Raska adalah siswa paling tampan sekaligus pangeran sekolah yang disukai banyak gadis. Tapi bagi Elvara, gadis gendut yang cuek dan hanya fokus belajar, Raska bukan siapa-siapa. Justru karena sikap Elvara itu, teman-teman Raska meledek bahwa “gelar pangeran sekolah” miliknya tidak berarti apa-apa jika masih ada satu siswi yang tidak mengaguminya. Raska terjebak taruhan: ia harus membuat Elvara jatuh hati.
Awalnya semua terasa hanya permainan, sampai perhatian Raska pada Elvara berubah menjadi nyata. Saat Elvara diledek sebagai “putri kodok”, Raska berdiri membelanya.
Namun di malam kelulusan, sebuah insiden yang dipicu adik tiri Raska mengubah segalanya. Raska dan Elvara kehilangan kendali, dan hubungan itu meninggalkan luka yang tidak pernah mereka inginkan.
Bagaimana hubungan mereka setelah malam itu?
Yuk, ikuti ceritanya! Happy reading! 🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26. Gagal
Elvara menutup bukunya setengah, menatap lurus ke depan.
“Pas gue berbalik, tiba-tiba gue sama Bella tabrakan. Gue jatuh, dia juga jatuh.”
Kening Raska berkerut.
“Dia sengaja nabrak lo?”
Elvara menggeleng. “Gak tahu. Yang pasti kami tabrakan, sama-sama jatuh.”
Raska mengembuskan napas panjang. Frustrasi jelas terlihat. “Kalau gini… kejadian itu gak bakal ada kejelasannya. Lo gak tahu pasti, gak ada saksi.”
Elvara mengangguk kecil. “Ya.”
Trio komentator ikut mengangguk serempak, seperti tiga hakim juri lomba karaoke.
Elvara menarik napas. Lalu berkata santai, tanpa melihat Raska: “Sekali lagi… thanks udah nolongin gue. Meski lo nolong sekaligus ngambil ciuman pertama gue.”
Raska langsung terdiam. Terpaku. Matanya melebar.
Asep menutup mulut menahan teriakan.
Vicky hampir tersedak angin.
Gayus melotot seperti baru menemukan anomali alam.
Pipi Raska memerah. Jarang, sangat jarang terjadi.
“I-itu juga… ciuman pertama gue,” gumamnya sambil memalingkan wajah.
Trio komentator meledak.
Asep heboh. “WOY! RASKA CIUMAN PERTAMA SAMA GASEKIL?! SEJARAH BARU NIH!”
Vicky menyeringai lebay: “Wah, wah… pangeran sekolah jatuh sama gadis dingin. Romantis juga lo, Ras~”
Gayus mengangkat telunjuknya seperti profesor mau ceramah: “Secara ilmiah, kontak bibir pertama yang terjadi dalam kondisi kritis dapat meningkatkan ikatan emosional—”
“Diam,” potong Raska cepat-cepat, kupingnya memanas.
Elvara hanya membuka keripik lagi, mengunyah pelan tanpa ekspresi. “Drama banget kalian,” gumamnya.
Tapi pipinya sedikit merah. Sangat sedikit.
Dan hanya Raska yang melihat.
Bella yang bersembunyi di balik dinding koridor menarik napas lega.
Tubuhnya sempat tegang ketika mendengar mereka membahas kejadian di pesta. Tapi begitu tahu Elvara tidak menuduhnya apa pun, ia langsung merasa aman.
“Untung banget gak ada saksi dan CCTV…” gumamnya.
Ia menyandarkan punggung ke dinding, jantungnya pelan-pelan turun dari tenggorokan.
“Dan untung gue juga ikut jatuh waktu itu. Kalau cuma dia yang nyebur, gue pasti udah dicurigai satu sekolah.”
Bella menyandarkan punggungnya ke tembok. Wajahnya masih cantik dan angkuh, tapi matanya menyimpan kecemasan yang cepat ia tutupi kembali dengan senyum sombong.
"Lain kali gue harus lebih hati-hati."
