Setelah kematian ayahnya, Risa Adelia Putri (17) harus kembali ke rumah tua warisan mendiang ibunya yang kosong selama sepuluh tahun. Rumah itu menyimpan kenangan kelam: kematian misterius sang ibu yang tak pernah terungkap. Sejak tinggal di sana, Risa dihantui kejadian aneh dan bisikan gaib. Ia merasa arwah ibunya mencoba berkomunikasi, namun ingatannya tentang malam tragis itu sangat kabur. Dibantu Kevin Pratama, teman sekolahnya yang cerdas namun skeptis, Risa mulai menelusuri jejak masa lalu yang sengaja dikubur dalam-dalam. Setiap petunjuk yang mereka temukan justru menyeret Risa pada konflik batin yang hebat dan bahaya yang tak terduga. Siapa sebenarnya dalang di balik semua misteri ini? Apakah Bibi Lastri, wali Risa yang tampak baik hati, menyimpan rahasia gelap? Bersiaplah untuk plot twist mencengangkan yang akan menguak kebenaran pahit di balik dinding-dinding usang rumah terkutuk ini, dan saksikan bagaimana Risa harus berjuang menghadapi trauma, dan Pengkhianatan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bangjoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26: Terjebak di Sarang Kematian
Risa terhuyung, kakinya merasakan tumpuan lantai kayu yang berderak dan licin. Bau apak debu, lumut, dan sesuatu yang amis menyengat hidungnya, membuat perutnya mual. Gelap. Gelap sekali. Celah cahaya di belakangnya, portal dari cermin, kini benar-benar tertutup, seolah pintu menuju dunia lain baru saja dihempaskan. Hanya ada kegelapan absolut yang pekat, menelan segala sisa keberaniannya.
“Kevin!” Suara Risa serak, bergetar, nyaris tak terdengar. Ia tak bisa melihat apa-apa. Tangannya meraba-raba di depannya, mencari pegangan, mencari keberadaan Kevin yang tadi ia lihat terbaring lemah. Detak jantungnya berpacu, memukul-mukul rusuknya seolah ingin melarikan diri dari sangkarnya. Rasa dingin yang menusuk tulang itu kembali datang, lebih pekat, lebih kejam. Kali ini bukan hanya dinginnya loteng, tapi dinginnya kehadiran.
Sebuah bisikan menusuk telinganya, tepat di belakang lehernya. "*Selamat datang, Risa... putriku...*". Suara itu bukan suara ibunya yang lembut, bukan bisikan yang menenangkan seperti yang sering ia dengar. Ini suara yang berdesis, parau, penuh amarah dan dendam. Bulu kuduk Risa meremang. Liontin kunci di dadanya terasa membara, panasnya terasa seperti api yang siap membakar kulitnya.
Kevin! Ia harus menemukan Kevin. Dengan sisa tenaga yang ia punya, Risa mencoba melangkah maju, tangannya masih terulur ke depan. Kakinya tersandung sesuatu yang lunak, lalu terbentur benda keras. Ia jatuh tersungkur, lututnya menghantam lantai kayu. Debu tebal beterbangan, menyesakkan napas.
“Uhuk! Uhuk!” Risa terbatuk-batuk, matanya berusaha menyesuaikan diri dengan kegelapan. Sedikit cahaya rembulan yang samar-samar menyusup lewat celah kecil di jendela loteng, memungkinkan matanya menangkap siluet. Dan apa yang ia lihat membuat napasnya tercekat.
Kevin. Ia terbaring tak berdaya hanya beberapa jengkal darinya. Wajahnya pucat pasi, bibirnya kebiruan. Tubuhnya bergetar hebat, dan tangannya mencengkeram erat dadanya, tepat di posisi jantungnya. Di atas Kevin, melayang sesosok bayangan hitam, tinggi, dengan rambut panjang terurai yang menari-nari seperti ular. Matanya merah menyala, memancarkan kebencian yang tak terhingga. Tangannya yang kurus, dengan kuku panjang yang tajam, kini sudah berada sangat dekat dengan dada Kevin, siap untuk menembusnya. Sosok itu menyeringai, menunjukkan barisan gigi yang runcing.
“Tidak! Jangan sentuh dia!” Risa menjerit, suaranya pecah, tapi entah dari mana ia mendapatkan kekuatan. Ia bangkit, melupakan rasa sakit di lututnya. Tanpa berpikir, ia menerjang ke depan, menggunakan tubuhnya untuk mendorong sosok hantu itu. Ini bukan lagi tentang ketakutan. Ini tentang Kevin. Tentang satu-satunya orang yang selalu di sisinya, yang melindunginya, yang menemaninya menembus kegelapan.
