ongoing
Tian Wei Li mahasiswi miskin yang terobsesi pada satu hal sederhana: uang dan kebebasan. Hidupnya di dunia nyata cukup keras, penuh kerja paruh waktu dan malam tanpa tidur hingga sebuah kecelakaan membangunkannya di tempat yang mustahil. Ia terbangun sebagai wanita jahat dalam sebuah novel.
Seorang tokoh yang ditakdirkan mati mengenaskan di tangan Kun A Tai, CEO dingin yang menguasai dunia gelap dan dikenal sebagai tiran kejam yang jatuh cinta pada pemeran utama wanita.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon frj_nyt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#26
Wei Li baru sadar hidup normal itu rapuh saat ia kembali ke mall yang sama. Bukan karena tempatnya berubah. Lampu masih terang, musik masih sama, orang-orang masih sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Yang berubah adalah perasaan di dadanya—seperti ada tangan tak terlihat yang menggeser sedikit keseimbangan.
Ia berdiri di depan toko buku, memegang satu novel tipis yang sampulnya mencolok. Tangannya melipat ke dada, lalu membuka lagi, ragu. “anda yakin nggak mau ditemenin masuk?” tanya Jae Hyun dari sampingnya. Wei Li menggeleng kepalanya pelan. “Gue pengin sendiri sebentar.”
Jae Hyun mengangguk. “Saya di luar. Jangan jauh.” Wei Li meliriknya. “Lo bilang jangan jauh tapi berdiri kayak satpam negara.”
“Profesional,” jawab Jae Hyun ringan. Wei Li tersenyum kecil, lalu masuk.
Di dalam toko, aroma kertas baru dan kopi dari kafe kecil di sudut ruangan bercampur. Ia berjalan perlahan di antara rak, jarinya menyusuri punggung buku. Napasnya mulai tenang. 'Gini harusnya' pikirnya. Tenang. Biasa.
Ia mengambil buku catatan lain lebih kecil lalu menuju kasir. Saat itulah ia merasakan sesuatu. Bukan sentuhan. Bukan suara. Tatapan.
Wei Li berhenti, menoleh pelan. Di antara dua rak, seorang pria berdiri membaca buku seolah-olah tidak ada apa-apa. Tinggi, rapi, wajahnya biasa saja terlalu biasa. Naluri Wei Li bergerak lebih cepat dari pikirannya. Bahunya menegang, jari-jarinya mencengkeram buku sedikit lebih erat.
"Lo parno an", katanya pada diri sendiri. Santai. Ia melangkah ke kasir, membayar, lalu keluar. Saat melewati pintu, ia menoleh sekilas.
Pria itu masih di sana. Wei Li tidak berhenti. Ia berjalan lebih cepat, keluar ke lorong mall. Jae Hyun langsung mendekat. “Kenapa?” tanya Jae Hyun, nada suaranya turun satu tingkat. Wei Li tidak langsung menjawab. Ia melirik ke belakang, lalu ke samping. “Ada yang ngikutin.”
Jae Hyun menoleh sekilas, matanya tajam. “Yang mana?” Wei Li memberi isyarat kecil dengan dagu. “Rak belakang toko buku.” Jae Hyun mengangguk hampir tak terlihat. “Kita pindah tempat.”
Mereka berjalan, bukan lari. Wei Li menjaga langkahnya tetap normal meski dadanya berdebar. Tangannya masuk ke saku jaket, jari-jarinya bergetar sebentar sebelum ia menenangkannya dengan menggenggam kain.
Mereka berhenti di kafe terbuka. Wei Li duduk, memesan minuman tanpa benar-benar mendengar apa yang ia ucapkan. “anda yakin?” tanya Jae Hyun pelan saat mereka duduk.
Wei Li mengangguk. “Insting gue jarang salah.” Jae Hyun tidak membantah. Ia mengirim pesan singkat dari ponselnya, lalu kembali menatap sekeliling.
Beberapa menit berlalu. Wei Li mencoba fokus pada minumannya. Es mencair perlahan, suara sendok kecil beradu dengan gelas. Ini tempat biasa, katanya pada diri sendiri. Dia nggak bakal macem-macem di sini. “Permisi.”
Suara itu datang dari depan. Wei Li mendongak. Pria yang tadi berdiri di sana senyum tipis, sopan, mata yang terlalu tenang. “Boleh saya duduk?” tanyanya. Wei Li menatapnya tanpa senyum. “Kursinya banyak.”