Bella mendengus kecil.
Meski dikenal sebagai “Queen Bee”, nyatanya Bella nggak punya banyak teman. Kebanyakan hanya mendekat karena takut atau ingin numpang popularitas. Sifatnya yang suka meremehkan orang lain, menyebar rumor, dan terang-terangan membully siapa pun yang mendekati Raska, membuat banyak siswi menjauh.
Itu semua karena satu alasan sederhana:
Ia ingin jadi satu-satunya perempuan yang Raska lihat. Tapi kenyataannya… Raska tidak pernah memandangnya.
Dan tadi, di bawah pohon itu, Bella harus menyaksikan hal yang membuat dadanya panas:
Raska duduk di sebelah Elvara.
Raska bicara lembut pada Elvara.
Raska bahkan malu-malu mendengar soal ciuman pertama itu.
Rahangnya mengeras.
"Tidak mungkin. Gak mungkin Raska milih dia.
Ini cuma momen sesaat. Raska pasti bakal milih gue."
Bella mengepalkan tangan, senyum dingin terukir di bibirnya.
"Dan gue bakal pastiin itu terjadi."
Sementara itu Raska melirik jam di pergelangan tangannya.
“Udah mau bel masuk. Lo gak balik ke kelas?” tanyanya.
Elvara menutup bukunya dengan tenang, lalu meraih paper bag di sampingnya.
“Ini,” ucapnya sambil menyodorkan tas itu. “Blazer lo. Makasih.”
Raska menerimanya, sedikit terkejut tapi tetap mengangguk kecil.
“Hmm… iya. Sama-sama.”
Di belakang mereka, trio komentator langsung bisik-bisik.
Asep mendecak pelan. “Gue kira bakalan dijadiin kenang-kenangan, cuy.”
Vicky menyahut. “Kalau cewek lain, pasti dipake buat alasan biar bisa ketemu Raska lagi.”
Gayus otomatis bersuara berlagak kayak profesor. “Secara ilmiah, Gasekil itu tipe gadis cerdas yang gak ngarep. Kalau dia gak punya rasa, ya dia gak bakal drama. Efisien.”
Trio itu saling pandang lalu senyum-senyum, sebelum mengikuti langkah Raska dan Elvara yang sudah berjalan lebih dulu meninggalkan taman.
***
Perpustakaan siang itu tenang, hanya suara AC dan desis halus halaman buku yang dibalik.
Di antara rak-rak tinggi, Elvara berdiri memeriksa deretan literatur, fokus, tidak memedulikan siapa pun.
Sampai sebuah bayangan muncul di sampingnya.
Roy.
Senyum tipisnya tampak sopan, tapi matanya menyimpan sesuatu yang gelap.
Ia ikut pura-pura melihat buku, jari-jarinya menyusuri punggung buku sembarang, seolah ia memang ada keperluan.
Dengan suara rendah agar tidak ditegur pustakawan, ia berbisik: “Gue denger belakangan ini lo… dekat sama kakak gue.”
Elvara tidak menoleh.Hanya menaikkan alis sedikit, reaksi minimalis khas dirinya.
Roy melanjutkan, merunduk sedikit mendekat. “Bahkan sampai… napas buatan.”
Nada suaranya mengandung sesuatu yang entah sinis, entah iri, atau mungkin campuran keduanya.
Elvara hanya melirik sekilas lalu kembali pada bukunya.
Roy mengejar, suaranya semakin rendah, tapi jelas: “Kakak gue itu pangeran sekolah, Elvara. Tampan, kaya, terkenal. Semua orang tahu itu. Lo yakin dia beneran suka sama lo?”
Masih tidak ada respon. Hanya desisan halus saat Elvara mengembalikan satu buku ke rak.
Roy menggertakkan gigi, tapi menyamarkannya dengan senyum. “Udahlah… gue ngomong gini bukan mau ngejatuhin lo. Gue cuma kasihan kalau lo jadi korban. Di sekolah, kakak gue bersih, gak deket sama cewek mana pun. Tapi lo tau di luar sekolah?”