Sosok hantu itu mengeluarkan lolongan tajam, suaranya memekakkan telinga, melukai gendang telinga Risa. Tubuh Risa terlempar ke belakang, punggungnya menghantam dinding loteng dengan keras. Rasa sakit menusuk, napasnya tercekat. Pandangannya berputar-putar. Namun, ia tak punya waktu untuk meratapi rasa sakit itu. Hantu itu sekarang menyadari keberadaannya. Matanya yang merah menyala menatap tajam ke arah Risa, bukan lagi Kevin.
“Berani-beraninya kau masuk ke sini, gadis bodoh!” Suara parau itu kini terdengar jelas di benak Risa, bukan lagi bisikan, melainkan raungan. “Kau pikir liontin konyolmu itu bisa melindungimu? Ini rumahku! Ini sarangku! Dan kau akan mati di sini, seperti ibumu!”
Tubuh Risa lemas. Kata-kata itu. Seperti ibunya. Mungkinkah hantu ini yang membunuh ibunya? Atau hantu ini adalah… ibunya?
Tidak. Ini bukan ibunya. Ibunya tidak akan pernah mengatakan hal sekejam itu. Ibunya tidak akan pernah mencoba membunuhnya. Insting Risa menjerit, memperingatkannya. Ini adalah entitas jahat, yang entah mengapa, memiliki koneksi dengan ibunya dan rumah ini.
Hantu itu melayang maju, mendekati Risa dengan kecepatan mengerikan. Cakar panjangnya terulur, siap mencabik-cabik. Risa menutup matanya, bersiap menerima serangan. Namun, liontin di dadanya kembali bereaksi. Cahaya perak yang lebih terang dan menyilaukan dari sebelumnya memancar kuat. Cahaya itu membentuk perisai transparan di sekitar Risa, memantulkan serangan hantu. Hantu itu menjerit kesakitan, mundur beberapa langkah.
“Liontin sialan!” raungnya, suaranya penuh amarah. “Kau melindunginya! Kau selalu melindunginya! Padahal seharusnya kau miliku!”
Liontin milik hantu? Apa maksudnya? Pikiran Risa berputar, mencoba memahami. Liontin ini kan selalu dipakai ibunya, lalu diwariskan kepadanya. Bagaimana bisa liontin ini milik hantu ini? Kecuali… kecuali hantu ini adalah…
Sebuah ingatan singkat melintas di benak Risa, seperti kilatan petir. Malam itu. Malam kematian ibunya. Suara-suara. Teriakan. Lalu… lalu ia melihat seorang wanita, bukan ibunya, dengan liontin serupa di lehernya. Wanita itu tersenyum menyeramkan. Kemudian kegelapan. Apakah itu… Bibi Lastri?
Tidak mungkin. Bibi Lastri selalu memakai kalung dengan liontin lain. Sebuah liontin yang lebih besar, dengan ukiran bunga mawar. Liontin yang sama yang ia lihat di gambar keluarga lama, dipakai oleh seorang wanita yang bukan ibunya.
Bingung dan takut, Risa mencoba berpikir. Apa yang harus ia lakukan? Liontinnya hanya bisa melindunginya, tapi tidak bisa menyerang. Dan Kevin… Kevin terbaring tak berdaya. Ia harus membangunkannya.
“Kevin! Bangun! Kevin!” Risa mencoba berteriak, suaranya serak. Ia merangkak mendekat, melewati genangan debu dan puing-puing. Hantu itu kembali menyerang, kali ini lebih cepat dan beringas. Ia tidak menyerang Risa, tapi memfokuskan serangannya ke arah Kevin, ingin menembus perisai cahaya dari liontin Risa.
Perisai itu bergetar, mulai menunjukkan keretakan. Cahaya perak itu memudar, seolah energinya terkuras habis. Risa tahu, ia tidak punya banyak waktu. Liontinnya tidak akan mampu menahan serangan sekuat itu sendirian.
“Kevin, bangun! Kumohon!” Risa menepuk-nepuk pipi Kevin, berharap bisa membangunkannya dari pingsan. Tapi Kevin tak bergerak. Matanya tertutup rapat, napasnya sangat dangkal. Hantu itu tertawa, tawa yang menusuk tulang, yang bergaung di seluruh loteng.
