Di puncak Gunung Awan Putih, Liang Wu hanya mengenal dua hal: suara lonceng pagi dan senyum gurunya. Ia percaya bahwa setiap nyawa berharga, bahkan iblis sekalipun pantas diberi kesempatan kedua.
Namun, kenaifan itu dibayar mahal. Ketika gurunya memberikan tempat berlindung kepada seorang pembunuh demi 'welas asih', neraka datang mengetuk pintu. Dalam satu malam, Liang Wu kehilangan segalanya: saudara seperguruan dan gurunya yang dipenggal oleh mereka yang menyebut diri 'Aliansi Ortodoks'.
Terkubur hidup-hidup di bawah reruntuhan kuil yang terbakar, Liang Wu menyadari satu kebenaran pahit: Doa tidak menghentikan pedang, dan welas asih tanpa kekuatan adalah bunuh diri.
Ia bangkit dari abu, bukan sebagai iblis, melainkan sebagai mimpi buruk yang jauh lebih mengerikan. Ia tidak membunuh karena benci. Ia membunuh untuk 'menyelamatkan'.
"Amitabha. Biarkan aku mengantar kalian ke neraka, agar dunia ini menjadi sedikit lebih bersih."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kokop Gann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pesta Darah di Labirin
Lorong batu itu sempit, lebarnya hanya cukup untuk tiga orang berjalan berjejer. Bagi serigala, ini berarti mereka tidak bisa menyerang serentak. Mereka harus antre untuk mati.
Serigala pertama melompat. Rahangnya terbuka lebar, mengincar tenggorokan Liang Wu.
Liang Wu tidak menangkis dengan golok. Dia mengangkat lengan kirinya—lengan yang kulitnya telah berubah menjadi tembaga hitam di balik debu arang.
KRAK!
Gigi taring serigala itu beradu dengan lengan Liang Wu. Suaranya bukan suara daging yang sobek, melainkan suara batu yang digigit.
Serigala itu memekik kaget. Giginya retak.
"Gigimu tumpul," geram Liang Wu.
Tangan kanan Liang Wu, yang memegang Golok Berat, bergerak horizontal.
SHING!
Kepala serigala itu putus di udara. Darah panas menyembur, memandikan dada telanjang Liang Wu yang penuh feromon. Bau darah bercampur feromon itu semakin memabukkan bagi serigala-serigala di belakangnya.
"Berikutnya!"
Dua serigala menerjang bersamaan. Satu mengincar kaki, satu mengincar bahu.
Liang Wu menghentakkan kakinya. Langkah Bayangan Tikus. Dia menghilang dari posisi awalnya, muncul selangkah di samping serigala yang menyerang bawah, lalu menendang kepala monster itu.
BUKK!
Tengkorak serigala itu penyok ke dalam. Otaknya hancur oleh getaran Tapak Vajra yang disalurkan lewat kaki.
Serigala yang menyerang atas mendarat di tempat kosong, bingung. Sebelum ia bisa berbalik, golok Liang Wu sudah turun membelah punggungnya.
Tiga mati dalam lima detik.
Tapi masih ada dua puluh lebih di belakang mereka. Lolongan mereka memekakkan telinga. Dinding labirin bergetar.
Liang Wu tidak mundur. Dia maju.
Dia menjadi badai baja dan daging. Setiap ayunan goloknya membawa kematian. Dia tidak menggunakan teknik pedang yang indah. Dia menggunakan golok itu seperti pentungan raksasa yang tajam. Membacok, memukul, menghancurkan.
Crat! Crat!
Darah serigala menggenang di lantai batu hingga setinggi mata kaki.
Napas Liang Wu memburu. Qi Emas di dalam tubuhnya bergolak liar, dipacu oleh adrenalin dan aroma kematian.
Tiba-tiba, seekor serigala cerdik melompat dari dinding samping, berhasil menggigit punggung Liang Wu.
"Argh!"
Gigi serigala itu berhasil menembus kulit punggung Liang Wu yang belum sekeras lengannya. Rasa sakit tajam menjalar.
Liang Wu tidak panik. Dia menjatuhkan goloknya, lalu menggapai ke belakang, mencengkeram leher serigala yang menggigitnya.
Dia membanting serigala itu ke depan, menghantamkannya ke tanah.
Lalu, dia melakukan sesuatu yang membuat Zhao—yang mengintip dari atas dinding jauh—muntah.
Liang Wu tidak mengambil goloknya. Dia menusukkan jari-jari tangannya langsung ke dada serigala yang masih hidup itu, merobek kulit dan tulang rusuknya dengan tangan kosong.
Dia merogoh ke dalam, menarik keluar jantung dan Inti Api yang masih berdenyut.
Serigala itu mati seketika.
