kanya adalah seorang Corporate Lawyer muda yang ambisinya setinggi gedung pencakar langit Jakarta. Di usianya yang ke-28, fokus hidupnya hanya satu, meskipun itu berarti mengorbankan setiap malam pribadinya.
Namun, rencananya yang sempurna hancur ketika ia bertemu adrian, seorang investor misterius dengan aura kekuasaan yang mematikan. Pertemuan singkat di lantai 45 sebuah fine dining di tengah senja Jakarta itu bukan sekadar perkenalan, melainkan sebuah tantangan dan janji berbahaya. Adrian tidak hanya menawarkan Pinot Noir dan keintiman yang membuat Kanya merasakan hasrat yang asing, tetapi juga sebuah permainan yang akan mengubah segalanya.
Kanya segera menyadari bahwa Adrian adalah musuh profesionalnya, investor licik di balik gugatan terbesar yang mengancam klien firman tempatnya bekerja.
Novel ini adalah kisah tentang perang di ruang sidang dan pertempuran di kamar tidur
Untuk memenangkan kasusnya, Kanya terpaksa masuk ke dunia abu-abu Adrian, menukar informasi rahasia de
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon FTA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 26
Pagi Hari, Firma Hukum S.K.P. & Rekan.
Kanya bangun jam lima pagi. Dia tidak tidur, tetapi dia merasa fokus. Dia tidak akan membawa burner phone Adrian, tidak akan ada jejak digital. Senjata satu-satunya adalah dua lembar kertas yang tersimpan di dompet kulitnya: Memo R.V. dan sobekan kertas berharga dari Laksmana.
Dia memilih setelan yang paling formal dan mahal, memancarkan kesuksesan yang tak terancam. Rambutnya diikat ketat, memperlihatkan wajah yang dingin dan tanpa emosi. Dia harus menjadi Kanya yang Adrian lihat—kejam dan kalkulatif.
Di firmanya, suasananya normal—terlalu normal. Semua orang tersenyum, semua orang bekerja, tidak ada yang tahu bahwa di lantai eksekutif, perang antar-Partner siap meletus.
Kanya meminta Dian, asistennya, untuk menjadwalkan pertemuan pribadi dengan Laksmana, dengan alasan membahas 'strategi mitigasi risiko klien Vanguard Group terkait Dana Perwalian Global'. Permintaan itu diterima.
Pukul 10:30 WIB.
Kanya berjalan kembali ke kantor mewah Laksmana. Kali ini, setiap langkah terasa disengaja, seperti bidak catur yang bergerak menuju skakmat.
Laksmana sedang menelepon, tetapi segera mengakhiri panggilannya begitu Kanya masuk. Kantornya, yang biasanya terasa menenangkan, kini terasa seperti ruang interogasi berlapis kayu gelap.
"Kanya. Terima kasih sudah datang. Aku menghargai inisiatifmu. Duduklah," kata Laksmana, menunjuk kursi di seberang meja kayu mahoni yang mengkilap.
Kanya tidak duduk. Dia berdiri, dengan postur yang kaku dan mata yang tajam. Dia meletakkan dompet kulitnya di atas meja Laksmana, tepat di tengah-tengah.
"Bapak Laksmana, saya tidak datang untuk membahas Dana Perwalian Global. Saya datang untuk membahas pengunduran diri Anda," kata Kanya tanpa basa-basi. Suaranya rendah dan terkontrol, tetapi sangat jelas.
Laksmana tertawa pelan, sebuah suara yang kering dan meremehkan. "Pengunduran diriku? Kau pasti bercanda, Kanya. Apakah kau lupa kita di mana? Ini bukan ruang arbitrase, ini kantor Partner Senior. Kau baru dipromosikan, jangan sampai kau kehilangan akal."
"Saya tidak kehilangan akal, Pak Laksmana. Saya hanya sudah membandingkan harga. Dan harga Anda adalah kursi ini," balas Kanya. Dia membuka dompetnya dan mengeluarkan dua lembar kertas tersebut, menjepitnya di antara jari-jarinya. Dia tidak meletakkannya di atas meja.
Laksmana mencondongkan tubuh ke depan. Matanya yang tenang kini menunjukkan kerutan samar. "Apa itu?"
"Ini adalah bukti. Memo yang Anda tanda tangani, yang berisi instruksi pembayaran kepada Rizky Virdian—orang yang Adrian tuduh mencuri dana Vanguard—lima hari setelah Adrian mengalami kecelakaan. Dan ini," Kanya menggerakkan jari telunjuknya ke sobekan kertas, "adalah catatan tulisan tangan Anda yang menyebutkan kecelakaan itu ('Luka di tulang selangka sudah cukup') dan menyebutkan 'skema akuisisi' Anda."
Kanya menahan bukti itu hanya beberapa inci dari pandangan Laksmana, tidak membiarkannya menyentuh.
