"Apa gunanya uang 100 Miliar jika tidak bisa membeli kebahagiaan? Oh, tunggu... ternyata bisa."
Rian hanyalah pemuda yatim piatu yang kenyang makan nasi garam kehidupan. Dihina, dipecat, dan ditipu sudah jadi makanan sehari-hari. Hingga suatu malam, sebuah suara asing muncul di kepalanya.
[Sistem Kapitalis Bahagia Diaktifkan]
[Saldo Awal: Rp 100.000.000.000]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sukma Firmansyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22: Pesta Martabak dan Panggilan Sang Naga
Apartemen Sudirman Park, Unit Rian.
Pukul 20.00 WIB.
Ruang tamu apartemen mewah yang biasanya dingin dan sepi itu kini riuh rendah. Bukan oleh suara musik klasik atau denting gelas wine, tapi oleh suara rebutan potongan terakhir martabak manis.
"Woy! Tangan lo minggir! Itu potongan yang ada wisman-nya punya gue!" teriak Rudi sambil menepis tangan kurus Kenzo.
"Siapa cepat dia dapat, Paman. Hukum rimba digital," balas Kenzo santai sambil mencaplok potongan martabak cokelat keju itu dan langsung memasukkannya ke mulut.
"Kurang ajar! Gue bukan Paman lo! Umur kita cuma beda 5 tahun!" protes Rudi.
Di sofa, Pak Teguh tertawa kekeh sambil menyeruput kopi hitamnya. Ia sudah melepas jas safarinya, hanya mengenakan kaos oblong putih polos, terlihat jauh lebih santai.
Maya duduk di karpet, masih dengan iPad di pangkuan, tapi wajahnya terlihat rileks. Dia geleng-geleng kepala melihat tingkah Rudi dan Kenzo.
"Kalian ini... Bos Rian nyewa apartemen mahal-mahal, malah kalian jadiin kayak pos ronda," omel Maya, tapi tangannya tetap mengambil sepotong martabak telur.
Rian berdiri di balkon, menatap pemandangan lampu kota Jakarta (city lights) sambil tersenyum. Kaca jendela memantulkan bayangan orang-orang di belakangnya.
Mereka bukan sekadar karyawan.
Mereka adalah orang-orang buangan yang dipungut Rian.
Rudi (korban PHK), Pak Teguh (korban fitnah & utang), Maya (korban kejujuran), dan Kenzo (korban sistem pendidikan).
Sekarang, mereka tertawa bersama di satu ruangan.
[TING!]
[Statistik Tim Meningkat!]
[Solidaritas: 85/100 (Keluarga)]
[Efek Pasif Aktif: "Unity in Diversity"]
[Penjelasan: Saat tim bekerja bersama, produktivitas meningkat 30% dan stress berkurang 50%.]
Rian berbalik masuk, menutup pintu balkon.
"Udah, jangan berantem," kata Rian sambil duduk di antara mereka. "Kenzo, kamar lo udah siap?"
Kenzo mengangguk, mulutnya penuh cokelat. "Udah, Bos. Kamar tamu lo udah gue sulap jadi Batcave. Kabel server udah gue reroute, pendingin tambahan udah pasang. Gue jamin CIA pun susah ngelacak IP apartemen ini."
"Bagus. Maya, gimana laporan hari ini?"
Maya menelan martabaknya dulu sebelum berubah mode serius.
"Bumbu batch pertama sudah terkirim semua ke ekspedisi. Komplain di medsos sudah bersih berkat Kenzo. Dan saldo rekening PT... sudah tembus 200 juta hari ini."
"Gila..." gumam Rudi. "Dulu gue megang duit sejuta aja gemeteran."
"Ini baru awal," kata Rian menatap mereka satu per satu. "Tujuan gue bukan cuma jadi kaya. Gue mau PT Bahagia Sejahtera jadi tempat di mana orang jujur nggak perlu takut miskin, dan orang pinter kayak Kenzo nggak perlu ngumpet di kegelapan."
Suasana mendadak hening. Syahdu.
Pak Teguh mengacungkan jempolnya. "Kita ikut Bos sampai mati."
DRRT... DRRT...
Suara getar HP Rian di atas meja kaca memecah keheningan.
Semua mata tertuju ke layar HP itu.
Nama yang tertera di layar membuat Rian menegakkan punggungnya.
Pak Hartono (Konglomerat).
"Sstt. Diam sebentar," isyarat Rian.