Pria itu tertawa kecil. “Benar.” Ia tetap duduk. Jae Hyun bergerak setengah berdiri. “Maaf, meja ini—”
“Tidak apa-apa,” potong Wei Li, mengangkat tangannya sedikit. Ia menatap pria itu lurus. “anda siapa?” Pria itu tersenyum lebih lebar. “Teman.” Wei Li menyandarkan punggung ke kursi. “Teman nggak ngikutin orang.”
“Kadang iya,” jawab pria itu santai. “Kalau khawatir.” Wei Li mendengus. “Shen Yu An.” Pria itu tidak menyangkal. “Beliau ingin menyampaikan pesan.”
Wei Li melipat tangannya di dada. “Telepon saya udah cukup jelas.”
“Beliau lebih suka memastikan,” kata pria itu. “Anda terlihat… sibuk menikmati hidup.” Wei Li mencondongkan tubuh ke depan. “Itu masalah?”
“Bisa jadi.” Jae Hyun menyela, suaranya dingin. “Silakan sampaikan pesan Anda dan pergi.”
Pria itu melirik Jae Hyun, lalu kembali ke Wei Li. “Beliau ingin mengingatkan hidup normal itu mahal.” Wei Li tersenyum tipis. “saya mampu.”
“Bukan soal uang,” balas pria itu. Keheningan melanda. Suara mall kembali terasa terlalu keras. Wei Li menghela napas pelan. “Kalau itu aja, bilang ke dia: saya nggak lupa apa pun. Tapi saya juga nggak mau diancam.”
Pria itu berdiri. “Ini bukan ancaman.” Wei Li menatapnya dingin. “Buat saya, ini gangguan.” Pria itu tersenyum tipis sebelum pergi. Wei Li bersandar kembali, napasnya sedikit lebih berat. Tangannya mengusap lengannya sendiri, berusaha menenangkan detak jantung yang mulai cepat. “anda oke?” tanya Jae Hyun. Wei Li mengangguk. “Iya. Kesel aja.”
“Kita pulang?” tanya Jae Hyun. Wei Li menatap sekitar orang-orang tertawa, minum kopi, hidup seperti biasa. “Iya.”
Di mobil, Wei Li menatap keluar jendela. Kota bergerak cepat, seolah tidak peduli dengan permainan yang baru saja menyentuhnya. “Dia sengaja,” kata Wei Li pelan. “Dateng ke tempat biasa.”
“Untuk menunjukkan bahwa tidak ada tempat yang benar-benar aman,” jawab Jae Hyun. Wei Li tersenyum miring. “Murahan.”
“Efektif,” tambah Jae Hyun.
Sesampainya di rumah, Kun A Tai sudah menunggu di ruang kerja. Wajahnya datar, tapi matanya tajam. Wei Li menutup pintu di belakangnya. “Jangan marah dulu.” Kun A Tai menatapnya. “Apa yang terjadi?”
Wei Li menceritakan singkat. Tanpa dramatis. Tanpa emosi berlebihan. Saat ia selesai, Kun A Tai mengepalkan tangan di atas meja. “Dia berani.”
Wei Li menyandarkan pinggul ke meja. “Makanya aki bilang dia nyerang hidup normal ku.” Kun A Tai berdiri. “Aku akan menghentikannya.” Wei Li menatapnya serius. “Jangan meledak. Itu yang dia mau.”
Kun A Tai menatap balik. “Kau ingin aku diam?” Wei Li menggeleng. “aku mau lo pinter.” Keheningan panjang. Kun A Tai akhirnya berkata, “Kau menyesal keluar hari ini?” Wei Li mengusap tengkuknya. “Nggak.”
“Kenapa?” Wei Li tersenyum tipis. “Karena kalau aku berhenti hidup cuma karena dia, berarti dia menang.” Kun A Tai menatapnya lama, lalu mengangguk. “Baik.” Wei Li berdiri tegak. “Tapi mulai sekarang, aku nggak mau sendirian di tempat umum.” Kun A Tai mengangguk lagi. “Disepakati.”
Malam itu, Wei Li kembali ke kamar. Ia duduk di tepi ranjang, membuka buku catatan kecil yang baru dibelinya..Ia menulis Hari ini, hidup normal diganggu. Tapi belum dicabut. Ia menutup buku, merebahkan diri, menatap langit-langit. Ada retakan baru. Lebih jelas. Lebih dekat. Dan kali ini, Wei Li tahu Shen Yu An tidak akan berhenti di gangguan kecil.