkan uang sepuluh ribuan dan menunggu kembaliannya dari supir.

“Mini marketnya mana?” tanya Tini saat mereka sudah berada di tepi jalan raya depan Polsek.

“Mini marketnya di seberang sana,” ujar Dijah menunjuk seberang jalan raya.

“Gang rumahmu ini ketutupan dinding Polsek. Kalau nggak biasa, pasti bisa salah turunnya.” Tini memandang gang rumah Dijah dan Polsek di belakangnya.

Dua wanita itu lalu menyebrangi jalan sambil bergandengan.

“Beli apa, Jah?” tanya Tini saat mereka masuk ke mini market.

“Snack, cokelat, susu kotak. Dul jarang beli-beli kayak gitu. Kalau aku ada rejeki lebih, aku jajanin dia seminggu sekali. Nanti buat obat ibuku, kayaknya aku pakai tabungan Dul aja.” Dijah membuka lemari pendingin di bagian sudut mini market.

“Memangnya nggak apa-apa?” tanya Tini.

“Sebenarnya itu tabungan untuk anakku masuk SD. Aku mau sekolahin Dul di sekolah swasta aja. Kamu belanja juga?” tanya Dijah, memandang keranjang belanja Tini yang sudah berisi mi instan cup dan dua botol air mineral.

“Aku laper. Ini udah mau gelap, kita duduk di depan mini market sebelum ke rumahmu. Bisa, kan?” tanya Tini, menunjuk empat kursi kosong di teras mini market.

Dijah menoleh kursi mini market itu sekilas, lalu mengangguk. Seumur-umur tinggal di daerah itu dan berbelanja ke mini market, Dijah sama sekali tak pernah duduk di sana.

Langit mulai gelap, Tini dan Dijah duduk di kursi plastik dan menghadapi meja panjang yang juga berfungsi sebagai pagar mini market. Di tangan mereka masing-masing tergenggam cup mi instan yang sudah diseduh dengan air panas dari mini market.

Saat tengah mengunyah makanan, Dijah tiba-tiba terkekeh. Tini menoleh padanya dengan raut bertanya.

“Aku cuma inget yang tadi. Makin diinget makin lucu,” kata Dijah.

“Lucu apa kepingin, Jah?” tanya Tini tergelak.

“Enggak kepingin, Tin. Aku ngeri,” jawab Dijah.

“Ngeri karena nggak ada rasa, Jah. Kalau ada rasa, pasti doyan.” Tini menyendokkan mi ke mulutnya.

“Kamu bisa tau banget gitu, apa ngeliat semuanya, Tin?” Dijah menurunkan cup mi-nya memandang Tini.

“Ya, nggak mungkin semua burung orang aku cek satu-satu, Jah. Pengetahuan tambahan itu dari tukeran cerita atau aku nguping pembicaraan cewek karaoke lain. Ceritanya, ya, macem-macem.” Tini mengangkat cup mi dan meneguk kuahnya.

“Berarti semua nggak ada patokan, ya, Tin?” tanya Dijah lagi.

“Enggak ada patokan. Hanya perkiraan sesuai hasil analisa selama ini. Kamu sebenarnya mau apa, toh, Jah? Kepingin liat langsung apa gimana?”

“Barusan udah, Tin. Oalah, ngerasa liat si Dul aku. Tapi karena badannya segitu, kok, aku jadi mual.” Dijah kembali tertawa terbahak-bahak.

Tini melirik wajah Dijah. Membahas soal ukuran ini sebenarnya tak apa-apa. Bukan hal yang aneh bagi wanita single yang masih bisa memilih seperti mereka. Yang membuat Tini penasaran, hanya soal bagaimana Dijah bisa hamil Dul. Dari awal Tini punya pikiran apa mungkin Dul bukan anak kandung Dijah? Tapi, melihat bagaimana kemiripan mereka dan sikap Dijah sebagai seorang ibu, Tini menyingkirkan kemungkinan itu.

Seorang bapak melewati mereka dan masuk ke dalam mini market. Beberapa saat di dalam, si bapak kembali keluar dan kembali melewati mereka.

“Sik iki, piye? (Yang ini, gimana?)” Dijah menoleh pada Tini.

“Mayan, (Lumayan,)” sahut Tini menatap bapak yang dimaksud Dijah.

Tak lama ada seorang pemuda kembali keluar dari mini market.

“Iki? (Ini?)” tanya Dijah lagi.

“Standar iki. Ini semua nggak bisa dijadikan patokan. Cuma hasil terawanganku aja,” kata Tini.

Dijah berdecak kagum mendengar perkataan temannya. Tini menghela pasrah. Hari sudah malam, dan cup mi mereka berdua sudah kosong. Dua orang pria terlihat menyeberangi jalan raya menuju mini market.

Pandangan Tini dan Dijah tertuju pada kedua orang pria yang terlihat asyik berbicara. Salah seorangnya memakai ransel dan seorangnya lagi hanya melenggang tanpa membawa apa pun.

Saat melintas melewati meja Tini dan Dijah berada, seorang pria dengan kemeja flanel dan kaos oblong putih di dalamnya, menatap mereka sekilas, namun pandangannya tinggal di wajah Dijah beberapa detik lamanya.