Rian mengangkat telepon itu dan me-loudspeaker agar tim intinya bisa mendengar.
"Selamat malam, Pak Hartono. Maaf mengganggu istirahatnya?" sapa Rian sopan.
Suara di seberang sana terdengar berat dan serius. Tidak ada nada ramah seperti saat di pesta reuni.
"Malam, Rian. Saya tidak sedang istirahat. Dan saya rasa kamu juga tidak akan bisa tidur nyenyak malam ini setelah mendengar kabar dari saya."
Rian menukar pandang dengan Maya. Sinyal bahaya.
"Ada apa, Pak? Soal produk bumbu saya?"
"Bukan. Produk kamu bagus. Justru itu masalahnya. Produk kamu terlalu bagus."
Pak Hartono menghela napas panjang.
"Rian, dengarkan saya. Tadi sore, saya dapat telepon dari Bramantyo. Kamu tahu siapa dia?"
Rian menggeleng, meski Pak Hartono tak bisa melihatnya. "Belum, Pak."
"Dia adalah pemilik asli Rasa Nusantara Group. Pak Haryo yang kamu lawan kemarin itu cuma manajer kroco. Bramantyo itu... dia Naga Tua. Dia yang menguasai 60% distribusi pangan di Indonesia selama 30 tahun terakhir."
Jantung Rian berdegup kencang. Naga Tua.
"Bramantyo jarang turun gunung. Tapi viralnya produk kamu dan kegagalan Haryo bikin dia marah. Dia menelepon saya, meminta saya memblokir produk kamu masuk ke jaringan supermarket saya."
"Lalu? Apa Bapak setuju?" tanya Rian to the point.
"Tentu tidak. Saya pebisnis, Rian. Produk kamu laku keras, saya untung. Saya tolak permintaan dia," suara Pak Hartono terdengar tegas. "Tapi... Bramantyo bukan orang yang bisa menerima penolakan. Dia bilang ke saya: 'Kalau Hartono nggak mau blokir anak itu, saya yang akan beli anak itu'."
"Rian, besok pagi utusan Bramantyo akan datang ke kantormu. Mereka akan bawa tawaran Akuisisi Paksa (Hostile Takeover). Mereka akan tawar perusahaan kamu dengan harga tinggi. Kalau kamu tolak... mereka akan hancurkan kamu sampai ke akar-akarnya. Bukan cuma bisnis, tapi fisik."
"Saran saya sebagai teman: Hati-hati. Uang Bramantyo tidak berseri, dan koneksinya sampai ke jenderal bintang tiga. Haryo main kasar pakai preman, tapi Bramantyo main kasar pakai Negara."
Telepon ditutup.
Tuuut... tuuut... tuuut...
Keheningan di ruang tamu itu kini terasa mencekam. Rasa manis martabak di lidah mereka mendadak hilang, berganti rasa pahit.
Rudi pucat. "Bos... Jenderal Bintang Tiga? Kita mau lawan tentara?"
Kenzo berhenti mengunyah, matanya menyipit tajam. "Kalau pake negara, berarti mainnya undang-undang, pajak, dan izin. Gue bisa bantu dikit, tapi kalau mereka bawa tank ke depan ruko, gue nyerah."
Pak Teguh meletakkan cangkir kopinya perlahan. Bunyinya klontang keras di meja kaca.
Wajah kebapakannya hilang, berganti dengan wajah prajurit tempur.
"Jenderal atau bukan, kalau mereka ngancem keluarga ini, saya yang maju duluan," geram Pak Teguh.
Maya menatap Rian cemas. "Pak Rian... Akuisisi paksa itu jebakan. Kalau Bapak jual, Bapak kaya raya instan, tapi Bapak kehilangan kendali selamanya. Kalau Bapak tolak..."
Rian berdiri. Ia berjalan kembali ke jendela balkon.
Melihat Jakarta yang gelap.
Dia punya uang 90 Miliar.
Dia punya Sistem.
Dia punya Tim Impian.
Tapi musuhnya kali ini adalah "Raja" di dunia nyata.
"Besok pagi," kata Rian pelan tanpa menoleh. "Siapkan ruang rapat di Ruko. Pakai baju terbaik kalian."
Rian berbalik, matanya berkilat dingin.
"Kita sambut utusan Bramantyo itu. Gue mau liat, berapa harga yang mereka tawarkan buat beli harga diri gue."