"DAVINNNN!" Suara lantang Leora memenuhi seisi kamar.
Ia terbangun dengan kepala berat dan tubuh yang terasa aneh.
Selimut tebal melilit rapat di tubuhnya, dan ketika ia sadar… sesuatu sudah berubah. Bajunya tak lagi terpasang. Davin menoleh dari kursi dekat jendela,
"Kenapa. Kaget?"
"Semalem, lo apain gue. Hah?!!"
"Nggak, ngapa-ngapain sih. Cuma, 'masuk sedikit'. Gak papa, 'kan?"
"Dasaaar Cowok Gila!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raey Luma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sup Hangat
Leora menggerutu kesal. Ia tak habis pikir dengan laki-laki itu. Menurutnya Davin terlalu serius untuk pernikahan seumuran mereka. Lagipula, pernikahan itu bukan kemauannya. Semua ada hitung ruginya.
Setelah suara motor Davin menjauh. Leora segera menghubungi sang Ayah untuk mengeluhkan rasa kesalnya.
Namun, beberapa panggilan tidak dijawab.
Leora mendengus panjang sambil menjauhkan ponselnya dari telinga.
“Terserah deh… semuanya terserah,” gumamnya jengkel.
Ia menatap layar ponsel yang kini gelap. Tidak ada balasan, lalu merosot duduk di tepi ranjang, memeluk bantal dengan wajah kusut.
“Papa langsung angkat kalau Davin yang telpon… tapi giliran gue? Di-skip.”
Nada suaranya getir.
Ia mengacak rambutnya sendiri,
“Apakah Davin sebaik itu di mata Papa, sampai Papa percaya dia lebih dari gue? Papa lebih percaya sama orang lain, daripada anaknya sendiri? Serius?”
Hening sejenak.
Dari sudut matanya, Leora melihat jaket Davin yang kemarin dipakai waktu menjemputnya. Jaket itu masih menggantung di kursi meja belajar.
“Ugh!”
Ia menjitak kepalanya pelan.
“Apa sih hebatnya Davin sampai semua orang dengerin dia? Bi Marni nurut. Papa nurut. Bahkan guru-guru di sekolah nurut kalau dia ngomong sesuatu.”
Leora bangkit, mondar-mandir gelisah.
“Gue gak bakal diem, Vin,” gerutunya. “Lo pikir gue tipe cewek yang bisa lo atur seenaknya cuma karena kita tinggal serumah dan sialnya gue jadi istri lo?”
Tepat saat itu, ponselnya berbunyi. Satu getaran pelan.
Leora buru-buru mengecek layar, berharap itu Papa, atau mungkin Rey.
Namun yang muncul justru notif pesan baru.
Dari: Davin.
Leora memutar bola mata sebelum membuka chat itu.
Lo udah minum obat? Jangan bandel. Gue bilang sama Papa kalo lo lagi istirahat. Jadi kalo lo kabur hari ini, gue bakal tau.
Leora mencelos.
Mulutnya terbuka, nyaris tak percaya.
“DIA NGINTIL GUE PAKE TELEPATI APA GIMANA?!”
Belum sempat ia balas, pesan kedua masuk.
Dan jangan coba hubungi Rey. Dia lagi gak stabil. Lo sakit, dia marah, itu kombinasi yang jelek buat kalian berdua.
Leora berdiri kaku.
“Astaga, Davin… kalau lo bukan suami pilihan papa gue, udah dari kemarin gue lempar ke planet lain.”
Ia mengetik balasan dengan cepat, penuh amarah.
Lo pikir lo siapa? Papa gue aja gak ngelarang gue kayak lo. Stop atur hidup gue! Gue mau ke sekolah atau enggak kek, mau ketemu Rey atau enggak kek. Itu bukan urusan lo. Titik.
Ia menekan send.
Tangan Leora bergetar. Penuh rasa kesal, lelah, dan… sedikit bingung.
Davin terlalu serius.
Notifikasi masuk lagi.
If you step out from that door, Leora… gue jemput lo lagi. Dengan cara apapun.
Leora melongo. “Dia… ngancem??”