Liang Wu, dengan tubuh berlumuran darah dan mata merah menyala, memasukkan Inti Api itu ke dalam mulutnya.
Kletuk.
Dia mengunyahnya. Di tengah pertarungan.
Panas meledak di perutnya. Energi murni itu menyebar ke punggungnya, menutup luka gigitan dalam hitungan detik dengan uap panas yang mendesis.
"LEBIH BANYAK!" raung Liang Wu. Suaranya bukan suara manusia lagi. Itu suara Asura.
Dia memungut goloknya kembali. Energi baru membuat otot-ototnya membengkak, urat-urat hitam menyembul di kulit tembaganya.
Pembantaian berlanjut.
Sepuluh menit.
Dua puluh menit.
Tumpukan mayat serigala mulai menyumbat lorong. Liang Wu harus berdiri di atas bukit mayat itu untuk membunuh sisanya.
Para serigala mulai ragu. Insting binatang mereka berteriak bahwa makhluk di depan mereka bukanlah mangsa. Itu adalah predator puncak.
Seekor Alpha—Serigala Api jantan yang ukurannya dua kali lipat lebih besar dengan surai api biru—muncul dari belakang kawanan. Dia menggeram, menantang Liang Wu.
"Kau pemimpinnya?" tanya Liang Wu, menyeka darah dari topeng kulitnya yang sudah separuh lepas.
Alpha itu melesat. Kecepatannya setara dengan Pengumpulan Qi Tingkat 9. Cakar apinya bisa melelehkan besi.
Liang Wu membuang goloknya yang sudah tumpul dan bengkok.
Dia memasang kuda-kuda.
Tapak Vajra: Gema Lonceng.
Saat Alpha itu menerkam, Liang Wu menepukkan kedua tangannya ke telinga monster itu dari kiri dan kanan secara bersamaan.
BUMMM!
Gendang telinga Alpha itu pecah. Otaknya terguncang hebat. Monster itu jatuh terhuyung-huyung, kehilangan keseimbangan.
Liang Wu melompat ke punggung Alpha. Dia melingkarkan lengannya di leher tebal monster itu.
Pitingan maut.
Otot lengan tembaga Liang Wu menegang.
Krek... Krek...
Alpha itu meronta, mencakar-cakar lengan Liang Wu, tapi kuku-kukunya hanya menghasilkan percikan api di atas kulit keras itu.
"Tidur," bisik Liang Wu.
KRAK!
Leher Alpha itu patah.
Suasana hening seketika.
Sisa serigala yang masih hidup—sekitar lima ekor—melihat pemimpin mereka mati. Mereka merengek, menyelipkan ekor di antara kaki, dan lari terbirit-birit menjauh dari iblis berdarah itu.
Liang Wu berdiri di atas mayat Alpha. Napasnya berat, mengeluarkan uap putih. Seluruh tubuhnya merah oleh darah.
Dia menengadah ke atas dinding labirin.
Di sana, Zhao si Ular Licik sedang menatapnya dengan wajah pucat pasi. Kakinya gemetar begitu hebat hingga dia harus berpegangan pada batu agar tidak jatuh.
Zhao telah melihat semuanya.
Dia melihat Liang Wu memakan inti mentah. Dia melihat kulit Liang Wu menahan gigitan. Dia melihat Liang Wu membunuh Alpha dengan tangan kosong.
Liang Wu mengangkat tangannya, menunjuk Zhao.
Lalu, dia membuat gerakan menggorok leher.
"Kau berikutnya," mulut Liang Wu bergerak tanpa suara.
Zhao menjerit ketakutan. Dia berbalik dan lari di atas dinding, melupakan semua rencana liciknya, melupakan turnamen. Dia hanya ingin menjauh dari monster itu.
Liang Wu tidak langsung mengejar.
Dia berlutut di tengah lautan mayat.
Dia punya pekerjaan yang harus diselesaikan.
Satu per satu, dia membedah mayat-mayat itu. Mengambil inti mereka.
Satu. Lima. Sepuluh. Dua puluh tiga.
Dua puluh tiga Inti Serigala Api. Ditambah satu Inti Alpha.
Liang Wu tertawa kecil. Tawa yang serak dan menyakitkan.
"Pesta besar," gumamnya.
Dia memakan lima butir sekaligus. Rasa sakit membakar seluruh tubuhnya, tapi dia menyambutnya seperti teman lama.
Di kejauhan, gong tanda pertengahan hari berbunyi.
Turnamen baru berjalan setengah hari, dan Liang Wu sudah menjadi penguasa labirin.
Dia memotong kepala Alpha itu, mengikatnya di pinggangnya sebagai bukti kelulusan.
Lalu dia berjalan ke arah di mana Zhao lari.
Perutnya kenyang, tapi dendamnya belum tuntas.
Alurnya stabil...
Variatif