Bianca Aurelia, gadis semester akhir yang masih pusing-pusingnya mengerjakan skripsi, terpaksa menjadi pengantin pengganti dari kakak sepupunya yang malah kecelakaan dan berakhir koma di hari pernikahannya. Awalnya Bianca menolak keras untuk menjadi pengantin pengganti, tapi begitu paman dan bibinya menunjukkan foto dari calon pengantin prianya, Bianca langsung menyetujui untuk menikah dengan pria yang harusnya menjadi suami dari kakak sepupunya.
Tapi begitu ia melihat langsung calon suaminya, ia terkejut bukan main, ternyata calon suaminya itu buta, terlihat dari dia berjalan dengan bantuan dua pria berpakaian kantor. Bianca mematung, ia jadi bimbang dengan pernikahan yang ia setujui itu, ia ingin membatalkan semuanya, tidak ada yang menginginkan pasangan buta dihidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aure Vale, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pulang ke apartemen
Tiga hari pasca operasi, Kaivan sudah di perbolehkan untuk membuka perban yang menutup kedua matanya, untuk kali ini, Bianca tidak membantu suaminya sendiri, tapi ada satu suster dan juga dokter yang menemaninya
"Apakah ada keluhan?" tanya dokter yang mendapatkan gelengan kepala dari Kaivan.
"Baik, untuk mencegah penolakan pada kornea baru anda, saya akan membantu meneteskan Prednisolone acetate pada kedua matamu," beritahu dokter.
Kaivan mengangguk patuh, lalu menidurkan dirinya di ranjang, dibantu oleh Bianca yang berdiri di sebelah sang dokter.
Bianca memperhatikan bagaimana dokter meneteskan cairan bening ke dalam mata Kaivan, ia harus mengerti agar kedepannya ia bisa membantu Kaivan meneteskan cairan itu.
"Ini harus di pakai rutin, sekitar dua minggu, agar tidak terjadi penolakan pada kornea barunya, setelah dua minggu anda bisa membawa kembali suami anda ke sini," beritahu dokter.
Bianca menganggukkan kepala mengerti, "baik, dok,"
"Baiklah, saya pamit keluar, hari ini sudah bisa pulang ke rumah,"
"Sekali lagi Terima kasih, Dok," Bianca sedikit menundukkan kepalanya untuk menghormati dokter yang umurnya terlihat sudah 65 tahun.
Setelah dokter dan suster keluar dari dalam ruangan dan pintu kembali tertutup rapat, Bianca menatap Kaivan yang kini sudah menatap lurus ke langit-langit ruangan.
"Apa penglihatanmu sudah jelas?" tanya Bianca.
Kaivan menggeleng, "belum terlalu jelas, masih sangat buram, hanya bisa melihat warna putih saja di atas sana," tunjuk Kaivan menunjuk langit-langit ruangan yang berwarna putih dengan jari telunjuknya.
"Tidak apa-apa, setelah beberapa bulan, penglihatanmu akan kembali seperti orang-orang pada umumnya," hibur Bianca seraya mengusap kepala Kaivan.
"Apa kamu tidak masalah?" tanya Kaivan, memirinkan posisi tubuhnya dan menatap wajah Bianca yang masih sangat buram di penglihatannya.
"Masalah kenapa?" tanya Bianca bingung.
"Mungkin aku akan kembali merepotkanmu,"
"Bicara apa sih, aku istrimu, aku justru senang jika kamu selalu membutuhkan aku," balas Bianca mengetuk pelan kening suaminya dengan telunjuknya.
"Maaf," lirih Kaivan.
"Tidak perlu membahas yang lalu! Sudahkah aku harus merapihkan barang-barang kita sebelum keluar dari ruangan ini," Bianca bangkit dari duduknya dan mulai merapikan semua barang-barang miliknya dan juga Kaivan selama tiga hari menginap di rumah sakit.
Bianca semakin khawatir dengan dirinya sendiri, padahal dulu ia merasa sempurna jika disandingkan dengan Kaivan yang tidak dapat melihat, tapi kini, ia resah karena pasti sebentar lagi penglihatan Kaivan akan kembali dan dapat melihat jelas wajahnya.
Ia tidak pernah minder dengan dirinya sendiri, tapi kali ini ia malah minder dengan wanita-wanita yang pernah ada di hidup Kaivan, jelas mereka lebih cantik dan modis, sedangkan Bianca selalu berdandan apa adanya, tidak terlalu memikirkan penampilan juga.
Selama tiga hari itu, Bianca terus-terusan merasa khawatir, jujur ia belum siap jika Kaivan benar-benar dapat melihat dengan jelas, bahkan ketika malam hari dan tidur dalam pelukan Kaivan, Bianca selalu berpikir jika nanti Kaivan sudah melihat rupanya, apakah Kaivan akan tetap memeluknya seperi malam itu? Atau kembali kepada wanita sebelumnya yang pernah Kaivan cintai.
"Bianca,"
Bianca tersentak karena seseorang menepuk dahinya dari belakang, ia memutar tubuhnya dan mendapati Kaivan yang sedang berdiri dengan mata yang sepertinya berusaha menatap fokus wajah Bianca yang masih buram dalam penglihatannya.
