Dalam dunia korporasi yang berputar terlalu cepat, Ethan Solomon Montgomery, Presiden Direktur Montgomery Group, hidup dengan ketenangan yang dirancang oleh keluarga yang membentuknya. Ia tumbuh untuk memimpin, bukan untuk diperintah. Sejak kecil Celine Mattea selalu berdiri di sisinya, perempuan yang mampu masuk ke semua pintu keluarga Montgomery. Celine mencintai Ethan dengan keyakinan yang tidak pernah goyah, bahkan ketika Ethan sendiri tidak pernah memberikan kepastian. Hubungan mereka bukan hubungan lembut yang manis, melainkan keterikatan panjang yang sulit dilepaskan. Persahabatan, warisan masa kecil, ketergantungan, dan cinta yang Celine perjuangkan sendirian. Ketika Cantika, staf keuangan sederhana memasuki orbit Ethan, sesuatu di dalam diri Ethan bergeser. Sebuah celah kecil yang Celine rasakan lebih tajam daripada pengkhianatan apa pun. Ethan dan Celine bergerak dalam tarian berbahaya: antara memilih kenyamanan masa lalu atau menantang dirinya sendiri untuk merasakan sesuatu yang tidak pernah ia izinkan. Ini adalah kisah dua orang yang seharusnya ditakdirkan bersama, tetapi cinta yang bertahan terlalu lama tidak selalu berarti cinta yang benar. Disclaimer: Novel ini adalah season 2 dari karya Author, “Falling in Love Again After Divorce.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bahaya yang Mulai Terlihat
Ethan Montgomery tidak membuang waktu. Tangga jet pribadi Montgomery Corp sudah terbuka. Lampu landasan menyinari siluetnya yang tinggi dan tegang. Ia melangkah cepat melewati landasan, New York sedang menunggunya dan Celine ada di sana.
Namun tiba-tiba Hans melangkah lebih dulu dan menghalangi jalannya.
Ethan menggeram, “Hans! Menyingkir dari hadapanku!”
Hans menelan ludah, menunduk singkat sebelum berbicara.
“Maaf, Tuan,” katanya cepat namun terkontrol. “Nyonya Ariana ingin berbicara dengan Anda.”
Langkah Ethan terhenti. Rahangnya mengeras, bukan karena Hans melainkan karena tidak bisa menolak nama itu.
“Serahkan.” perintah Ethan dingin.
Hans segera menyerahkan ponsel dengan dua tangan, sebuah gestur hormat yang tak pernah dilanggar di lingkungan Montgomery.
Ethan langsung meletakkannya di telinga.
“Selamat malam, Mama,” ucapnya singkat.
“Pulang.”
Satu kata, tanpa nada tinggi dan tanpa emosi berlebih. Tapi justru itu yang membuatnya berat.
Ethan menutup mata sejenak.
“Mama…”
“Pulang sekarang,” potong Ariana, tenang namun absolut. “Dan selesaikan kekacauan yang kau buat.”
“Aku ada urusan penting, Mama.”
Satu tarikan napas terdengar di seberang sana.
“Mama menunggumu di mansion,” lanjut Ariana, suaranya kini lebih dalam. “Atau kau tidak akan melihat Mama lagi selamanya.”
Klik. Panggilan terputus.
Ethan menatap layar ponsel itu lama. Wajahnya tak berubah, tapi sesuatu di matanya menggelap. Tidak ada ancaman kosong dalam keluarga Montgomery.
Ethan melepaskan kancing jasnya, “Sial.” umpatnya kasar.
Jika Ariana Montgomery sudah bicara, maka ini bukan lagi soal ke mana Ethan akan pergi melainkan siapa yang harus ia hadapi lebih dulu.
“Batalkan rute New York.”
Hans menegang, “Tujuan, Tuan?”
“Jakarta,” jawab Ethan dingin. “Sekarang.”
Hans mengangguk cepat. “Baik, Tuan.”
Ethan menaiki jet dengan langkah panjang dan keras. Pintu ditutup, mesin dinyalakan. Mereka terbang meninggalkan Bali bersama kekacauan yang belum selesai.