Namun sebelum ia sempat mengetik balasan paling pedas sedunia, pintu kamarnya diketuk pelan.
Leora membeku.
“Jangan bilang itu—”
Tok. Tok. Tok.
“Non. Buka pintunya.”
Suara Bi Marni.
Hati Leora sedikit tenang.
"Fiuh... Kukira manusia itu"
Leora menempelkan tangan di dada, mencoba menenangkan degup jantungnya yang barusan hampir copot.
"Masuk aja, Bi"
Pintu terbuka, dan masuklah Bi Marni dengan nampan berisi sarapan yang terlihat… sedikit tidak biasa. Biasanya menu pagi Leora hanya roti atau sereal, tapi hari ini?
“Eh, Bi… ini apaan?” Leora menatap menunya dengan bingung.
Di atas meja kecil samping ranjang, Bi Marni meletakkan semangkuk sup ayam hangat, potongan buah, segelas teh jahe, bahkan tambahan roti lembut dengan topping keju.
Leora berkedip cepat.
“Bi, ini sarapanku atau sarapan orang yang mau disembuhin dari kutukan?”
Bi Marni tersenyum hangat.
“Ini sarapan biar Non cepat sehat. Den Davin yang rekomendasikan.”
Leora langsung memutar mata sampai nyaris melihat belakang kepala.
“Tentu saja,” desisnya. “Siapa lagi yang sok jadi malaikat penyelamat kalau bukan dia?”
Namun perutnya berbunyi lirih, dan aroma sup hangat itu benar-benar menggoda. Ia menarik kursi mendekat dan duduk sambil melipat tangan.
“Bi… kenapa supnya beda? Biasanya gak pakai jahe, gak pakai jamur juga.”
Bi Marni terkekeh kecil. “Itu resep dari Den Davin. Katanya, Non Leora kalau lagi demam gampang mual, jadi dia suruh Bibi masakin yang ringan tapi bergizi.”
Leora mengangkat alis tinggi-tinggi.
“Dia tau dari mana aku gampang mual?”
“Katanya Non pernah cerita waktu kecil dulu. Waktu Non sakit.”
Leora terdiam sejenak.
Pikirannya mengacak kenangan samar.
Ia kecil, Davin kecil.
Sakit.
Makan sup.
Ia menggeleng keras. “Enggak. Gue gak mau kepikiran apa-apa soal dia. Udah cukup gue dibikin pusing!”
Tapi tetap saja, ia mulai menyendok sup hangat itu, meniup perlahan, lalu menelannya.
Dan sialnya…
Enak.
Beneran enak.
Tubuhnya yang sedari tadi meriang seperti mendapat kehangatan instan. Tenggorokannya lebih nyaman, dan kepalanya sedikit ringan.
“Enak, kan?” tanya Bi Marni sambil tersenyum.
Leora pura-pura datar.
“Ya lumayan lah… standar. Gak spesial.”
Padahal, jelas terlihat ia menikmati suapan berikutnya.
“Den Davin bilang, kalau Non Leora mulai lemes atau pusing, bilang ke Bibi. Dia mau Bibi cek suhunya juga nanti.”
“BI!” seru Leora refleks. “Jangan nurut sama dia mulu dong!”
“Tapi Den Davin ngomongnya serius, Non,” jawabnya polos. “Dia kelihatannya khawatir banget sama Non.”
Leora terdiam.
Sumpah, detik itu juga ia ingin menyumpal telinga dengan bantal.
“Bi… kamu atau aku yang jadi istri Davin sih sebenernya? Kenapa semuanya harus sesuai dia?”
Namun ia tetap makan lagi, tanpa sadar hampir menghabiskan seluruh isi mangkuk.
Bi Marni tersenyum puas melihatnya makan dengan lahap.
“Kalo udah habis, Non minum tehnya. Itu juga pesan Den Davin.”
Leora berdiri sambil menunjuk sup yang hampir habis.
“Bi, mulai hari ini… tolong jangan informasikan apa pun tentang aku ke Davin.”
Bi Marni cuma menjawab sambil membawa piring kotor dan tersenyum nakal.