Wajah Laksmana menjadi pucat pasi. Ekspresi meremehkannya hilang, digantikan oleh kemarahan dingin.
"Kau mencurinya," desis Laksmana. "Dari Lantai 42. Itu kejahatan, Kanya. Aku bisa memanggil Kepala Keamanan sekarang dan dalam lima menit, kau akan menjadi terdakwa, bukan pengacara."
"Tentu, Anda bisa," Kanya membalas, matanya tidak berkedip. "Tapi sebelum saya ditangkap, saya akan mengirim salinan digital ini ke Dewan Etik Firma, ke Jaksa Penuntut Umum yang menangani kasus Adrian, dan ke semua media besar di Indonesia. Anda akan menjadi berita utama: Partner Senior S.K.P. & Rekan bersekongkol dengan pemeras untuk melukai klien. Anda akan kehilangan lisensi, reputasi, dan semua aset Anda."
Laksmana berdiri, tubuhnya menjulang. "Kau bunuh diri! Kau juga akan hancur! Mencuri arsip adalah pelanggaran berat."
"Saya tahu. Dan saya bersedia membayarnya," Kanya mengakui, kejujuran brutalnya menusuk Laksmana. "Saya hanya seorang Junior Partner. Saya mungkin menghabiskan beberapa tahun karier saya untuk membersihkan nama, tapi saya muda. Anda? Anda adalah Partner Senior yang kehilangan semuanya dalam semalam. Apakah Anda siap menukar masa depan Anda dengan masa depan saya?"
Kanya memberikan ultimatumnya: "Pilihan Anda sederhana, Pak Laksmana. Anda secara resmi mengajukan pengunduran diri karena alasan kesehatan dalam waktu 24 jam. Anda meninggalkan firma dengan semua keuntungan pensiun Anda utuh. Atau, Anda biarkan saya mengirimkan bukti ini, dan Anda hancur total, sendirian."
Keheningan melayang di kantor Laksmana, hanya terdengar suara napas Kanya yang dangkal dan teratur. Kanya telah mempertaruhkan segalanya pada satu kartu, dan Laksmana menyadari bahwa Kanya serius. Kanya rela menghancurkan dirinya asalkan Laksmana ikut hancur.
Laksmana kembali duduk, wajahnya kini menunjukkan kepasrahan, tetapi matanya tetap tajam dan penuh ancaman. "Kau belajar dari Adrian dengan sangat baik. Dia selalu tahu bagaimana membuat orang memilih antara kehancuran total atau kompromi yang menyakitkan."
"Saya belajar dari kebutuhan, Pak Laksmana," balas Kanya, menarik kembali dua lembar kertas itu dan menyimpannya kembali ke dompetnya.
"Baik," kata Laksmana, suaranya sangat pelan. "Aku akan mengundurkan diri. Aku akan mengatakan itu karena masalah jantung. Aku akan serahkan semua klienku kepada Pak Bram dan Bu Tika. Tapi ada satu hal yang harus kau ingat, Kanya."
Laksmana menatap Kanya dengan tatapan terakhir yang menusuk. "Kau pikir kau bebas setelah ini? Adrian adalah monster yang jauh lebih kejam daripada aku. Aku hanya seorang pengusaha licik. Dia? Dia adalah predator. Dia tidak akan pernah melepaskan permainannya. Kau baru saja membuktikan padanya bahwa kau adalah aset yang paling berharga. Kau akan selamanya menjadi Harga Pengkhianatan-nya."
Kanya merasakan ancaman itu menembus perisainya, tetapi dia tetap tegak. "Itu urusan saya dengan klien saya. Saya hanya ingin memastikan firma saya bersih dari ancaman," jawab Kanya, menggunakan bahasa hukum untuk menutupi ancaman pribadinya.
Kanya meninggalkan kantor Laksmana. Pertempuran itu berlangsung hanya 15 menit, tetapi Kanya merasa baru saja melewati pertempuran fisik.
Dia segera mengirim pesan terenkripsi ke Adrian:
Kanya: Laksmana akan mundur dalam 24 jam karena alasan kesehatan. Permintaanmu telah dipenuhi. Sekarang, bebaskan aku. Aku menunggu pemenuhan janjimu.
Balasan Adrian datang hampir seketika, pendek dan dingin:
Adrian: Excellent work, Kanya. Aku akan mengatur 'kebebasan'-mu. Tapi jangan merayakan terlalu cepat. Ini belum berakhir. Dia mungkin sudah menanam jebakan lain. Dan kita masih punya Daniel dan Maya untuk dibereskan. Kau masih milik Vanguard Group.
Kanya menatap ponsel itu. Laksmana benar. Adrian tidak akan pernah melepaskannya. Kanya baru saja menukar satu rantai (Laksmana) dengan rantai yang lebih kuat "adrian"