“Percuma! Dia sudah hampir mati! Tinggal sedikit lagi, dan jiwanya akan menjadi milikku! Sama seperti ibumu!”
Rahang Risa mengeras. Dendam di mata hantu itu begitu nyata, begitu kuat. Ini bukan sekadar arwah penasaran. Ini adalah entitas yang penuh kebencian, yang menginginkan kematian. Dan entah mengapa, ia terobsesi dengan ibunya, dan dengan liontin ini.
Saat hantu itu bersiap melancarkan serangan terakhir, sebuah suara lirih terdengar di benak Risa, bukan dari hantu, tapi dari dalam dirinya. Dari liontin kuncinya.
*Kunci… buka… yang sebenarnya…*
Kunci? Membuka apa? Risa menatap liontin itu, lalu ke arah hantu. Tiba-tiba, ia melihat sesuatu yang aneh. Di leher hantu itu, di balik rambut hitamnya yang terurai, ada sebuah kalung. Sebuah kalung dengan liontin berbentuk bunga mawar. Persis seperti yang ia lihat di foto-foto lama, yang dipakai oleh wanita yang bukan ibunya.
Bibi Lastri. Itu kalung Bibi Lastri! Tapi kenapa hantu ini memakainya? Dan kenapa wajah hantu ini terlihat… familiar? Bukan seperti wajah ibunya, tapi… seperti wajah yang pernah ia lihat di foto keluarga. Wajah Bibi Lastri saat muda.
Tidak. Tidak mungkin. Bibi Lastri masih hidup. Dia walinya. Dia… dia selalu baik padanya. Tapi mata dingin itu… bekas luka bakar samar di tangan kanannya yang selalu ia tutupi… kecemasannya saat sendirian…
Jantung Risa berdebar semakin kencang, bukan karena ketakutan, melainkan karena sebuah kesadaran yang mengerikan mulai merayap dalam benaknya. Sebuah potongan puzzle yang selama ini hilang, kini mulai menemukan tempatnya. Dan kepingan itu, membentuk sebuah wajah. Wajah Bibi Lastri.
“Kau… kau bukan hantu… Bibi Lastri?” Suara Risa nyaris tak terdengar, gemetaran. Ia menatap leher hantu itu, ke arah liontin mawar yang tergantung di sana. Lalu ke mata merah menyala itu. Ada kemiripan yang mengerikan.
Hantu itu berhenti. Tawanya berhenti. Wajahnya yang beringas perlahan berubah, ekspresi terkejut, kemudian marah, kemudian… sesuatu yang lain. Sesuatu yang sangat manusiawi, dan sangat jahat. Sorot matanya menunjukkan pengkhianatan, keputusasaan, dan kebencian yang mendalam.
“Bagaimana kau tahu?” Desisan itu bukan lagi suara hantu yang parau, melainkan suara seorang wanita. Suara yang sangat familiar. Suara Bibi Lastri.
Perisai cahaya dari liontin Risa hancur berkeping-keping. Energi peraknya lenyap. Loteng kembali diselimuti kegelapan yang lebih pekat, lebih dingin, lebih mencekam. Risa sekarang melihatnya dengan jelas, dengan mata kepalanya sendiri. Sosok di depannya bukan lagi hantu tanpa identitas. Itu adalah Bibi Lastri, dalam wujud yang tak dapat dijelaskan, dalam wujud yang menakutkan.
Dan di saat itu juga, Risa menyadari sesuatu yang lebih mengerikan. Jika Bibi Lastri adalah hantu ini, maka siapa yang ada di rumah, di ruang tamu, berpura-pura menjadi walinya? Dan apa yang sebenarnya terjadi pada malam kematian ibunya?
Sebuah bayangan lain, lebih kecil, lebih cepat, melintas dari sudut gelap loteng. Bayangan itu menerjang ke arah Kevin yang masih terkapar. Sebuah tawa melengking, dingin, terdengar. Bukan tawa Bibi Lastri, tapi tawa lain. Tawa yang sangat kejam. Bibi Lastri yang hantu itu menoleh, matanya melebar, seolah terkejut dengan kehadiran baru itu. Risa hanya bisa terpaku, melihat Kevin yang kini terancam dari dua sisi. Ia terjebak. Terjebak di tengah teka-teki paling gelap dalam hidupnya, dengan dua entitas mengerikan, dan Kevin yang sekarat. Loteng itu bukan hanya menyimpan rahasia kematian ibunya. Loteng itu adalah perangkap, yang siap menelan mereka hidup-hidup.