“Siap, Non… tapi Den Davin pasti tau sendiri tanpa Bibi ngomong.”
“BI MAR—!”
Pintunya keburu ditutup.
“Ughh! Kenapa seluruh dunia ini kayak sekretaris pribadinya Davin sih?!”
Namun tubuhnya terasa sedikit hangat, dan napasnya lebih lega.
Sayangnya, ketenangan itu cuma sebentar.
Karena tepat di saat ia menaruh gelas teh…
Ponselnya kembali bergetar.
Dari: Davin
Gue bentar lagi tanding. Doain gue menang.
Leora terpaku.
"Dih. Gak jelas banget!"
Sementara Leora menatap layar ponselnya dengan ekspresi kesal bercampur bingung, di tempat lain.
Davin baru saja turun dari motor dan menurunkan helmnya.
Hari ini ia harusnya ikut pertandingan persahabatan antar kelas, ajang yang sebenarnya sangat ia tunggu.
“Vin! Cepetan, bro! Kita latihan dulu.”
Raga, teman satu timnya, melambaikan tangan dari pinggir lapangan.
Davin mengangguk dan mulai berjalan cepat.
Namun baru beberapa langkah…
Sret.
Dari arah gedung belakang, empat cowok muncul. Seragam rapi, tapi wajah menantang.
Davin mengenal mereka.
Anak buah Rey.
Dia langsung berhenti. Menghela napas pendek.
“Seriusan?” gumamnya. “Lo semua gak ada kerjaan lain?”
Cowok paling depan bersandar pada tembok, tangannya memasukkan ransel hitam.
“Davin.”
Nada dingin.
“Bos mau ketemu lo.”
Davin menaikkan alis. “Kenapa gue harus nurut?”
Cowok itu menyeringai.
“Soalnya bos lagi gak seneng senengnya sama lo. Gara-gara lo, Leora gak jawab-jawab chat dia semalem.”
Davin memejamkan mata sebentar—ah, jadi masalahnya itu.
“Apa hubungannya gue sama Leora gak bales chat?”
Nada suaranya tenang, tapi rahangnya mengeras.
Cowok itu mendekat satu langkah.
“Bos bilang… lo ngerecokin hubungan mereka.”
“Hubungan mereka?” ulangnya, nyaris mengejek.
“Yang gue tau, Rey itu raja drama. Kasihan ceweknya pusing sendiri.”
Cowok kedua langsung maju, mendorong bahu Davin cukup keras.
“Heh! Jangan sok tau. Bos udah bilang: kalau lo ikut tanding hari ini, lo cari masalah sama dia.”
Davin mundur setengah langkah, bukan karena takut—lebih karena malas bikin keributan di sekolah.
“Apa sih salah gue? Gue cuma orang yang ngingetin temannya sendiri, itu doang.”
Semua mata cowok-cowok itu berubah tajam.
“Makanya,”
Cowok yang dari tadi diam membuka suara,
“Kalian tuh cuma sebatas teman. Kita semua tau lo sama Leora tuh gak ada hubungan apapun. Dia punya Rey. Jadi lo gak berhak bicara apapun ke Leora”
Mulut Davin sedikit terbuka.
“Jangan bawa-bawa Leora,” ucapnya pendek.
“Itu dia, justru problema semua ini: lo gak ngerti posisi lo.”
Davin mengembuskan napas panjang, menoleh ingin berlalu.
Namun dua orang langsung menutup jalan.
“Serius kalian mau bikin keributan sekarang?”
Kesabaran Davin hampir tipis.
“Bos udah bilang… pastiin Davin gak ikut tanding. Gimana caranya? Terserah.”
Dan sebelum Davin sempat bereaksi—
BRAK!
Bahu Davin ditarik kasar. Tasnya direbut. Lalu satu pukulan mendarat di sisi rahangnya.
“Anjir!”
Davin memegangi rahang, terhuyung sedikit.
Tiga orang lain langsung maju. Mendorong. Mencekal kerah bajunya. Menahan kedua tangannya.
Dia tak bisa bergerak.
“Gini doang lu? Katanya jago berantem?"