Ia mendekat, berusaha menurunkan nada suaranya lagi tapi emosinya membuat volume naik sedikit.
“Dia nongkrong sama cewek-cewek kalangan atas. Anak pengusaha, model, sosialita muda. Jalan bareng, party, diskotik. Di sekolah cuma pencitraan.”
Beberapa siswa menoleh karena suaranya meninggi.
Roy cepat-cepat menunduk dan pura-pura baca buku untuk meredam tatapan.
Elvara akhirnya bersuara, datar: “Mau apa lo, Roy? Gak perlu muter-muter.”
Roy memaksakan senyum ramah. Senyum yang dingin. “Gue cuma… ingin lo mikir logis. Kakak gue yang kayak gitu, masa iya mau sama lo yang—”
Ia berhenti tepat sebelum mengatakan hal yang menyakitkan, tapi tatapannya sudah mengatakannya.
Dan Elvara mengerti semua maksud itu.
Tanggapannya?
Hanya satu kata.
“Oh.”
Roy tertegun.
“…oh?” ulangnya, tidak percaya.
Elvara menutup buku di tangannya, menatap Roy langsung. Tatapan tajam namun tetap tenang.
“Lo tanya gue percaya apa nggak?”
Ia menyandarkan punggung pada rak, ekspresinya tetap seperti batu.
“Gue memang berpikir logis. Dan gue analisis orang yang ngedeketin gue.”
Roy menegakkan tubuhnya, merasa ia berhasil mengarahkan percakapan.
Sampai Elvara melanjutkan—
“Dan menurut analisis gue…” matanya menatap ke wajah Roy, menusuk seperti pisau dingin, “…lo manipulatif. Iri. Dan punya agenda pribadi deketin gue.”
Wajah Roy memucat, lalu memerah.
Napasnya memburu, hampir meledak.
"Lo--" Roy kehilangan kata-kata.
Beberapa siswa kembali menatap karena Roy hampir tak bisa menahan volume suaranya.
Elvara mengambil buku lain dengan santai seolah sedang bicara tentang cuaca.
“So… tolong menjauh,” ucapnya pelan tapi tegas. “Dan jangan buang waktu gue.”
Roy mengepal, kukunya hampir menembus telapak tangan.
Bian yang duduk jauh di meja baca sampai melirik ngeri, takut Roy benar-benar meledak.
Tapi Roy memaksa diri tersenyum. Senyum yang penuh racun. “Terserah lo, Gasekil… Lo bakal lihat sendiri nanti siapa yang bener.”
Tapi Elvara sudah berbalik dan melangkah pergi tanpa menoleh.
Roy menatap punggungnya menjauh. Napasnya mereda. Tapi tatapannya gelap.
Sangat gelap.
“Raska gak bakal menang. Gue bakal pastiin itu. Dan kalau lo jadi penghalangnya, Elvara…”
Ia mengepalkan tangan.
“…lo bakal gue singkirkan duluan.”
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Pak Nata mengenal Asep, Vicky, dan Gayus. Mereka bertiga tidak mengenal pak Nata, papanya Raska.
Ketika pak Nata mendatangi mereka bertiga yang sedang makan cilok di taman belakang sekolah, tak tahu Om itu siapa. Baru setelah pak Nata memperkenalkan diri - menyebut nama, mengatakan - ayahnya Raska, ketiganya langsung kaget.
Ngomong-ngomong Raska-nya kemana ini. Apa sedang duduk berdua dengan Elvara ?
Lisa ini perempuan nggak benar, melihat sejarahnya menikah dengan pak Nata.
Sebagai seorang ibu juga membawa pengaruh negatif bagi Roy, anaknya. Pantaslah Roy kelakuannya nggak benar. Turunan ibunya.
Tolong kembali Elvara.. 🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻
ya beda donk hasil dari anak wanita tercinta..
tapi dasar kamu dan emak mu sama sama gak tahu diri...
anak pertama yang seharusnya jadi raja malah terusir dari rumah sendiri...
itu pun kamu gak tahu diri juga