Ethan melangkah masuk ke Mansion Montgomery. Lampu kristal di langit-langit menyala sempurna, memantulkan cahaya ke lantai marmer yang selalu dipoles setiap pagi. Dua pelayan yang berdiri di sisi pintu utama menunduk bersamaan.
“Tuan dan Nyonya Besar menunggu di ruang kerja, Tuan Muda.” ucap salah satu dari mereka sebelum Ethan sempat bertanya.
Ethan tidak menjawab. Namun kakinya melangkah panjang menyusuri koridor panjang menuju ruang kerja ayahnya.
Ketika pintu ruang kerja terbuka. Ariana sudah duduk dengan punggung tegak, dan kedua tangan yang bertaut di atas permukaan meja. Sean berdiri di dekat jendela tinggi, memandang taman belakang tanpa benar-benar melihatnya. Florence duduk anggun di depan Ariana, diam namun mengawasi segalanya.
Keheningan di ruangan itu terasa berat, tidak ada senyum atau sapaan pulang seperti biasanya.
“Jelaskan,” ujar Ariana memecah keheningan.
Ethan berhenti beberapa langkah dari meja.
“Aku sedang ada urusan penting, Mama,” katanya datar. “Ini bukan waktu yang tepat untuk mengadakan rapat keluarga.”
Plak.
Suara tamparan itu menggema keras. Untuk pertama kalinya sejak Ethan mengenal dunia, tangan Ariana Montgomery mendarat di pipinya
Ethan tidak bergeser. Kepalanya sedikit berbelok akibat hentakan itu, tapi matanya tetap dingin.
Ariana berdiri di hadapannya, napasnya tidak teratur, wajahnya pucat namun matanya basah.
“Mama kecewa,” ucapnya lirih. “Mama telah membesarkan seorang pengkhianat.”
“Aku bukan pengkhianat,” jawab Ethan kuat, rahangnya mengeras. “Bagaimana aku bisa berkhianat jika Celine selalu mengikutiku sejak kecil, Mama?”
“Lalu apa yang kau lakukan, Ethan?” suaranya meninggi. “Apa ini bukan pengkhianatan? Kau lebih mementingkan wanita lain dibanding istrimu sendiri.”
Sean melangkah mendekat, mencoba menenangkan Ariana.
“Ariana, Sayang.”
Namun Ariana menepis tangannya. Pandangannya tidak lepas dari Ethan.
“Kau telah menyaksikan hidup ibumu ini jatuh bangun sejak kecil. Tapi kau melakukan hal yang sama pada wanita yang sudah kuanggap seperti putriku sendiri.” Tangannya meraih sebuah map tipis dari atas meja, lalu menghempaskannya ke dada Ethan.
Ethan membuka map itu tanpa ragu. Saat pandangannya menangkap arti satu per satu huruf yang tertulis di sana, tangannya perlahan mengeras lalu menghempaskan kertas itu sembarangan.
Surat Pembatalan Pernikahan. Sudah diberi cap dan disahkan oleh pengadilan.
Amarah dan terkejut bercampur menjadi satu. Ia telah menutup semua akses hukum menggunakan nama Montgomery. Mustahil untuk Celine bergerak tanpa seizinnya. Ia mengangkat kepala, menatap Ariana dingin.
“Kenapa Mama ikut campur tanpa seizinku?” Suaranya sedikit meninggi.
Sean mendekat, berdiri di depan Ariana. “Turunkan nadamu saat berbicara dengan istriku.” katanya penuh tekanan
“Aku tidak akan melewati batas jika surat ini tidak ada di rumah ini.” balas Ethan dingin. “Celine tidak akan bisa melewati kuasaku, kecuali kalian ikut campur.”
Sean tersenyum tipis, senyum seorang pria yang telah hidup cukup lama untuk mengenali kesalahan fatal.
“Kau terlalu meremehkan patah hati seorang wanita, Son.”
Florence akhirnya bangkit, setelah sekian lama menjadi pendengar. Langkahnya pelan, suaranya tenang, aristokrat dalam bentuk paling murni.
“Pernikahanmu disiarkan terbuka di seluruh negeri. Pembatalan ini akan menjadi preseden berbahaya bagi nama Montgomery.”