Satu pukulan lagi mengenai perut Davin.
Davin menunduk menahan sakit, tapi matanya tetap tajam. Bukannya takut, lebih ke… marah karena Leora dijadikan alasan.
Saat cowok itu hendak memukul lagi—
“WOI!”
Terdengar suara Raga dari kejauhan.
Namun terlambat.
Cowok terakhir meninju perut Davin dari samping.
Davin jatuh berlutut.
Salah satu dari mereka menendang tasnya jauh ke sisi gedung.
“Bilang ke tim lu,” kata salah satu dengan nada dingin,
“Davin batal tanding. Anggap aja dia jatuh sakit.”
Mereka pergi begitu aja, meninggalkan Davin yang terengah, memegangi rahangnya yang nyeri.
Raga dan dua anggota tim langsung berlari menghampiri.
“VIN! Astaga, bro, lu diapain?!”
Davin mengangkat wajah pelan-pelan. Ada luka di sudut bibir, dan pandangannya sedikit kabur.
“Anak buahnya Rey?” tebak Raga langsung.
Davin tidak menjawab. Ia hanya meraih tasnya perlahan, bangkit walau tubuhnya goyah.
“Vin… lu gak bisa tanding dalam keadaan gini.”
Davin mengusap dar4h di bibirnya dengan ibu jari.
“Rey sengaja bikin gue kayak gini,” ucapnya pelan, dingin.
Raga terdiam.
“Bro… lu mau lapor guru?”
Davin menggeleng.
“Enggak.”
Ia memegang sisi perutnya yang masih nyeri.
“Jangan ributin.”
Raga mendecak kesal. “Terus lu mau diem gini aja?”
“Gue cuma gak mau masalah makin panjang.”
Raga menatap sahabatnya itu, yang tetap keras kepala meski babak belur.
Davin mengambil ponselnya.
Membuka chat Leora.
Dan mengetik pesan pendek—padahal jarinya sedikit gemetar:
Gue janji bakal menang.
Ia kirim.
Lalu ia menutup ponsel.
Di balik semua rasa sakit fisik…
yang lebih menyakitkan justru: Leora tidak pernah tau Davin membela dia tanpa pamrih.
Dan di waktu yang sama…
Leora di kamar membaca pesan itu sambil menggumam:
“Dih, apa lagi sih dia? Kepedean banget”
Tanpa tau…
Davin sedang duduk di halaman belakang sekolah, memegangi luka di pelipis, dan mencoba menahan rasa sesak yang ia sendiri tak mau akui.
*kenapa di novel2 pernikahan paksa dan sang suami masih punya pacar, maka kalian tegas anggap itu selingkuh, dan pacar suami kalian anggap wanita murahana, dan suami kalian anggap melakukan kesalahan paling fatal karena tidak menghargai pernikahan dan tidak menghargai istrinya, kalian akan buat suami dapat karma, menyesal, dan mengemis maaf, istri kalian buat tegas pergi dan tidak mudah memaafkan, dan satu lagi kalian pasti hadirkan lelaki lain yang jadi pahlawan bagi sang istri
*tapi sangat berbanding terbalik dengan novel2 pernikahan paksa tapi sang istri yang masih punya pacar, kalian bukan anggap itu selingkuh, pacar istri kalian anggap korban yang harus diperlakukan sangat2 lembut, kalian membenarkan kelakuan istri dan anggap itu bukan kesalahan serius, nanti semudah itu dimaafkan dan sang suami kalian buat kayak budak cinta dan kayak boneka yang Terima saja diperlakukan kayak gitu oleh istrinya, dan dia akan nerima begitu saja dan mudah sekali memaafkan, dan kalian tidak akan berani hadirkan wanita lain yang baik dan bak pahlawan bagi suami kalau pun kalian hadirkan tetap saja kalian perlakuan kayak pelakor dan wanita murahan, dan yang paling parah di novel2 kayak gini ada yang malah memutar balik fakta jadi suami yang salah karena tidak sabar dan tidak bisa mengerti perasaan istri yang masih mencintai pria lain
tolong Thor tanggapan dan jawaban?