Hanya karena uang, Dira menjual rahimnya. Pada seorang pria berhati dingin yang usianya dua kali lipat usia Dira.
Kepada Agam Salim Wijaya lah Dira menjual rahim miliknya.
Melahirkan anak untuk pria tersebut, begitu anak itu lahir. Dira harus menghilang dan meninggalkan semuanya.
Hanya uang di tangan, tanpa anak tanpa pria yang ia cintai karena terbiasa.
Follow IG Sept ya
Sept_September2020
Facebook
Sept September
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sept, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan
Rahim Bayaran #26
oleh Sept September
Tubuhnya masih gemetaran saat ia bersembunyi di balik jas seorang dokter yang kebetulan sedang melewatinya. Dira tak berani menatap, ia menegelamkan wajah dalam-dalam.
Hingga tubuh sang dokter berbalik, barulah Dira melihat sekeliling. "Ke mana Mas Denis?" pikirnya.
"Apa yang sedang terjadi?" tanya Dokter itu dengan wajah serius. Ia yakin ada hal buruk yang sedang menimpa pasien di depannya itu.
"Ada yang ngejar-ngejar saya, Dok!" jawab Dira dengan wajah penuh ketakutan.
"Di mana?" Dokter tersebut mengamati sekeliling. Tidak ada siapa-siapa. Hanya satu dua perawat yang lalu lalang.
Mata Dira memindai sekeliling, aneh. Seperti ditelan bumi. Denis tak kelihatan batang hidungnya. Kemanakah pria itu pergi?
"Tadi ada di sana!" gadis itu menunjuk ke salah satu arah.
Dokter menatap Dira sesaat, kemudian kembali bicara.
"Adakah kerabat atau saudara yang bisa dihubungi?" Dokter melihat kecemasan berlebihan pada gadis itu.
Ketakutan Dira bukanlah wajar, mungkin ia juga akan butuh dokter untuk perawatan psikisnya. Lihat, tangannya bahkan masih bergetar karena rasa takut yang berlebihan.
Kembali lagi dokter menatap leher Dira. Leher yang diperban itu, terlihat aneh. "Apa gadis ini berniat bunuh diri?" batin Dokter itu.
Dira yang ditanya kerabat atau sanak saudara binggung. Ia sendirian di kota ini, Ibunya masih belum bisa ia jumpai. Agam menahannya dirinya di rumah sampai ia bisa hamil.
Mungkin Agam dan Dira sudah menikah, akan tetapi Dira tak yakin bila ia dianggap keluarga oleh suaminya itu. Gadis itu sadar betul, tujuan utamanya hanya uang. Tidak kurang dan tidak lebih. Ia pun sadar, tidak ada sanak keluarga yang bisa ia hubungi saat ini.
Apalagi tak memiliki ponsel, ia bingung mau telpon siapa. Namun, gadis itu hafal betul nomor telpon Agam. Ia selalu mengingat deretan angkat dua belas digit milik suaminya tersebut. Hafal di luar kepala malahan.
Karena tak ingin ketangkap Denis, Dira lantas meminta tolong pada dokter tersebut. Untuk meminjamkan ponsel padanya.
"Dok, saya ingin menghubungi seseorang. Bisahkah saya pinjam ponsel dokter sebentar?"
Pria berjas putih, dengan stethoscope yang tergantung di lehernya itu pun mengulurkan ponsel miliknya.
Dira langsung memencet nomor demi nomor milik Agam.
Tut tut tut
"Hallo ... Mas Agam! Ini Dira!" Masih dengan suara yang bergetar.
"Dira! Kamu di mana, cepat katakan!"
"Di rumah sakit, Mas."
"Rumah sakit? Kirim alamatnya. Saya segera ke sana! Tunggu jangan ke mana-mana!"
"Baik, Mas."
Begitu telpon ditutup, Agam langsung meluncur ke alamat yang sudah Dira kirimkan lewat pesan singkat.
Lokasi Dira tak jauh dari tempatnya tinggal, itu adalah rumah sakit terdekat. Sambil fokus dengan kemudinya, Agam bertanya-tanya. Sebenarnya apa yang sudah terjadi semalam di rumahnya.
Sorot matanya menajam sesaat, mungkin bila ada hal buruk yang sudah dilakukan adiknya itu. Ia tak akan segan-segan menembak kepala bocah tengil itu.
Lima belas menit lamanya ia mengendara, saat berada di lampu merah. Ia mulai tak sabaran, hampir saja ia ingin menerobos. Karena sungguh-sungguh sudah tak sabar sampai tujuan.
Beberapa saat kemudian, mobil warna hitam itu kini melesat ke sebuah parkiran di rumah sakit tengah kota.