"ayok!" ajak Bianca menaruh tangan kanannya di pinggang Kaivan sedangkan tangan kirinya membawa tas sedang berisi barang-barang mereka berdua.
"Berikan tasnya kepadaku!" pinta Kaivan mengulurkan tangan kanannya ke arah Bianca.
Bianca menggeleng, "aku saja yang bawa,"
"Tidak, berikan saja tasnya kepadaku!" Kaivan tetap keukeuh meminta tas kepada Bianca, dan dengan berat hati Bianca memberikan tas yang ia bawa kepada tangan Kaivan.
"Pelan-pelan saja,"
Kaivan mengangguk, menuruti ucapan istrinya yang meminta dirinya berjalan pelan-pelan.
Bianca langsung keluar dari lobby karena ia tidak perlu lagi mengurus biaya rumah sakit Kaivan, semuanya sudah di urus oleh kedua orang tuanya, Bianca hanya menjaga dan terus berada di sisi Kaivan agar masa pemulihan Kaivan tidak terhambat.
Bianca melepaskan tangannya di pinggang Kaivan dan merogoh ponsel nya yang ia taruh dalam saku celana yang ia pakai, "Aku pesan taksi dulu, ya!"
Kaivan mengangguk, ia kira suruhan mamanya sudah siap untuk menjemputnya pulang, ternyata tidak ada satupun dari mereka yang sudah datang ke rumah sakit, itu artinya mama dan papanya hanya mengetahui jika dirinya sudah di perbolehkan pulang hari ini tapi tidak tahu di waktu kapan, tapi baguslah, jika orang-orang suruhan mamanya yang datang, kemungkinan ia dan Bianca akan berada di dalam mobil yang berbeda.
"Kamu tidak apa-apa kan menunggu sedikit lama?" tanya Bianca menatap Kaivan yang hanya menatap lurus ke jalanan.
"Aku tidak masalah,"
Bianca mengangguk, ia kembali menggenggam tangan suaminya yang tidak memegang tas, lalu sedikit mengusapnya dengan ibu jarinya, memberi kekuatan kepada Kaivan, padahal dirinya juga butuh dikuatkan karena sebentar lagi, ia harus berhadapan dengan mertuanya yang gigih sekali untuk menjauhkan dirinya dan Kaivan.
Taksi yang Bianca pesan sudah sampai, ia langsung mengkonfirmasi nama dirinya kepada sopir taksi, begitu sopir mengangguk, Bianca langsung membuka pintu mobil belakang dan membantu Kaivan untuk duduk di kursinya dengan nyaman, setelah selesai, Bianca menutup pintu nya dan memutar lewat belakang untuk duduk di sisi Kaivan.
Sepanjang jalan, baik Bianca dan Kaivan, keduanya tidak ada yang memulai topik, mereka terkalu sibuk dengan isi pikirannya masing-masing, belum lagi Bianca yang hatinya semakin tidak karuan ketika taksi yang mereka naiki hampir dekat dengan perumahan tempat orang tua Kaivan tinggal, ia tidak siap untuk bertemu dengan mertuanya, tidak ingin berdebat atau pun mendengar perdebatan antara Kaivan dan orang tuanya.
"Kaivan," bisik Bianca di dekat telinga suaminya.
Kaivan menoleh dan itu sedikit membuat Bianca terkejut, tapi kemudian ia berusaha mengontrol mimik wajahnya menjadi biasa saja, karena Bianca tahu, Kaivan belum sepenuhnya jelas dalam melihat.
"Bisakah kita langsung ke apartemen?" tanya Bianca menatap Kaivan melas, Bianca sebenarnya tidak takut dengan mertuanya, hanya saja ia sedang malas mendengar ocehan-ocehan mama mertuanya terkait mereka yang tidak sudi putranya menikahi dirinya, pikiran dan hatinya sedang kacau karena terlalu khawatir dengan dirinya kedepannya setelah penglihatan Kaivan pulih.
"Kamu mau langsung ke apartemen?" tanya balik Kaivan.
"Iya,"
Kaivan mengangguk, "Pak bisakah langsung menuju Blackwhite Apartemen?" tanya Kaivan kepada sopir taksi.
"Bisa saja, tapi untuk biayanya mungkin bisa bertambah," balas sang sopir.
"Tidak apa-apa, saya akan membayarnya berapa pun bapak minta," ujar Kaivan.
Sipir itu mengangguk, lalu memutar balik mobilnya, karena arah jalan menuju apartemen dan rumah orang tua Kaivan berlawanan arah.
Dilihat dari sopir yang tidak bertanya-tanya lagi tentang jalan menuju apartemen, Bianca menebak jika sopir itu tau tentang Blackwhite apartemen.
"Aku senang kamu mengatakannya," bisik Kaivan sedikit merendahkan tubuhnya dan merangkul bahu Bianca yang memang tidak bersandar di sandaran kursi.
"Mengatakan apa?"
Kaivan diam, tidak berniat menjawabnya, tapi bibir bawahnya melengkung ke atas membuat Bianca sedikit terpana dengan senyum itu.