NovelToon NovelToon
Istri Terbuang

Istri Terbuang

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Janda / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / Mengubah Takdir
Popularitas:4.6k
Nilai: 5
Nama Author: ummushaffiyah

Sepenggal kisah nyata yang dibumbui agar semakin menarik.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ummushaffiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 26 — Menahan Diri di Tengah Badai

Pagi itu Zahwa terbangun dengan perasaan yang menggumpal di dada. Bukan hanya karena presentasi besar di kantor Daniel hari ini, tapi karena amplop cokelat yang masih tergeletak di meja kecil kosannya. Surat cerai dari Farhan, yang belum ia tanda tangani.

Ia menatap amplop itu lama.

“Ya Allah… apa yang harus aku lakukan?” gumamnya pelan.

Zahwa menutup mata, menarik napas panjang. Ia ingat kata-kata Bu Rifda kemarin, “Nak, jangan putuskan apa-apa dalam kondisi sedih. Pelan-pelan. Konsultasi dulu, temui suamimu baik-baik.”

Dan ia juga ingat bagaimana Daniel, dengan suaranya yang tenang namun penuh empati, berkata:

“Don’t rush, Zahwa. Think carefully. I can help you find someone reliable to discuss your rights.”

Kombinasi itu membuat kepalanya semakin penuh. Tapi hari ini dia harus menaruh semua itu sebentar di kotak khusus di dalam hatinya. Karena perusahaan Daniel sudah menjadwalkan presentasi besar lanjutan langkah yang menentukan apakah kerja sama mereka akan disetujui.

“Bismillah…”

Ia berdiri, merapikan gamis putih polos, lalu mengambil kotak-kotak makanan yang ia siapkan sejak malam.

---

Begitu sampai di lobby kantor Daniel, sambutan beberapa karyawan kembali seperti sebelumnya, hangat dan penuh dukungan.

“Semangat ya Bu Zahwa!”

“Wah, bawaannya banyak. Presentasi besar ya?”

Zahwa tersenyum, meski hatinya masih lelah. “Iya, terima kasih ya.”

Lift terbuka, dan Arvino asisten Daniel — sudah menunggu sambil melambaikan tangan.

“Selamat pagi, Bu Zahwa. Pak Daniel sudah menunggu.”

Zahwa mengangguk, masuk lift. “Pagi, Mas Arvino.”

Lift naik, dan Arvino menatap sekilas tangan Zahwa yang menggenggam ponsel.

“Bu Zahwa, gapapa?”

Pertanyaannya lembut, tidak kepo, tapi peduli.

“Oh… iya. Gapapa.”

Zahwa tersenyum, berusaha tidak menunjukkan bahwa semalam ia menangis lama.

Arvino mengangguk mengerti. “Kalau butuh apa-apa, bilang ke saya ya. Pak Daniel juga nyuruh saya pastikan semua aman buat Ibu hari ini.”

Zahwa tercekat.

Daniel… memperhatikan sampai sejauh itu?

---

Lift terbuka di lantai 15. Daniel sudah berdiri di depan pintu seolah sengaja menunggu.

“Good morning,” ucapnya.

Tatapannya pertama kali tidak jatuh pada kotak makanan, tidak pada baju Zahwa… tapi pada wajahnya.

Wajah Zahwa yang sedikit sembab.

Zahwa buru-buru menunduk. “Pagi, Pak—eh… Daniel.”

Daniel menautkan alis, langkahnya mendekat setengah.

“Kamu tidur?”

“Tidur, alhamdulillah,” Zahwa menjawab pelan, meski kenyataannya hanya tidur tiga jam.

Daniel tidak menekan, tidak bertanya panjang. Ia hanya berkata,

“After the meeting, I want you to talk to someone I recommended yesterday. She’s a family law consultant. She’s good. Trustworthy.”

Jantung Zahwa langsung melunak.

Support yang seperti ini… bukan gombal. Bukan memanfaatkan celah.

Murni peduli.

“Terima kasih… Daniel.”

Daniel mengangguk kecil. “Let’s go. Everyone’s waiting.”

---

Ruang presentasi jauh lebih penuh dari trial kemarin. Hampir semua divisi hadir. Para petinggi pun duduk rapi di baris depan.

Beberapa orang membisik:

“Itu chef-nya ya? Cantik banget…”

“Elegan banget ya… vibes-nya calm tapi confident.”

Zahwa mengatur napas, lalu mulai.

Slide berganti, suara Zahwa terdengar jelas dan mantap. Meskipun pikirannya terbelah antara pekerjaannya dan surat cerai itu, justru ia merasa sisi profesionalnya muncul lebih kuat.

Ia menjelaskan inovasi hospitality food, konsep menu, packaging yang personal, dan bagaimana tiap hidangan dibuat untuk menghadirkan rasa pulang meski di kantor besar.

Setiap kalimatnya tidak hanya informatif, tapi ada kehangatan.

Dan anehnya… kehangatan itu terasa justru ketika matanya tanpa sengaja menangkap Daniel di baris depan. Tatapannya tenang. Meyakinkan. Seolah berkata: Kamu aman. Lanjutkan.

Para petinggi bertepuk tangan ketika ia menutup presentasi.

“Excellent, Bu Zahwa.”

“Cita rasanya unik. Fresh.”

“Tadi yang rujak mangga… aduh enak banget!”

Zahwa menangkupkan tangan. “Terima kasih banyak, Bapak-Ibu.”

Saat peserta mulai mencicipi makanan, Daniel berjalan mendekat.

Tidak mencicipi dulu. Tidak ikut berkomentar ke orang lain.

Fokusnya hanya ke Zahwa.

“You did very well,” katanya pelan.

Zahwa tersenyum kecil. “Semoga hasilnya baik.”

Daniel menjawab dengan nada lebih lembut,

“Kamu lebih dari baik. Kamu impactful.”

Zahwa menunduk, malu… sekaligus terharu.

Baru kali ini ada laki-laki yang memuji bukan penampilan, bukan peran sebagai istri, tapi kemampuan dan nilai dirinya.

Daniel menambahkan,

“After everyone leaves, stay for a bit. I want to talk about your consultation plan.”

Zahwa menatapnya. Ada sesuatu yang hangat menembus lelahnya.

“Baik, terima kasih banyak.”

Daniel mengangguk pelan, lalu kembali ke rombongan petinggi.

Dan di titik itu… Zahwa merasakan sesuatu mengalir pelan di dadanya.

Bukan cinta.

Bukan suka.

Tapi rasa aman, sesuatu yang telah lama hilang darinya.

Ia tahu dirinya belum siap mengambil keputusan besar apapun.

Tapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama… ia tidak merasa sendirian.

1
Hafshah
terus berkarya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!