Kedua pria itu melanjutkan obrolan dan masuk ke dalam mini market.

“Jah, yang pakai kemeja kotak-kotak hitam, ngeliatin kamu.” Tini menoleh ke belakang.

“Orang lewat sini pasti ngeliatin kita,” sahut Dijah.

“Iya juga, sih. Tapi, dia ngeliatnya beda. Apa mau coba kuterawang?” tanya Tini terkikik.

“Ayo, diterawang! Tunggu orangnya keluar. Tadi aku nggak merhatiin.” Dijah ikut-ikutan tertawa.

“Kamu liat juga. Ada dua orang. Kamu liat yang pakai jeans biru gelap. Pakai ransel,” ujar Tini. Dijah mengangguk mengerti.

Tak lama mereka berbisik-bisik soal dua pria yang melintas. Pintu mini market di belakang mereka terbuka. Dua pria yang baru saja mereka bicarkan keluar masih sambil mengobrol.

“Tin,” bisik Dijah.

“Nek Seko pawakan iki joss. Bokonge bunder, (Dari badannya ini mantep. Bokongnya bulat,) ” ujar Tini, menatap ke arah bokong pria yang memakai ransel.

“Hebat kowe, (Hebat kamu,)” sahut Dijah, dengan pandangan ikut tertuju pada bokong pria memakai ransel.

Tini dan Dijah saling pandang dan tertawa terbahak-bahak. Mereka saling dorong dan saling menarik rambut satu sama lain.

Ternyata, tawa mereka terlalu keras. Pria yang memakai ransel menoleh ke belakang. Kembali menatap Tini dan Dijah bergantian. Kedua wanita itu seketika terdiam.

“Ngeliatin kamu lagi, Jah,” bisik Tini.

“Bukan ngeliatin aku. Dia kayaknya tau diomongin,” sahut Dijah juga dalam bisikan.

Teman pria yang memakai ransel ikut menoleh ke belakang. Menyadari kalau teman bicaranya sedang memperhatikan sesuatu.

“Ngeliatin apa, Mas?” tanya pria salah satunya dengan suara samar-samar.

“Astaga ... ketawa cewek sekarang bikin merinding ternyata. Aku ngerasa diomongin, tapi nggak ngerti.” Pria dengan ransel menggelengkan kepalanya sambil berdecak.

Tini dan Dijah kembali saling pandang dan tertawa. “Astaga katanya, Jah. Andai dia tau memang lagi diomongin.” Tini dan Dijah kembali melanjutkan tawanya.

To Be Continued

Nanti ada satu part lagi. Yang ini jangan lupa di-like ya .... :*

Makasi yang sudah vote voucher dan ngasi semangat lewat bunga dan kopi. Buat yang ngasi doa dan komentar-komentar membaranya, juga makasih banyak.

1
Jeong Nari
bagusss bgtt wajib bacaa semua karya author juskelapa, ⭐⭐⭐⭐⭐❤
Jeong Nari
kann jadi nangis/Cry/,
Jeong Nari
aaa jadi kangen ko Dean, udah baca 3x, jdi pengen balik lagi/Sob//Kiss/
JM_joe92
sukaaaa
🍀 chichi illa 🍒
sukaaa
Wandi Fajar Ekoprasetyo
mang Dayat ini baik sekali ya aslinya 🤭
Wandi Fajar Ekoprasetyo
astaghfirullah......dlm kepanikan msh bisa Tini bercanda
Wandi Fajar Ekoprasetyo
betul itu
Daanii Irsyad Aufa
/Facepalm//Facepalm/
Daanii Irsyad Aufa
haish " Astaga" itu jargonnya mas bara
Daanii Irsyad Aufa
itu mas bara dan mas Heru (bener ngga sih namanya)
Daanii Irsyad Aufa
nah cocok tuh omongan Dijah
Daanii Irsyad Aufa
sumpah berasa aq duduk d pojokan ngeliat Lastri d smackdown Dijah. di iringi backsound Tini yg lagi JD wasit
Daanii Irsyad Aufa
pokoknya nongki BRG MBK Tini itu d jamin agak mangkel ya boy. dan keluarlah pepatah sakti "Yang sabar y Boy"
Meilaningsih
udah ga kehitung berapa kali aku repeat baca si suketi...novel favorit ku njussss...
no 1 ga ada yg nmanya bosen..masih tetep ketawa, seperti pertama baca..
no 2, baru kang pirza
juskelapa: makasih ya Mba 😘😘😘
total 1 replies
Daanii Irsyad Aufa
tenang mamak Dul, bang bara lg ke bengkel buat benerin si merah.
Daanii Irsyad Aufa
hahah semangat MBK Tini, emg harus gitu. tegas dan membela diri penting biar ngga makin d injak orang
Daanii Irsyad Aufa
😄😄
Daanii Irsyad Aufa
aduh ko AQ terharu bgt baca ini. kaya masih ada orang yg saling perduli d kerasnya ibu kota. kos kosan kandang ayam akan selalu jd kenangan
Daanii Irsyad Aufa
aduh ini scene harusnya berlinang airmata tapi ko mlh bikin ngekek sih
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!