Ia menatap Ethan tajam. “Jangan bodoh, Ethan. Kami tidak akan mengambil langkah ini dalam satu hari.”
Ethan tidak menjawab, keningnya berlipat. Tanpa berkata apa pun, ia mengambil kembali surat itu dari lantai, matanya menyisir setiap halaman dengan teliti.
“Barlex,” gumamnya.
Sean langsung menegang. Ia mendekat, kini benar-benar menatap Ethan.
“Barlex?” tanyanya dingin. “Kenapa kau bisa berurusan dengan nama itu, Ethan?”
Keheningan kembali turun. Namun kali ini bukan karena amarah, melainkan karena bahaya yang mulai terlihat bentuknya.
Ethan tidak menjawab. Tanpa berkata apa pun lagi, ia berbalik.
“Ethan!” panggil Sean keras. “Jangan melangkah keluar sebelum kau menjelaskan semuanya.”
Namun Ethan tidak berhenti. Langkahnya panjang dan pasti, seolah setiap detik yang ia buang di ruangan ini adalah kesalahan strategis. Pintu ruang kerja terbuka dan tertutup kembali dengan suara berat.
Brak.
Sean mondar-mandir di ruang kerja dengan langkah cepat dan gelisah. Biasanya ruangan itu memberinya rasa kendali dan ketenangan namun malam ini, semuanya terasa tidak masuk akal.
Ia berhenti tepat di hadapan Florence.
“Sejak kapan, Mama?” tanyanya tajam, tanpa basa-basi. Rahangnya mengeras. “Sejak kapan Mama tahu Ethan punya markas sendiri?”
Florence hampir saja membantah. Namun tatapan Sean menghentikannya, tatapan yang menuntut kebenaran. Ia berdehem pelan, merutuki Ethan dalam diam. Anak itu selalu berhasil menempatkannya di posisi paling sulit.
“Sejak saat itu,” jawabnya akhirnya, suaranya rendah namun tetap terkontrol. “Saat kau menghukumnya dan melarangnya menginjakkan kaki di markasmu.”
Sean tersentak kaget.
“Mama…” suaranya meninggi. Tidak menyangka markas itu sudah berdiri selama itu tanpa sepengetahuannya. “Mama membiarkan anak itu berjalan terlalu jauh dalam dunia gelap.”
“Barlex bukan lawan yang bisa ia tangani sendiri, Ma,” lanjut Sean dengan nada ditekan. “Barlex sepenuhnya bermain di dunia kotor. Tidak ada aturan dan kemanusiaan di sana.”
“Aku tahu,” jawab Florence cepat.
Sean terdiam sejenak, lalu menatap ibunya dengan sorot marah yang tertahan.
“Kau pikir Mama tidak memperingatkan putramu?” Florence membalas, nada suaranya naik tipis namun mengandung keresahan. “Kenapa kau malah menyalahkan Mama?”
Sean menghembuskan napas panjang. Ia tahu betul jika ibunya tidak bisa dihadapi dengan amarah.
“Oke… fine,” katanya akhirnya, lebih lembut. “Tolong, Mama. Jelaskan padaku semuanya."
Florence terdiam, tampak seperti sedang menimbang sesuatu yang berat. Biar bagaimana pun, ia telah membuat janji dengan cucunya.
Setelah beberapa detik yang terasa panjang, ia menghela napas pelan.
“Aku tidak tahu semuanya,” katanya akhirnya. “Aku hanya tahu sejauh ini.”
pengorbanan celine terlalu besar hy untuk se ekor ethan...
cepatlah bangkit dan move on celine dan jauh jauh celine jangan terlibat apapun dgn amox apalagi yg didalamnya ada ethan² nya...
mungkin si SEthan merasa bersslah dan ingin bertanggung jawab atas kematian ayahnya Cantika, karna mungkin salah sasaran dan itupun sudah di jekaskan Raga & Rega.
tapi dadar si SEthan emang sengaja cari perkara, segala alasan Cantika punya adik, preettt...🤮🤮🤮
Balas dendam kah?
Siapa Barlex?
Berhubungan dengan ortunya Cantika kah?
Haiisz.. makin penisiriin iihh.. 😅😅🤣🤣
Thanks kk Demar 🤌🏻🤌🏻