Agam langsung berlari menuju ruang informasi, di sana sudah Dira yang duduk dengan tatapan kosong.
"DIRA!" panggil Agam saat ia melihat sosok istrinya dari jauh.
Seketika itu juga, Dira menoleh ke sumber suara. Suara berat yang khas, bahkan ia rela seumur hidup selalu dimarahi oleh pemilik suara itu.
Dira pun bangkit dan langsung berlari ke arah Agam. Entah sejak kapan ia mulai berani sekali. Tubuh itu tanpa ijin langsung memeluk Agam.
Hening, suasana menjadi hening sejenak. Ada rasa yang tak biasa, dan Agam mulai menyadarinya. Dielusnya kepala Dira yang hanya setinggi pundak itu.
"Siapa yang berani menyakitimu?" batin Agam sambil membelai lembut rambut kucel Dira.
"Apa yang terjadi?" tanya Agam sembari melepas pelukan spontan itu. Dipegangnya kedua pundak Dira, ia setengah menunduk agar pandangan mereka bertemu sejajar.
Dira tak menjawab, malah mata gadis itu yang mulai mengembun. Mungkin banjir lokal akan terjadi di detik berikutnya.
"Jangan menangis! Saya sudah di sini ... Jangan menangis!" Agam pun memeluk tubuh itu kembali. Menenangkan istri kecilnya yang sedang kacau tersebut.
"Awas kamu Denis!" rutuknya dalam hati. Meski Dira belum cerita apa-apa, setelah mendengar cerita Bibi panjang lebar. Ia yakin semua ini adalah ulah Denis.
Mungkin benar kata pepatah, "Kacang ora ninggal lanjaran!"
Begitu juga Denis, dilahirkan dari seorang wanita yang merusak hubungan orang. Kini ia pun sepertinya bercita-cita merusak hubungan sang kakak.
Tidak ingin jadi bahan tontonan orang-orang yang lalu lalang, Agam pun membawa Dira ke dalam mobil.
Setelah tidak ada orang, Agam mulai bertanya kembali.
"Apa yang terjadi semalam, lalu ... ada apa dengan lehermu?" Pria itu mengamati sekaligus cemas, mengapa ada luka di leher tersebut.
"Itu ...!" Dira tak bisa berbicara, mendadak jadi gagu.
"Apa Denis yang melakukannya?"
Ditatapnya Agam yang menyalak, membuat Dira makin kendur.
"Bukan ... bukan Mas Denis. Ini Dira sendiri." Setelah mengatakan hal itu, kembali Dira menunduk. Ia takut, suaminya itu kembali tersulut emosi. Pria itu kan hobinya cuma satu, marah-marah.
"Kamu melukai dirimu sendiri? Yang benar saja Dira. Apalagi di bagian rawan seperti itu. Bosan hidup kamu?" tersulut emosi, ia menyalak bagai Herder pada Dira. Semakin menciutlah hati gadis kecil itu.
Dira benar-benar tak berani menunjukkan wajah, yang ada wajahnya makin tengelam.
Melihat itu, Agam makin kesal.
"Coba katakan, mengapa kamu melakukan hal itu?" kini nada bicara Agam sedikit merendah. Setelah menghela napas dalam-dalam, ia pun mulai bisa mengontrol emosionalnya.
"Mas Denis ... dia mau macam-macam," ucapnya sembari mengusap kedua pipi yang sudah banjir.
"Kenapa tidak tusuk saja anak itu? Mengapa malah melukai tubuhmu sendiri. Kamu ini takut apa bodoh, hem?" kesal Agam.
Tambah dimarahi lagi, Dira pun tangisnya pecah.
Melihat itu Agam tambah pusing, ia pun mengusap wajah dengan kasar.
"Dira! Bisa ngak stop nangisnya! Saya pusing lihat kamu nangis! Bagaimana kamu mau kasih saya anak? Kalau sikapmu masih seperti ini?" cibir Agam sambil ngelus dadanya yang bidang itu.
Sambil menyusut hidung, dan mengambil tisu di atas dashboard. Dira pun mencoba menghentikan tangisnya.
"Nah gitu, kamu itu calon ibu. Mana bisa cengeng bengini!" cetus pria berhati es itu.
Setelah Dira tenang, akhirnya gadis itu cerita semuanya dari alif sampai ya'.
Mendengar cerita Dira dari pembukaan sampai tamat, emosi Agam mulai naik. Sepertinya ia akan memburu adiknya itu.
"Ayo kita pulang, sepertinya aku harus memberi pelajaran pada anak itu!"
Seperti pembalap professional, Agam memacu mobilnya dengan kencang. Wajah Denis sudah berlarian di pelupuk mata. Sepertinya Denis kali ini akan habis di tangan saudaranya sendiri.
Bersambung
i